Oleh : Putri Efhira Farhatunnisa
Lebaran tahun ini Nusantara masih diselimuti pandemi Covid-19 yang seakan tak bertepi, kegiatan i'tikaf juga gema takbir hingga shalat Idul Fitri masih harus disertai prokes yang masih terus berlaku. Larangan mudik ditetapkan membuat banyak orang hanya dapat menyapa keluarga melalui telpon genggam, melewati hari raya tanpa berkumpul bersama keluarga tercinta pasti akan terasa sunyi. Namun kesunyian yang mungkin kita rasakan, tak sebanding dengan kesunyian Idul Fitri umat Islam di belahan bumi lain yang berada dibawah tekanan para durjana. Seperti halnya muslim Uighur yang tak lagi bisa menggemakan takbir di malam lebaran.
Berbeda dengan di Indonesia, masyarakat Muslim setempat merayakan Idul Fitri pada Rabu (5/6) lalu dengan sunyi. Sebagian dari mereka berjalan menuju Masjid Idkah untuk melaksanakan salat sunah Id dalam diam. Tak ada pula gema takbir dan tahlil yang biasa didengar umat sebagai tanda 1 Syawal. (cnnindonesia.com 8/6/2021)
Mesjid-mesjid dihancurkan, belum lagi penempatan jaringan berteknologi tinggi di sepanjang negeri, memasang kamera, pos polisi mobil, dan pos pemeriksaan tampak di setiap jalan. Situasi yang ketat ini membuat sebagian muslim di sana takut untuk pergi ke mesjid. Tak hanya di Uighur, muslim Palestina pun masih melewati bulan mulia ini disertai serangan demi serangan yang terus digencarkan zionis Israel. Aksi bela Palestina pun ramai digelar di seluruh dunia, Israel banjir kecaman dari seluruh dunia. Namun apakah hanya dengan kecaman saja mampu menghentikan aksi Israel? Tentu tidak.
Nyatanya dengan bantuan kemanusiaan seperti halnya bahan makanan saja tidak cukup untuk menghilangkan penderitaan kaum muslimin yang kini tengah berjuang mempertahankan akidahnya. Seperti penderitaan muslim Uighur tadi, untuk beribadah saja sudah sulit. Bahkan mereka dilarang untuk memakai atribut yang merupakan simbol dari agama Islam. Tak ada yang menjamin keamanan dan kesejahteraan kaum muslimin, umat Islam saat ini benar-benar seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Beginilah kondisi umat Islam ketika hidup tanpa junnah, tak ada lagi kegembiraan di hari raya yang ada hanya tangisan bahkan jeritan pilu.
Para penguasa negeri muslim tak ada yang berani maju membela umat Islam, masyarakat pun tak bisa berbuat banyak karena terhalang tembok nasionalime. Rasulullah SAW bersabda :
الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ، لاَ يَظْلِمُهُ، وَلاَ يُسْلِمُهُ
Seorang Muslim adalah saudara Muslim yang lain. Janganlah menganiaya dia dan jangan pula menyerahkan dia (kepada musuh) (HR al-Bukhari).
Umat membutuhkan penguasa yang akan menjamin keselamatan dan kesejahteraannya.
إنَّمَا اْلإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
Sungguh Imam (Khalifah) itu (laksana) perisai; orang-orang akan berperang di belakang dia dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)-nya (HR al-Bukhari, Muslim, an-Nasa’i, Abu Dawud dan Ahmad).
Dan seorang penguasa bertakwa yang juga benar-benar mengabdikan diri untuk rakyat pun tak akan lahir dari sistem rusak yang saat ini diterapkan. Penguasa ideal layaknya Rasulullah serta para Khalifah setelahnya hanya akan lahir dari sistem Islam yang rahmatan lil 'alamin. Umat Islam hanya akan terlindungi jika Islam diterapkan sebagai ideologi suatu negara, saat hukum yang digunakan hanya hukum yang berasal dari Allah.
Wallahua'lam bish shawab.
Tags
Opini