oleh : Ummu eva (Anggota Komunitas Tinta Pelopor)
Kasus korupsi di Indonesia bak sampah yang terus menggunung, menyebarkan aroma busuk dan memenuhi seluruh sel-sel kehidupan umat. Mulai dari korupsi skala kecil hingga megakorupsi, mewarnai halaman-halaman berita konsumsi publik, media cetak maupun elektronik. Tak dipungkiri, korupsi di Indonesia bagai gerbong kereta api yang susul menyusul tiada henti, belum selesai kasus korupsi yang satu telah muncul korupsi yang lain.
Begitu mengguritanya korupsi di Indonesia, setiap saat ‘pasien’ KPK terus bertambah. Wajar bila banyak kalangan yang semakin sangsi korupsi akan benar-benar bisa diberantas habis meski lembaga pemberantasan korupsi telah lama dirilis. Belakangan, penanganan korupsi oleh KPK pun ditengarai kental akan aroma politk. Tebang pilih kasus korupsi pun tak terelakkan. Semakin dekat dengan kepentingan kekuasaan akan selamat dari status tersangka korupsi.
Baru-baru ini Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia (Menpan RB) Tjahjo Kumolo tak menampik masih mendapati PNS atau ASN yang terjerat korupsi. Tjahjo menyebut setiap bulan Kemenpan RB memecat tidak hormat para PNS korup.
"Jujur kami tiap bulan rata-rata hampir 20 hingga 30 persen PNS yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, harus kami ambil keputusan untuk diberhentikan dengan tidak hormat," kata Tjahjo Kumolo dalam acara rilis survei LSI virtual, Minggu (18/4). Ia mengatakan, setiap kasus korupsi dibongkar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pasti ada PNS yang terlibat. Para PNS atau ASN itu selama proses hukum tidak langsung diberhentikan melainkan dinonaktifkan terlebih dahulu hingga proses hukum selesai.
Sementara itu, Hasil survei LSI menyebut ada lima tempat atau bagian paling korup di instansi pemerintah. Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Djayadi Hanan menyampaikan bahwa kelima tempat tersebut adalah pengadaan barang, perizinan usaha, bagian keuangan, bagian pelayanan, serta bagian personalia. Ditambah lagi, bahwa mayoritas Pegawai Negeri Sipil (PNS) tidak mengetahui terjadinya perilaku korupsi di instansinya bekerja. Riset mendapat kalau 39,2 persen PNS sama sekali tidak mengetahui dan 30,4 persen kurang tahu terjadinya korupsi di instansinya. Kurangnya pengawasan membuat PNS terdorong untuk melakukan korupsi. Survei mendapati kalau 49 persen kegiatan korupsi terjadi karena kurangnya pengawasan. (dikutip merdeka.com 18/04/2021). Mengapa masih ada yang mengerat hak yang jelas-jelas itu milik umat ? Apa sebetulnya akar masalah munculnya berbagai korupsi yang tak kunjung henti dan bagaimana solusinya agar Indonesia terbebas dari korupsi?
Korupsi Lahir dari Rahim Demokrasi
Masalah korupsi adalah masalah klasik yang dihadapi oleh banyak negara-negara berkembang. Korupsi menjadi masalah yang serius karena akan selalu menggerogoti perekonomian. Ini baru berbicara kerugian ekonomi. Belum berbicara korupsi sebagai penyebab utama buruknya implementasi kebijakan. Sehingga apa pun kebijakannya tak pernah beres, selalu ada praktik korupsi yang mengiringi. Bahkan pembuatan kebijakan pun tak luput dari aktivitas nista ini.
Dan yang utama dan terpenting adalah korupsi telah menzalimi umat hingga ke level yang menyedihkan. Inilah yang menjadi alasan dibentuknya KPK (Komite Pemberantasan Korupsi) pada masa reformasi. Sebuah badan independen yang khusus menangani masalah pemberantasan korupsi. Memang telah banyak kasus korupsi yang bisa dibongkar KPK, seperti mantan menteri, gubernur, bupati wali kota, anggota dewan, pejabat dan pegawai pemerintah dan lainnya.
Sejatinya, akar permasalahan korupsi yang terjadi saat ini adalah buah darisistem demokrasi itu sendiri. Karena demokrasilah yang melahirkan karakter pribadi/individu yang korup. Sistem demokrasi yang sekuler telah meniscayakan para pemimpin yang terpilih adalah mereka yang tak paham agama. Bahkan dari awal niat mencalonkan diri pun bukan untuk berkhidmat pada umat dan mendulang pahala besar atas pengurusannya pada masyarakat. Sekularisme telah menghilangkan nilai-nilai ketakwaan dari politik dan pemerintahan. Akibatnya, tidak ada kontrol internal yang tercipta menyatu dalam diri politisi, pejabat, aparatur dan pegawai. Akhirnya, bersandar pada kontrol eksternal seperti KPK dan juga pengawasan dari atasan, inspektorat dan aparat hukum. Dan masalahnya, mereka semuanya tak jauh beda. Akhirnya, lebih baik membiarkan perilaku buruk yang lain, agar dirinya menjadi aman.
