Oleh: Cahaya Septi
Pelajar dan Aktivis Dakwah
Setiap Ramadan kaum muslim biasanya menyelenggarakan Peringatan Nuzulul Qur'an. Karena Al-Qur'an Allah Swt. turunkan pada bulan Ramadan (QS al-Baqarah [2]: 185).
Bukan hanya turun pada bulan Ramadan yang istimewa, Al-Qur'an pun turun pada malam yang sangat istimewa, yakni Lailatul Qadar. Allah Swt. berfirman:
‘’Sungguh Kami menurunkan Al-Qur'an pada saat Lailatul al-Qadar. Tahukah kamu, apa Lailatul al-Qadar itu? Itulah malam yang lebih baik dari seribu bulan.’’ (TQS al-Qadr [97]: 1-3).
Saat menafsirkan ayat ini, Imam ath-Thabari menyatakan: Allah Yang Maha Agung berfirman, “Andai Kami menurunkan Al-Qur'an kepada sebuah gunung, sementara gunung itu berupa sekumpulan bebatuan, pasti engkau akan melihat, wahai Muhammad, gunung itu sangat takut”. Allah mengatakan, “Gunung itu tunduk dan terpecah-belah karena begitu takutnya kepada Allah meskipun gunung itu (bebatuan) amat keras.”Tidak lain karena gunung tersebut sangat khawatir tidak sanggup menunaikan hak-hak Allah yang diwajibkan atas dirinya, yakni mengagungkan Al-Qur'an (Ath-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Quran, 23/300).
Karena itu, menurut Abu Hayan al-Andalusi, ayat ini merupakan celaan kepada manusia yang keras hati dan perasaannya tidak terpengaruh sedikit pun oleh Al-Qur'an.
Sebagaimana kata Imam as-Samarqandi, “Apakah mereka tidak mendengarkan Al-Qur'an; tidak mengambil pelajaran dari Al-Qur'an; dan tidak memikirkan apa yang telah Allah Swt. turunkan dalam Al-Qur'an berupa janji dan ancamannya serta banyaknya keajaiban di dalamnya sehingga dengan itu mereka paham bahwa Al-Qur'an benar-benar dari sisi Allah? Ataukah kalbu-kalbu mereka telah tertutup?” (As-Samarqandi, Bahr al-’Ulum 4/156).
Al-Qur'an merupakan rahmat bagi manusia. Maka, menerapkan seluruh isi Al-Qur'an akan mendatangkan keberkahan dalam kehidupan. Allah Swt. berfirman:
“Al-Qur'an itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati. Karena itu ikutilah kitab tersebut dan bertakwalah agar kalian diberi rahmat.” (TQS al-An‘am [6]: 155).
Imam al-Alusi menjelaskan bahwa Al-Qur'an disifati dengan mubarak (yang diberkati) karena mengandung banyak kebaikan di dalamnya, untuk kepentingan agama maupun dunia. Adapun frasa fattabi‘uhu, maknanya adalah fa‘malu bima fîhi (Karena itu amalkanlah semua hal yang terkandung di dalam Al-Qur'an itu) (Al-Alusi, Ruh al-Ma’ani, 6/77).
Makna-makna Al-Qur'an setidaknya memiliki dua aspek, yakni aspek ruhiyah (spiritual) dan aspek siyasiyah (politik). Aspek ruhiyah mencakup pengaturan hubungan manusia dengan Allah Swt. seperti shalat, puasa, haji, dll. Adapun aspek siyasiyah (politik) mencakup pengaturan hubungan sesama manusia, khususnya yang menyangkut urusan publik yang dijalankan oleh negara dan dikontrol pelaksanaannya oleh umat.
Tetapi sayang, aspek siyasiyah Al-Qur'an belum mendapat perhatian semestinya sebagaimana aspek ruhiyah-nya. Oleh sebab itu, pantas kerahmatan dan keberkahan Al-Qur'an masih jauh dari kehidupan manusia saat ini.
Di antara ayat Al-Qur'an yang sifatnya politis itu, misalnya: pertama, ayat-ayat tentang kewajiban menerapkan hukum Islam dalam aspek publik. Allah Swt. misalnya, berfirman:
‘‘Demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan. Kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya.’’ (TQS an-Nisa’ [4]: 65)
Kedua, ayat-ayat tentang kewajiban dakwah dan jihad fi sabilillah. Allah Swt. berfirman:
“Al-Quran ini diwahyukan kepadaku agar dengan itu aku memberikan peringatan kepada kalian dan kepada orang-orang yang telah sampai Al-Qur'an kepada mereka.” (TQS al-An’am [6]: 19)
Ketiga, ayat-ayat tentang kewajiban melakukan amar makruf nahi mungkar. Allah Swt. berfirman:
“Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyerukan kebajikan (Islam) serta melakukan amar makruf nahi mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (TQS Ali Imran [3]: 104)
Keempat, ayat-ayat tentang kewajiban menegakkan sistem ekonomi seperti: pendistribusian kekayaan secara adil (QS al-Hasyr [59]: 7); larangan riba (QS al-Baqarah [2]: 275); larangan berjudi (QS al-Maidah [5]:90); larangan menimbun emas dan perak (QS at-Taubah [9]: 34).
Maka, sebagai umat muslim kita harus benar-benar mengetahui makna-makna Nuzulul Qur'an dimana Nuzulul Qur'an bukan hanya dimaknai sebagai peringatan ibadah ritual, tapi yang terpenting adalah bagaimana menerapkan isi Al-Qur'an secara sempurna dalam seluruh aspek kehidupan.
Penerapan secara sempurna ini hanya dapat terlaksana dengan adanya institusi negara yang mengusung sistem yang berlandaskan Al-Qur'an.
WalLahu a’lam bi ash-shawwab.
Tags
Opini