Oleh : Devita Nanda Fitriani, S.Pd (Freelance Writer)
Menjelang Idul Fitri rezim mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mencegah terjadinya penularan Covid-19. Berhubung, hingga dipenghujung Ramadhan tahun ini penyebaran pandemi virus korona masih menunjukkan angka yang cukup tinggi.
Salah satu kebijakan rezim yakni larangan mudik demi mengurangi mobilitas. Awalnya, pemerintah tidak mengijinkan adanya mudik antar provinsi. Seiring berjalannya waktu, mudik antar kabupaten pun kini dilarang.
Masyarakat banyak yang geram dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh rezim. Jika hanya mengeluarkan kebijakan untuk mencegah penyebaran pandemi, mungkin khalayak masih bisa menerima. Hanya saja, disaat yang bersamaan pemerintah juga masih membolehkan aktivitas yang dinilai bertentangan dengan pencegahan virus dengan alasan pendongkrakan ekonomi.
Seperti dibolehkannya pembukaan pusat-pusat belanja. Padahal peluang terjadinya kerumunan diarea belanja begitu besar. Tengok saja, sebagaimana yang terjadi di Pasar Tanah Abang. Bahkan, Polda Metro Jaya turun tangan mengatasi kerumunan yang terjadi di Pusat Grosir Pasar Tanah Abang itu (www.liputan6.com, 3/5/2021).
Yang paling miris yakni pembolehan masuknya warga negara asing (WNA) asal China ditengah pemberlakuan larangan mudik. Sebagaimana yang dikutip dari website www.merdeka.com (7/5/2021), di tengah bergulirnya kebijakan Pemerintah mengenai pelarangan mudik di dalam negeri, viral sebuah video beredar luas di media sosial. Dalam video berdurasi singkat tersebut, nampak sejumlah WNA yang diduga berasal dari China berhamburan keluar dari pintu kedatangan Bandara Soekarno Hatta.
Berdasarkan kesaksian pemilik video, ada lebih dari 20 WNA China yang kala itu tengah bergegas masuk ke dalam sebuah bus. Diketahui, hal tersebut berlangsung pada Selasa (4/5) pukul 15.30 WIB. Sadisnya lagi, dua dari 85 WNA China yang masuk Indonesia dinyatakan positif Covid-19 setelah dilakukan Swab pertama (www.akurat.co, 7/5/2021).
Begitulah fakta rezim hari ini, sering mengeluarkan kebijakan yang menimbulkan kekisruhan ditengah rakyat. Alasan pamungkas yang dijadikan tameng pembenaran juga selalu sama, yakni demi mendongkrak perekonomian bangsa. Padahal seharusnya rezim menyadari jika sistem yang mereka terapkan saat inilah (Demokrasi-Kapitalisme) pemicu perekonomian negara tidak stabil.
Realitas lainnya, bukan kali ini saja rezim mengeluarkan kebijakan yang saling bertentangan. Dan rakyat tidak cukup hanya merasa geram semata. Namun sebagai hamba Allah yang dikaruniai akal, masyarakat haruslah bisa menganalisa fakta tersebut sehingga sampai kepada kesimpulan jika kebijakan maupun solusi yang berasal dari sistem Demokrasi-Kapitalisme yang notabene tidak bersumber dari Sang Pencipta tak mampu menghadirkan ketenteraman maupun kesejahteraan. Sehingga, bukankah sudah waktunya bagi kita untuk mengganti Demokrasi-Kapitalisme dengan aturan yang lebih baik?
Berbicara pengganti, tentu saja bukan aturan yang juga bersumber dari manusia, seperti Sosialisme-Komunisme misalnya, karena pasti akan menimbulkan kebijakan maupun solusi yang sama. Namun harus aturan yang bersumber dari Sang Pencipta, yakni Islam.
Dengan karakteristiknya yang memiliki aturan paripurna baik dari segi ekonomi, kesehatan, dll, dapat dipastikan Islam bisa mengentaskan setiap problem kehidupan dengan kebijakan terbaik. Ketenteraman yang saat ini bersifat utopis dibawah naungan sistem buatan manusia akan bisa diraih tatkala aturan Islam diterapkan. Tentu saja hal itu hanya bisa tercapai saat semua aturannya diterapkan secara kaffah atau menyeluruh. Sehingga, hal yang paling urgen saat ini adalah memperjuangkan agar semua aturan Islam bisa diterapkan. Semoga kita semua termasuk orang-orang yang turut mengambil bagian dari perjuangan tersebut. Wallahu a’lam.
Tags
Opini