Oleh
Alin FM
Praktisi Multimedia dan Penulis
Duka kembali menyelimuti negeri ini.
Musibah demi musibah terjadi di bumi
persada seakan tiada henti. Kabar duka kembali merundung Indonesia atas
hilangnya kapal selam KRI Nanggala-402 sejak Rabu (22/4/2021) di perairan Bali.
Kabar hilang kontak kapal selam tersebut dikonfirmasi oleh Panglima TNI
Marsekal Hadi Tjahjanto. Begitupun Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana
TNI Yudo Margono mengumumkan kapal selam KRI Nanggala 402 tenggelam atau
subsunk setelah ditemukan beberapa serpihan.
Kabar duka ini sontak menambah rasa pilu
bagi masyarakat Indonesia di tengah pandemi Covid-19 yang belum usai. Banyak
pihak yang turut berduka cita dan mendoakan agar kapal dan para awak segera
ditemukan secara sempurna.
Musibah yang menimpa Kapal Selam KRI
Nanggala-402 adalah musibah nasional yang mendapat perhatian secara
internasional. Hampir semua media arus utama dunia ikut memberitakan apa yang
dialami oleh salah satu kapal selam kebanggaan Indonesia itu. Walhasil, simpati
dan bantuan dari berbagai negara pun dengan cepat mengalir ke tanah air.
Sementara di sisi lain, secara terselubung juga mencuatkan kekhawatiran publik
tentang apa tanggapan dunia atas sistem pertahanan laut nasional Indonesia.
Setidaknya, disadari atau tidak, peristiwa ini akan mengekspos kondisi dan
fakta pertahanan laut Indonesia ke level Internasional
Terlepas dari apapun sebabnya,
bagaimanapun, apa yang dialami oleh KRI Nanggala-402 sudah seharusnya menjadi
isu strategis bagi Indonesia, yang sepatutnya ditanggapi secara strategis pula.
Apalagi pemberitaannya sudah massif secara internasional.
Lantas mengapa peristiwa ini layak dianggap
sebagai isu strategis nasional, sehingga harus ditanggapi secara serius oleh
pemerintah? Karena Indonesia adalah negara maritim negara kepulauan mempunyai
ribuan pulau yang mesti dilindungi. Sehingga mau tak mau, negara harus bertumpu kepada ketangguhan dan
kemampanan sistem pertahanan laut dalam menjaga kepentingan nasional dari
berbagai macam ancaman eksternal dan internal.
Fakta pertahanan laut kita dengan adanya
musibah tenggelamnya Kapal Selam KRI Nanggala - 402. Mengharuskan pemerintah memberikan jaminan
kepada publik bahwa peristiwa ini akan menjadi bahan koreksi menyeluruh pada
sistem pertahanan laut nasional. Untuk membangun sistem pertahanan laut yang
lebih mumpuni ke depannya. Sekaligus juga akan disegani oleh semua negara di
dunia. Karena bagaimanapun, pernyataan dari pemerintah akan menjadi garansi
bagi para pihak di dalam jajaran sistem pertahanan laut nasional untuk segera
berbenah dan mengajukan berbagai rencana perbaikan/ pembenahan.
Padahal, Indonesia telah terlanjur memiliki
reputasi sistem pertahanan laut di Asia tenggara sejak lama. Indonesia menjadi
negara Asia Tenggara pertama yang mengoperasikan kapal selam dengan dua kapal
selam Whiskey yang dibeli dari Uni Soviet melalui Polandia pada 1959, RI Tjakra
(S-01) dan RI Nanggala (S-02). Baru tahun 1962 sepuluh kapal selam kelas
Whiskey menyusul seiring modernisasi TNI AL sepanjang kurun waktu 1950-1960-an.
