Oleh: Tri S, S.Si
Beberapa tahun belakangan ini indonesia benar-benar dilanda berbagai pemikiran yang nyeleneh dan tidak masuk di akal. Saking seringnya kemunculan ide nyeleneh ini publik hanya bisa mengelus dada. Pasalnya tak sedikit dari pernyataan-pernyataan tersebut keluar dari lisan para tokoh ataupun pejabat yang cukup berpengaruh.
Seperti halnya pernyataan Bapak Mahfud MD yang beranggapan bahwa meskipun kondisi pemerintahan saat ini dinilai sangat korup dan oligarki namun masyarakat diharapkan tidak merasa kecewa, dikarenakan kemajuan yang dicapai dari waktu ke waktu semakin membaik.
Ia menyebut dari sejak era Presiden Soekarno, tingkat kemiskinan terus ditekan dari yang awalnya sangat tinggi, hingga mencapai 11,9 persen pada akhir era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Di era pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo, angka ini terus ditekan hingga 9,1 persen. Masuk ke periode kedua Jokowi, Mahfud menyebut tingkat kemiskinan kembali naik ke 9,7 akibat pandemi Covid-19 yang menyerang sejak tahun lalu .
"Artinya ada kemajuan meski banyak korupsinya. Indonesia ini kaya raya. Meski jika dikelola secara koruptif, itu manfaatnya tetap banyak oleh rakyat. Apalagi jika dikelolanya nanti secara bersih dari korupsi," kata Mahfud.
(national.tempo.co, 1/01/2021)
Bagaimana mungkin mengharapkan rakyat untuk tidak kecewa terhadap pemerintahan yang korup? Rakyat sudah sangat lama menahan betapa hidup makin susah, sementara setiap hari disuguhi berita para pejabat semakin hari semakin berani menilep uang rakyat. Apalagi dengan jumlah fantastis yang orang miskin mungkin belum pernah melihat apa lagi memegangnya.
Akan tetapi dalam disertasinya, Mahfud MD mengatakan baik buruknya hukum itu tergantung pada demokrasinya. Jika demokrasinya berjalan baik, maka hukum akan baik. Kalau demokrasinya buruk, maka hukum juga akan buruk. (tempo.co,1/05/2021)
Benarkah demokrasi dapat berjalan dengan baik dan dapat berimbas pada pelaksanaan hukum yang baik?
Faktanya hingga saat ini negara barat sebagai penggagas dan pengemban ideologi kapitalisme terbesar di dunia mengalami kemunduran peradaban. Banyaknya kasus-kasus korupsi, kasus pembunuhan, tindakan kriminalitas, masalah sosial, dan kemiskinan yang menumpuk menjadi indikasi bahwa kapitalisme di sana tidak sedang baik-baik saja.
Teknologi mereka memang terdepan namun tanpa adanya ruh keimanan, yang ada hanyalah pemanfaatan teknologi sebagai alat komersialisasi. Penemuan-penemuan dalam segala bidang menjadi ajang bisnis yang memungkinkan adanya konspirasi yang melibatkan kekuasaan dalam pemerintahan.
Demokrasi kapitalisme merupakan akar penyebab adanya korupsi. Ideologi yang berdiri bersama paham sekularisme yang memisahkan agama (Islam) dari kehidupan ini sejatinya tidak mengenal apa itu konsep halal dan haram.
Tindak pidana korupsi bak menjadi sebuah tradisi dikarenakan dalam kekuasaannya para pejabat pemerintah memiliki hak untuk membuat undang-undang, sehingga mereka membuat peraturan berdasarkan kepentingan mereka sendiri dan golongan, bukan demi kemaslahatan seluruh rakyatnya. Siapa yang berseberangan bahkan menentang, maka akibatnya akan menjadi fatal.
Demokrasi kapitalisme melahirkan ide-ide rusak. Seperti lahirnya liberalisme yang memuja kebebasan, pluralisme yang menganggap semua agama itu baik dan sama, munculnya Islam moderat yang menganggap beragama itu harus yang biasa-biasa saja tidak boleh saklek taat aturan syariat, dan masih banyak lagi pemahaman-pemahaman lain yang ternyata malah membelokkan ajaran Islam itu sendiri. Kesemuanya itu menjadikan kontrol masyarakat tidak berfungsi dengan baik, sehingga amar makruf nahi mungkar dari umat terhadap kemaksiatan nyaris tidak ada.
Sistem demokrasi kapitalisme dengan paham-paham turunannya seperti sekularisme dan liberalisme sungguh tidak pantas untuk dipertahankan oleh umat. Sistem kufur ini tidak berpihak sama sekali kepada rakyat. Sebaliknya, membiarkan rakyat hidup sendiri tanpa adanya jaminan akan sandang, pangan, dan papan serta layanan kesehatan dan pendidikan yang memadai. Bahkan menjadikan rakyatnya sendiri sebagai konsumen untuk membeli produk-produk yang sesungguhnya merupakan hak-hak rakyat yang mutlak harus diberikan.
Berbeda dengan penerapan sistem Islam dalam Khilafah yang menjadikan hukum syara' sebagai sumber hukum mutlak yang harus diterapkan. Sumber hukum ini berasal dari Al-Quran, Hadist, Qiyas, dan Ijmak sahabat.
Para pemangku jabatan dalam sistem Islam TIDAK membuat undang-undang seperti halnya dalam demokrasi. Hal inilah yang menutup jalan untuk melakukan tindak pidana korupsi juga pembuatan "peraturan pesanan" untuk kepentingan individu ataupun suatu golongan.
Selain itu, mekanisme pemilihan pejabat tidak melalui metode pemilu atau pilkada sebagaimana dalam demokrasi. Melainkan dipilih langsung oleh Khalifah sehingga dapat mencegah adanya politik uang, suap, gratifikasi maupun "pejabat titipan" dan berbagai kecurangan lain dalam proses pemilihan.
Aturan-aturan Islam selain diterapkan dalam setiap individu juga diterapkan dalam lingkup keluarga, masyarakat, dan negara sehingga menciptakan pribadi-pribadi yang benar-benar beriman dan bertakwa. Kepribadian yang takut untuk bermaksiat kepada Allah SWT dan takut berbuat zalim terhadap sesama.
Selain itu sanksi yang diberikan kepada para pejabat korup ini dijamin mampu memberikan efek jera dan sebagai pencegahan bagi pejabat lain agar tidak melakukan hal yang sama. Hukuman yang diberikan yaitu takzir bisa berupa cambuk kurang dari 10 kali, boikot, pengasingan, salib, ganti rugi, penyitaan harta, pencabutan harta kekayaan, nasehat ataupun peringatan, bisa juga hukuman mati tergantung dari kebijakan Khalifah dan besar kecilnya tingkat kejahatan yang dilakukan.
Namun, pelaksanaan hukuman dalam rangka pemberantasan korupsi dan kejahatan serupa yang terjadi dalam tubuh pemerintahan tidak dapat dilaksanakan tanpa merubah sistem kufur ini kepada sistem yang sahih yaitu sistem Islam.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
اَفَحُكْمَ الْجَـاهِلِيَّةِ يَـبْغُوْنَ ۗ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّـقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ
"Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?"
(QS. Al-Ma'idah 5: Ayat 50).
Kejahatan yang dilakukan secara sistemik tidak bisa diberantas hanya dengan pemberian hukuman berupa penjara, akan tetapi solusi dari masalah ini haruslah solusi sistemik yang hanya mampu diselesaikan dengan ditegakkannya hukum-hukum Allah SWT yaitu syariat Islam yang berada dibawah institusi negara Khilafah.