Oleh Aan Anisa
Pandemi Covid-19 membuat semua orang harus membatasi aktivitas ibadah dan sosialnya seperti di antaranya adalah pulang kampung atau mudik. Pemerintah kini telah mengeluarkan kebijakan larangan mudik 2021 bagi seluruh masyarakat dan berlaku di seluruh Indonesia.
Pemberlakuan larangan mudik 2021 ini pada awalnya dimulai pada 6 Mei dan berakhir 17 Mei 2021 mendatang. Namun, pemerintah mengeluarkan revisi dan mempercepat larangan mudik 2021 menjadi 22 April hingga 24 Mei 2021.
Mudik atau pulang kampung saat libur lebaran merupakan tradisi yang biasa dilakukan masyarakat negeri ini. Namun, kebiasaan ini menemui kendala sejak pandemi tiba, kebijakan yang dikeluarkan pemerintahan mengenai larangan mudik bertujuan menghambat laju penularan Covid-19, yang secara faktual kurva penderita semakin menanjak. Ironisnya, sektor pariwisata justru dibuka dengan alasan untuk memperlancar pertumbuhan ekonomi negeri. Nampak adanya inkonsistensi dalam upaya menghambat laju penularan Covid-19. Dua kebijakan ini bahkan tampak kontradiktif.
Pakar Epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), Pandu Riono memberikan kritikan atas kebijakan dibukannya akses wisata. Ia menilai bahwa kembali dibukanya sejumlah tempat seperti mal hingga tempat rekreasi di Jakarta bisa menjadi potensi meledaknya kasus positif Covid-19.
Dua kebijakan yang saling berlawanan ini justru berpeluang meningkatkan penularan Covid-19. Seharusnya, ada upaya tegas 100 persen menanggulangi Covid-19, termasuk mengatasi masalah kesehatan, dan sementara itu, Direktur Eksekutif Kajian Politik Nasional (KPN) Adib Miftahul tak heran dengan ketidaksingkronan pemerintah dalam setiap kebijakan yang diambil. Misalnya, pemerintah resmi meniadakan mudik lebaran tahun 2021 ini sementara tempat pariwisata dibuka.
Itulah peraturan yang dihasilkan dari sistem kapitalis yang selalu menuai kontroversial dan menambah masalah, sebab mengambil aturannya itu bukan berdasarkan wahyu dari Allah melainkan berdasarkan nafsu duniawi, sedangkan di dalam Islam jelas semua urusan itu mempunyai aturan. Amal perbutan itu juga diatur dengan hukum syara, halal dan haram, bukannya berdasarkan untung atau rugi.
Selama masih dipimpin oleh pemimpin yang menerapkan sistem kapitalisme sekuler, yang masih mementingkan urusan perut para kapitalis daripada urusan perut rakyatnya, masih bekerja sama dengan asing atau aseng mengelola kekayaan SDA, mustahil rakyat mendapatkan kebijakan yang sepenuh hati bisa menuntaskan pandemi. Dan juga pemerintah seolah lupa, esensi pelarangan mudik adalah menghindari kerumunan demi mengurangi penyebaran kasus yang rawan terjadi dalam rangkaian aktivitas mudik. Sementara, hal itu justru berpotensi terjadi bila wisata dibuka. Sungguh, kebijakan ini ibarat pembodohan terhadap masyarakat.
Oleh karena itu, saat ini yang dibutuhkan adalah pemimpin yang memiliki iman dan taat syariat. Dengan keimanannya pemimpin tersebut hanya akan takut kepada Allah Swt., sehingga kebijakan yang diambil tidak akan mencederai rakyatnya. Sebab, pemimpin yang taat akan menyadari bahwa segala kebijakan yang diambil akan dimintai pertanggungjawaban, dan cara menangani
permasalahan arus mudik, Khilafah solusinya. Khilafah dengan hukum syari’at Islamnya dari yang Maha Mengetahui Ciptaan-Nya, akan mampu mengatasi berbagai masalah, tidak terkecuali masalah arus mudik. Karena prinsip Khilafah merupakan negara yang ditugasi oleh Allah Swt yang Maha Adil agar mengurusi semua urusan rakyat hanya dengan syari’at Islam sebagaimana sabda Rasulullah saw.,
“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari)
Mengembalikan Islam sebagai satu-satunya sistem yang akan menuntaskan semua permasalahan hidup manusia adalah hal yang harus kita wujudkan bersama sebagai kaum muslim.
Wallahu'alam.