Jadi KRI Cakra-401 dan KRI Nanggala-402
adalah dua kapal selam pengganti kapal selam kelas Whiskey buatan Uni Soviet,
yaitu RI Tjakra SS-01 dan RI Nanggala SS-02, yang sudah dipensiunkan. Kedua kapal
selam baru merupakan Tipe U-209/1300 kelas Cakra buatan Jerman Barat. Kapal itu
dipesan pada tahun 1977, melalui Tim Proyek Pengadaan Kapal (Yekdakap) yang
dipimpin langsung oleh Laksamana Pertama TNI Mochtar.
Pembuatan kapal dimulai Maret 1978. Dikutip
dari Deutsche Welle, pembuatan kapal selam itu sempat tersendat, karena
perusahaan Howaldt Deutsche Werke mengalami kesulitan keuangan. Lalu pengerjaan
proyek diambil alih dua perusahaan kakap Thyssen dan Krupp yang merger menjadi
Thyssenkrupp.
Akhirnya, kapal selam selesai diproduksi
dan diserahkan kepada pemerintah Indonesia pada 6 Juli 1981. Menteri Pertahanan
dan Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata, Jenderal TNI Andi Mohammad Jusuf
Armin (M Jusuf) meresmikan dan memberikan nama KRI Nanggala-402 di Dermaga
Ujung, Surabaya, Jawa Timur, pada 21 Oktober 1981. Sementara KRI Cakra-401
sudah terlebih dahulu diresmikan satu tahun sebelumnya.
Kemudian, yang tak kalah penting juga
diingat adalah bahwa musibah yang dialami KRI Nanggala 402 semestinya mempertebal
kesadaran kita pada signifikansi kemampuan pemerintah mengadakan Alusista
pertahanan wilayah negara. Prioritas anggaran belanja pertahanan, termasuk
belanja alusista dan perawatannya, hanya mungkin terjadi jika adanya visi
negara yang besar dalam mempertahankan wilayah.
Membangun
Sistem Pertahanan Kokoh
Persoalan alutsista adalah cabang masalah
yang bermula dari kebijakan politik negara. Negara besar mestinya memiliki visi
besar ke depan. Indonesia dengan segala potensi besarnya, harusnya memiliki
masterplan bagaimana menjadikan negeri ini sebagai negara adidaya. Bukan
sekadar negara pengekor yang tunduk pada kebijakan politik internasional, tapi
menjadi negara berdaulat dan mandiri.
Islam memiliki sejumlah konsep untuk
mewujudkan sistem pertahanan negara yang kokoh. Pertama, anggaran negara
bersumber dari Baitulmal. Lembaga inilah yang menjadi ujung tombak pemasukan
dan pembelanjaan negara. Sumber pemasukan negara terdiri dari bagian fai’ dan
kharaj (ghanimah, jizyah, kharaj, fai’, dharibah); bagian kepemilikan umum
(minyak, gas, listrik, pertambangan, serta kekayaan alam yang menjadi milik
umum); dan bagian sedekah (zakat mal, ternak, dll.).
Dengan pos-pos pemasukan ini, negara tidak
akan kesulitan melakukan pengadaan alutsista atau membangun infrastruktur yang
dibutuhkan sistem pertahanan ataupun kemaritiman.
Kedua, dalam struktur pemerintahan Islam
(Khilafah) ada yang namanya departemen Amirul jihad. Termasuk membawahi
Departemen perang menangani semua urusan yang berhubungan dengan angkatan
bersenjata seperti pasukan, logistik, persenjataan, peralatan, amunisi, dan
sebagainya; menangani akademi militer, misi militer, serta pemikiran Islam dan
pengetahuan umum apa saja yang wajib dimiliki tentara.
Ketiga, negara membangun sistem perindustrian,
baik yang berhubungan dengan industri berat seperti industri mesin dan
peralatan, pembuatan dan perakitan alat transportasi (kapal, pesawat, mobil,
dsb.), termasuk industri alutsista yang mendukung penguatan militer negara.