Selain sekularisme, sistem politik demokrasi yang mahal menjadi salah satu sumber masalah korupsi. Butuh biaya besar untuk menjadi ASN, politisi, kepala daerah apalagi presiden. Untuk membiayai perjalanan karir mereka, pastilah butuh harta melimpah. Tentu tak sedang beramal jariah, tapi demi kekuasaan yang akan dijarah. Begitu pun hukuman terhadap koruptor tidak menciptakan efek jera. Lihatlah bagaimana kondisi penjara bagi tawanan berompi oranye, mewah dan mendapatkan fasilitas prima. Belum lagi remisi dan pengurangan masa tahanan akan semakin mempersingkat hukuman mereka.
Korupsi di lingkaran kekuasaan adalah penyakit bawaan sistem sekuler dan mustahil diberantas dengan kerja lembaga semacam KPK. Sebab, sistem demokrasi-Kapitalis hanya melahirkan individu yang berintegritas rendah. Maka, wajar ketika kekuasaan berhasil diraih, pertama kali pekerjaan yang harus dilakukan adalah mengembalikan modal. Jangankan berpikir melayani kebutuhan hidup rakyat, mereka sibuk berkutat bagaimana mendapatkan kembali modal sebanyak-banyaknya. Belum lagi gaya hidup hedonis yang telah tertancap kuat dan juga diperparah dengan hal yang paling mendasar yaitu sistem kehidupan sekulerisme yang memisahkan agama dari kehidupan inilah menjadi pemicu budaya korupsi di Indonesia.
Sistem demokrasi memang tak mengenal baik-buruk, apalagi halal-haram. Satu-satunya standar baku yang dijadikan pedoman dalam berbuat adalah kepentingan dan manfaat. Jadi, tak masalah korupsi, suap-menyuap ketika berkuasa asal tak ketahuan, jika pun terciduk juga oleh lembaga anti rasuah, itu nasib saja yang salah. Karenanya, berharap korupsi tak ada dalam sistem Demokrasi ibarat pepatah mengatakan : bagai hendak menegakkan benang basah. Dan itu adalah sebuah ilusi penuh kemustahilan semata. Dalam sistem sekuler, korupsi adalah problem sistemik namun solusi yang diambil bersifat parsial seperti ancaman pemecatan dan pemberian sanksi tanpa banyak menyentuh kritik demi perubahan sistem.
Islam Solusi Tuntas Korupsi
Islam sebagai agama yang paripurna tentu tak diragukan lagi pasti mampu memberikan solusi tuntas bagi semua persoalan hidup manusia. Termasuk persoalan korupsi yang menggurita saat ini. Islam dengan sistemnya yang khas, bukan saja mampu mengikis habis praktek korupsi di semua level, tapi juga akan mampu menutup rapat peluang-peluang yang berindikasi korupsi.
Pencegahan dan penanganan tindak korupsi di dalam sistem Islam yakni :
Pertama, keimanan sebagai kontrol internal para pejabat dan pegawai penyelenggara pemerintahan. Keyakinan bahwa segala aktivitas manusia harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah swt, menjadikan mereka tercegah untuk melakukan korupsi, suap serta semua perbuatan yang bertentangan dengan aturan Allah swt.
Kedua, gaji dan santunan yang mencukupi. Dengan filosofi bahwa setiap jabatan adalah amanah, maka para pejabat penyelenggara pemerintahan dalam sistem Islam senantiasa berusaha untuk melaksanakan tugas yang menjadi amanahnya sebaik mungkin. Hal ini tidak mungkin terlaksana jika mereka masih memikirkan segala keperluan hidupnya dan keluarga yang juga menjadi kewajibannya. Untuk itu, agar mereka bisa bekerja dengan tenang, Islam memberikan santunan atau gaji yang layak dan mencukupi.
Ketiga, proses politik, kekuasaan dan pemerintahan tidak tergantung dan tak tersandera oleh parpol. Karena seseorang yang telah terpilih menjadi pejabat, maka dirinya telah terlepas dari parpol itu sendiri. Karena dirinya kini menjadi representasi umat yang harus mengurusi umat secara luas, bukan hanya anggota partai.
Keempat, sanksi yang setimpal. Dengan sanksi yang tegas bagi pelaku korupsi akan mampu memberikan efek jera dan mencegah terjadinya tindak korupsi yang lain. Serta memberikan rasa keadilan bagi rakyat. Sanksi ta’zir akan dikenakan para koruptor dan semisalnya dengan mempertimbangkan jumlah uang yang dikorup. Bahkan jika uang yang dikorupsi mencapai jumlah yang membayakan ekonomi negara, koruptor pun bisa dijatuhi hukuman mati.
Kelima, struktur dalam sistem Islam semuanya berada dalam satu kepemimpinan yakni khalifah, sehingga faktor absennya peran pemimpin bisa dihindari, berbeda dengan sistem politik demokrasi Trias politika yang membagi kekuasaan akan menimbulkan celah adanya konflik kelembagaan. Maka hanya sistem Islam/khilafah lah yang mampu atasi problem kronis korupsi. Dengan membuang sistem demokrasi sekuler yang sudah kentara dan terbukti tidak mampu mencetak para generasi yang amanah, melahirkan kerusakan, kedzaliman di setiap lini kehidupan.
wallaahu a’lam bish showab