Oleh: Rindoe Arrayah
Pandemi yang tidak diketahui kapan berakhir telah merubah banyak hal dalam kehidupan masyarakat, tidak terkecuali merambah di dunia pendidikan pula. Metode pembelajaran yang berlangsung harus via daring demi mengantisipasi penyebaran virus corona. Namun, tidak semua siswa memiliki hp yang bisa digunakan sebagai sarana daring.
Kondisi hidup tiap orang berbeda-beda. Kadang nasib membuat seseorang bekerja lebih keras dari pada orang lainnya untuk bisa tetap bertahan hidup. Ada pula yang sejak kecil sudah merasakan kerasnya kehidupan.
Hidup seperti itulah yang harus dijalani Catur Febriyanto, siswa kelas 7 Mts asal Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Di samping sekolah, dia ikut bekerja dalam proyek pembangunan rumah milik tetangganya (merdeka.com, 10/8/2020).
Pekerjaan itu harus ia lakukan agar bisa membeli ponsel sendiri. Ponsel itu rencananya akan dia gunakan untuk pembelajaran daring. Semangat Catur Febriyanto, bocah siswa kelas 7 MTS asal Kabupaten Grobogan untuk bisa membeli ponsel atau HP untuk belajar online berbuah manis. Catur sebelumnya nekat bekerja sebagai kuli bangunan demi mendapat ponsel yang diidamkannya.
Bocah itu bekerja sebagai kuli bangunan selama beberapa hari dalam pembangunan rumah tetangganya. Akhirnya ia bisa mendapatkan ponsel yang diinginkannya. Catur yang bekerja sebagai buruh bangunan dengan upah Rp50 ribu per hari, bisa membawa pulang ponsel dengan harga beli Rp1,9 juta.
“Seneng bisa pilih sendiri HP yang diinginkan dan bisa belajar kapanpun tidak nunggu mbak (kakak) pulang kerja baru bisa pinjam,” katanya saat memilih HP di salah satu toko ponsel.
Ponsel itu ditunjukkan Catur kepada Amin Hidayat, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Grobogan untuk kemudian dibayar. Lantas ponsel itu dibawa pulang Catur. Amin Hidayat, saat mendampingi Catur siswa MTS yang harus kerja jadi kuli bangunan demi mendapatkan HP mengaku ditugasi Bupati untuk membelikan HP agar anak bisa belajar lewat online (liputan6.com, 10/8/2020).
Pasalnya, siswa yang mengalami kesulitan untuk bisa memiliki hp tidak hanya dialami oleh Catur saja. Lalu, bagaimana nasib pendidikan yang harus dijalani anak-anak di daerah lainnya yang tidak memiliki hp?
Permasalahan yang semakin pelik ini tidak perlu terjadi manakala semenjak awal pemerintah telah mengantisipasi penyebaran virus corona dengan kebijakan yang benar-benar demi melindungi rakyatnya.
Sangat disayangkan, kebijakan yang muncul saat menghadapi pandemi justru memperparah keadaan karena pemerintah sendiri masih mengukur untung rugi ketika mengeluarkan kebijakan yang merupakan efek dari diterapkannya Kapitalisme-Sekularisme sebagai aturan dalam kenegaraan. Akhirnya, kita dapati banyak korban yang berjatuhan. Bahkan, dunia pendidikan pun mengalami bongkar pasang kebijakan yang membuat bingung para guru, siswa serta orang tua.
Kurikulum sahih sejatinya akan bisa berlaku baik pada saat pandemi maupun bukan. Yang membedakan hanyalah teknis pelaksanaannya saja. Adapun asas, tujuan, metode, dan konten dasarnya tetap. Inilah yang dihadirkan sistem pendidikan Khilafah dengan kurikulumnya.
Kurikulum pendidikan Khilafah merupakan kurikulum sahih karena lahir dari paradigma pendidikan yang sahih. Yakni bahwa pendidikan wajib diselenggarakan berdasar akidah Islam, sebab akidah Islam merupakan landasan beramal setiap muslim, baik di kehidupan sehari-hari maupun bernegara (penyelenggaraan pendidikan).