Jika negara belum mandiri dalam membangun
industri pertahanan, maka ketergantungan terhadap impor alutsista dari negara
lain tidak akan pernah hilang. Selain itu, membeli senjata dari negara lain
risiko bahayanya lebih besar. Sebab, negara pengekspor alutsista pasti memahami
betul sisi lemah dari alat tersebut.
SDM negeri ini sejatinya lebih dari cukup
mendirikan industri pertahanan. Para ilmuwan cerdasnya pun tidak kurang. Hanya
saja, kurangnya dukungan negara dan sarana prasarana yang memadai menjadikan
kecerdasan sains dan keilmuan para cendekiawan tidak tidak diberdayakan dengan
baik.
Dalam Islam, tidak sulit melahirkan sosok
ilmuwan cerdas, unggul, dan berakhlak mulia. Sebab, sistem Islam menjadikan
semua aspek terintegrasi dengan baik. Mulai kebijakan politik, ekonomi, hukum,
pendidikan, hingga infrastruktur yang dibutuhkan.
Membangun sistem pertahanan dan industri
militer yang kuat juga bukan hal utopis manakala konsep bernegara yang
dituntunkan wahyu berkolaborasi dengan sains dan teknologi. Malahan, Indonesia
bisa menjadi negara adidaya jika mau merombak total tata kelola sistem
pemerintahan yang amburadul akibat kapitalisme. Beralih pada sistem Islam kafah
yang diterapkan negara Khilafah.
Jadi, Sikap tegas dan memberikan teguran
keras demi menjaga wilayah teritorial negeri sudah seharusnya dilakukan
pemimpin negeri. Apalagi mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan.
Bagian timur berbatasan darat dengan Papua
Nugini dan Irian Jaya. Sebelah barat, berbatasan dengan lautan Atlantik dan
beberapa negara dari Asia Selatan seperti India dan Sri Lanka. Bagian utara
berbatasan dengan Sabah-Serawak di pulau Kalimantan dan Brunei Darussalam.
Bagian Selatan dibatasi oleh Samudra Hindia dengan Australia dan Timor-Timur.
Indonesia jelas butuh strategi pengamanan
wilayah kepulauan karena berhadapan langsung dengan negara luar yang bisa
menjadi lawan juga kawan. Namun, sangat disayangkan jika sistem pengamanan dan
pertahanan negara masih jauh dari standar militer.
Alih-alih memperluas wilayah, untuk
mengamankan wilayah perbatasan atau teritorialnya saja mengalami kesulitan dan
kewalahan.
Perhatian
Khilafah Menjaga Pertahanan Wilayah
Berbeda sekali dengan Khilafah. Khalifah
menjalankan strategi jitu menjaga wilayah teritorial serta melakukan pengurusan
di wilayah kaum muslim. Tak akan ada
yang berani “main-main” untuk mengganggu wilayah kaum muslim.
Hal itu dapat diketahui dari begitu banyak
ilmuwan Muslim yang menaruh perhatian soal tapal batas Kekhilafahan. Salah
satunya Yaqut al-Hamawi, ia menulis ensiklopedi geografi dari abad ke-13
Masehi.
Wilayah perbatasan dalam istilah bahasa
Arab disebut Ribath. Istilah tersebut menunjukkan suatu daerah yang menjadi
batas-batas teritorial suatu komunitas.
Itu juga menunjukkan daerah-daerah yang
berpotensi digunakan musuh dari luar untuk menyerang suatu negara. Orang-orang
yang menjaga ribath disebut murabithun.
Dalam Islam, menjaga perbatasan hukumnya
wajib. Jika tidak ada satu pun kaum muslimin menjaga teritorial negara, baik
tentara atau sipil, seluruh kaum muslimin berdosa.
Sebab, hal itu bisa memudahkan musuh
menyelundupkan berbagai komoditas ataupun seenaknya mengambil SDA, yang akan
menyebabkan perekonomian negara terguncang. Bahkan, musuh akan berani unjuk
kekuatan hingga melakukan serangan penaklukan di tanah-tanah kaum muslimin.
Allah SWT berfirman, “Dan persiapkanlah
olehmu segala macam kekuatan apa saja yang kamu miliki dari kuda-kuda yang
ditambatkan untuk menggetarkan musuh-musuh Allah dan musuh-musuhmu…” (QS
Al-Anfal: 60)
Dalam rangka menggetarkan musuh Islam, Khilafah
akan menempatkan pasukan Islam berikut persenjataannya di daerah-daerah
perbatasan dengan Darul Kufur (negara musuh).
Dengan demikian, musuh akan gentar
menghadapi pasukan Islam. Politik penjagaan perbatasan inilah yang menyebabkan
Islam unggul atas agama dan ideologi lain di dunia.
Wilayah Khilafah pun semakin meluas seiring
tunduknya negara-negara kufur pada kekuatan dan keagungan Islam, secara alami
tanpa terikat hukum-hukum internasional tentang batas wilayah. Begitu besar
perhatian Khilafah demi menjaga wilayah perbatasan Negara.
Strategi
Khilafah pada Pertahanan negara termasuk Daerah Perbatasan
Strategi ini terkait dengan beberapa hukum
tanah. Apabila tanah perbatasan itu adalah tanah kharajiyah (yang ditaklukkan
umat Islam melalui perang) lalu dikuasai musuh, Khalifah akan berusaha sekuat
tenaga membebaskan tanah dan penduduknya dari penguasaan musuh dengan melakukan
pendekatan diplomasi hingga perang.
Namun, jika Khilafah tidak mampu
membebaskannya, Khilafah akan menyerukan kepada penduduknya untuk hijrah ke
dalam wilayah Khilafah yang lain, sehingga tidak hilang status
kewarganegaraannya.
Bagi yang tidak mau hijrah setelah ada
perintah hijrah, maka status kewarganegaraannya hilang dari negara Khilafah.
Jika di kemudian hari Khilafah memiliki
persiapan perang yang memadai, pada saat itu pula wajib bagi Khilafah
membebaskan tanah kharajiyah yang dikuasai musuh.
Hal yang sama juga berlaku pada tanah
usyriyah (tanah yang dimiliki kaum muslimin bukan dengan jalan perang) yang kemudian
dikuasai musuh. Apabila tanah di daerah perbatasan merupakan tanah mati, siapa
pun yang menghidupkannya lebih dahulu adalah pemilik tanah tersebut.
Menghidupkan tanah mati maksudnya adalah
memagarinya; kemudian pemiliknya, baik individu, organisasi/lembaga, dan negara
diwajibkan mengelolanya dan tidak boleh menelantarkannya lebih dari tiga tahun.
Tanah mati bisa termasuk pulau-pulau yang tidak punya nama dan tidak bertuan.
Khilafah juga akan terus melakukan
pergerakan untuk menguasai pulau-pulau mati untuk pendirian pangkalan-pangkalan
militernya.
Strategi
Pengurusan Daerah Perbatasan
Daerah perbatasan Khilafah dengan negara
kufur akan diurus serius sebagai bagian dari kebijakan politik Khilafah. Di
samping konsekuensi dari kewajiban syara’, Khilafah akan melakukan
restrukturisasi sosio-kultural daerah perbatasan. Khilafah akan menjadikan
daerah perbatasan menjadi sejahtera sebagaimana wilayah Khilafah lainnya.
Bahkan, Khilafah akan berusaha menjadikan
daerah perbatasan itu sebagai cikal bakal ibu kota Khilafah pada periode
berikutnya.
Dengan strategi ini, warga negara yang ada
di daerah perbatasan yang nonmuslim akan merasa tenteram dan sejahtera.
Loyalitas mereka pada Khilafah bukan pada negara asing yang notabene agamanya
sama dengan mereka.