Kurikulum harus disusun berdasar akidah Islam. Tujuan kurikulum pun harus mengacu pada aturan Islam, yakni membentuk kepribadian islami dan membekali peserta didik dengan ilmu pengetahuan (tsaqafah Islam maupun ilmu kehidupan), sehingga mampu menyelesaikan tantangan kehidupan.
Dengan paradigma di atas, negara tidak akan mengacu pada capaian pendidikan arahan Barat yang sekuler. Kurikulum akan diarahkan untuk membentuk kepribadian islami.
Secara produktif menghasilkan sumber daya manusia yang andal menghadapi tantangan pandemi. Bukan saja semangat untuk terus berjuang mencari jalan keluar sesuai syariat, mereka juga amanah menjalankan hukum Allah dalam menangani wabah.
Sangat berbeda dengan kondisi sekarang. Banyak individu masyarakat yang minim kekuatan mental sehingga mudah putus asa (ada yang bunuh diri, kabur dari rumah sakit, dan lain-lain). Mereka pun enggan mematuhi protokol syariat dalam rangka mencegah penularan penyakit.
Aparatur negaranya juga tak mampu menjalankan politik Islam (malah memberlakukan kebijakan kesehatan yang mahal dan berbelit-belit, ekonomi kapitalistik, dan sebagainya). Akibatnya, pandemi berkepanjangan.
Dengan asas akidah Islam inilah, visi ilmu pengetahuan ditujukan bagi kepentingan umat dan peradaban mulia (Islam). Umat tentu membutuhkan berbagai penemuan untuk memudahkan kehidupan, seperti teknologi kesehatan, telekomunikasi, pemberdayaan ekonomi, dan sebagainya.
Dengan didukung sistem politik dan sistem ekonomi yang baik oleh Khilafah, pelaksanaan kurikulum pendidikan Islam akan memudahkan terwujudnya semua kebutuhan tersebut. Sebab, pendidikan memang ditujukan bagi kemaslahatan umat.
Berbeda dengan visi pendidikan sekuler kapitalis. Ilmu amat mudah dikooptasi suatu kepentingan. Peran swasta (korporasi) begitu kuat, bahkan mampu mengintervensi kurikulum. Hal ini tampak terutama dalam pengelolaan pendidikan vokasi. Ini jelas keliru.
Kurikulum pendidikan dalam Khilafah berlaku seragam dalam semua jenjang. Teknis pelaksanaannya tentu menyesuaikan kondisi. Apabila terjadi pandemi, asas, tujuan, dan metode tak akan berubah. Konten rinciannya saja yang akan menyesuaikan.
Metode pembelajarannya pun sahih. Penyampaian materi pembelajaran oleh guru dan penerimaan oleh siswa harus terjadi proses berpikir. Guru harus mampu menggambarkan fakta (ilmu yang disampaikan) kepada siswa, yakni proses penerimaan yang disertai proses berpikir (talqiyan fikriyan) yang berhasil memengaruhi perilaku.
Dalam kondisi pandemi, prinsip ini sangat penting diperhatikan. Standar keberhasilan belajar bukanlah nilai, namun perilaku dan kemampuan memahami ilmu untuk diamalkan. Hal ini akan menghasilkan dorongan amal supercerdas dalam menghadapi tantangan pandemi, misalnya penemuan berbagai teknologi antiwabah dan sebagainya.
Berbeda dengan metode pembelajaran dalam sistem pendidikan sekuler yang lebih didominasi transfer ilmu. Pendidikan lebih dipandang sebagai kekayaan intelektual semata, bukan alat pembentuk perilaku. Maka, capaian belajar lebih ditentukan nilai-nilai. Akibatnya, jenuh belajar saat pandemi bisa berdampak secara sosial.
Begitu pentingnya keberadaan Khilafah dalam mengatur aspek pendidikan. Untuk itu, jangan patah arang bagi kita senantiasa mendakwahkan kepada umat betapa kehadiran Khilafah sangat penting demi keberlangsungan kehidupan agar tercapai keberkahan.
Wallahu a’lam bishshowab