Lewat sejarah, kita ketahui ibu kota
Khilafah berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain. Tidak ada kesenjangan
antardaerah dalam Khilafah. Semuanya memiliki prospek untuk dijadikan ibu kota
Khilafah.
Pada masa Rasulullah saw., Negara Islam
beribu kota di Madinah, lalu pada masa Muawiyah berpindah ke Kufah.
Pada masa Abbasiyah, ibu kota Khilafah
berpindah ke Baghdad, lalu ke Damaskus, dan Andalusia Spanyol. Kemudian pada
masa Utsmaniyah, ibu kota Khilafah berpindah ke Turki. Semua ibu kota tersebut
adalah daerah perbatasan yang diakselerasi pertumbuhan ekonomi dan
kesejahteraannya, sehingga layak menjadi ibu kota. Dengan strategi ini,
menjadikan daerah perbatasan ibukota, akan semakin mempersempit gerak maju
negara kufur
Keutamaan
dan Pahala Besar Menjaga Wilayah Perbatasan
Khilafah mendorong warga negaranya untuk
menjaga daerah termasuk daerah perbatasannya dengan mengingatkan keutamaan dan
pahala besar yang diterima mereka dari Allah SWT.
Dalam hadis dari Salaman, Rasul saw.
bersabda, “Menjaga perbatasan sehari semalam di jalan Allah SWT itu lebih baik
dari puasa satu bulan dan malam-malamnya didirikan qiyam al-lail. Jika ia mati,
ia akan mendapat pahala sesuai dengan amalannya, mendapat rezeki di sisi Allah
SWT, dan aman dari fitnah dunia-akhirat.” (HR Thabrani)
Sementara itu, dalam hadis marfu’ dengan
sanad tsiqah disebutkan, “Barang siapa mati dalam menjaga perbatasan di jalan
Allah SWT, ia aman dari kemelut fitnah yang besar.”
Diriwayatkan dari Abu Ammah, dari Nabi Saw,
beliau bersabda, “Sesungguhnya salat seorang murabith setara dengan lima ratus
salat. Mengeluarkan biaya satu dinar dan satu dirham untuk itu (ribath) lebih
utama dari tujuh ratus dinar yang dia nafkahkan untuk selain keperluan ribath.”
(HR Al-Bayhaqiy dalam kitab Syu’abul Iman)
Diriwayatkan dari Ibny Abbas, dia berkata,
ia mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Dua mata yang tidak akan disentuh oleh
api neraka, mata yang menangis karena takut kepada Allah dan mata yang bermalam
melakukan penjagaan di jalan Allah.” (HR Tirmidzi)
Kemudian diriwayatkan dari Utsman ra, dia
berkata, dia mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Melakukan penjagaan satu
malam di jalan Allah lebih utama dari seribu hari yang malamnya diisi salat dan
siangnya diisi puasa.” (HR Ahmad)
Dari berbagai hadis di atas, dapat kita
pahami, Allah SWT dan Rasul-Nya begitu besar memberikan keutamaan dan pahala
bagi orang-orang yang melakukan penjagaan atas wilayah perbatasan. Wajar
Khalifah sebagai pemimpin tertinggi negara begitu besar pula menaruh perhatian
atasnya.
Khilafah juga akan selalu memperluas
kekuasaanya pada daerah perbatasan sehingga Islam sebagai rahmat bagi seluruh
alam pun terwujud. Inilah salah satu kekuatan yang dimiliki Khilafah, sebagai
negara adidaya akan memberdayakan seluruh potensi yang ada demi melindungi
negara dan warga negaranya. Begitulah Khilafah digdaya mempertahankan wilayah
kekuasaannya. Semoga Allah SWT memberikan pertolongan-Nya dalam waktu tak lama
lagi. Aamiin aamiin Ya Rabbal a'lamiin.
Wallahu a'lam bisa shoab