Hari Raya, antara Sedih atau Bahagia



Oleh Sari Isna



Seharusnya hari raya Idul Fitri kita sambut dengan penuh suka cita, tapi tidak di sana, di Palestina. Memasuki Idul Fitri warga Palestina masih dalam suasana pengeboman yang tanpa henti oleh zionis Israel. Aksi penyerangan brutal yang dilancarkan sejak akhir bulan Ramadan masih saja terus berlangsung. Ketenangan untuk menunaikan ibadah puasa di akhir Ramadhan 1442 H tidak bisa dirasakan warga di Palestina. Gempuran rudal militer Israel dalam beberapa hari terakhir membuat mereka merasa was-was.

Bentrokan berdarah antara polisi Israel dan warga Palestina pecah saat kemarahan memuncak di kalangan warga Palestina terkait potensi penggusuran sejumlah keluarga Palestina dari rumah-rumah mereka yang tanahnya di Syaikh  Jarrah diklaim oleh para pemukim Yahudi yang menggugat ke pengadilan. Bentrokan yang membuat ratusan orang terluka ini terjadi usai buka puasa. Sedikitnya 178 warga Palestina mengalami luka-luka dalam bentrokan dengan polisi Israel di Masjid Al-Aqsa, Yerusalem, pada Jumat (7/5) malam waktu setempat. Polisi Israel menggunakan peluru karet dan granat kejut terhadap warga Palestina yang melemparkan batu ke arah mereka.

Aksi represif aparat Israel terhadap jamaah Masjid Al Aqsa itu mendapat kecaman dari belahan dunia. Salah satunya berasal dari Koalisi Perempuan Indonesia untuk Al Quds dan Palestina (KPIQP) yamg ikut menyampaikan pandangannya dalam aksi damai secara virtual pada Minggu, 9 Mei 2021, KPIQP bersama sejumlah ormas perempuan lain di Tanah Air seperti PP Salimah, PP Muslimat Mathlaul Anwar, PP Muslimat Al Washliyah, hingga Muslimat DDII (viva.co.id/10 Mei 2021).

Ketua KPIQP Nurjanah Hulwani menyampaikan kekerasan Israel terhadap rakyat Palestina harus segera dihentikan karena ini sudah menjadi persoalan akidah sekaligus kemanusiaan. Menurut beliau, dalam persoalan ini, umat Islam harus berjuang menanamkan kepedulian dengan peran masing-masing. Dan sejatinya persoalan Al Quds bukan sekedar tanggung jawab lembaga kemanusiaan ataupun KPIQP melainkan semua umat muslim.

Kecaman serupa juga disampaikan oleh komisi VIII DPR melalui wakil ketuanya Ace Hasan Syadzily yang mengatakan bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan negara Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) mesti turun tangan untuk menyelesaikan kekerasan berdarah ini dan kekerasan ini harus disudahi.(news.detik.com/10 Mei 2021).

Serangan Israel terhadap jamaah tarawih masjid Al Quds dan pengusiran terhadap warga Syaikh  Jarrah sejatinya tidak layak direspon sekedar dengan kecaman, bahkan oleh OKI dan mustahil diselesaikan dengan resolusi baru oleh PBB. Karena pada kenyataannya meski sudah mendapatkan kecaman dari dunia, kekejaman zionis tetap saja tak bisa dihentikan. PBB yang digadang-gadang sebagai organisasi perdamaian tapi nyatanya dikuasai oleh sekutu-sekutu Israel yang mempunyai kepentingan.

Meski banyak negara mayoritas Islam menyerukan kecaman dan kutukan, tetap saja tak bisa menghentikan kebrutalan zionis karena terhalang sekat-sekat nasionalis. Selama kaum muslim terpecah belah maka akan sulit mengalahkan, karena tak akan ada kemenangan tanpa persatuan dan tak ada kekuatan tanpa kepemimpinan. Membutuhkan kekuatan tentara muslim yang membela kehormatan agamanya dan melindungi saudaranya.

Teringat akan kisah heroik pada masa khalifah al-Mu’tashim Billah, khalifah kedelapan dinasti Abbasiyah. Pada tahun 837 M, al-Mu’tasim Billah  menyahut seruan seorang budak muslimah dari Bani Hasyim yang sedang berbelanja di pasar yang meminta pertolongan karena diganggu dan dilecehkan oleh orang Romawi. Kainnya dikaitkan ke paku sehingga ketika berdiri, terlihatlah sebagian auratnya. 

Wanita itu lalu berteriak memanggil nama Khalifah Al-Mu’tashim Billah dengan lafadz yang legendaris: “waa Mu’tashimaah!” yang juga berarti “di mana kau Mutashim…tolonglah aku!” Setelah mendapat laporan mengenai pelecehan ini, maka sang Khalifah pun menurunkan puluhan ribu pasukan untuk menyerbu kota Ammuriah (Turki). Seseorang meriwayatkan bahwa panjangnya barisan tentara ini tidak putus dari gerbang istana khalifah di kota Baghdad hingga kota Ammuriah (Turki), karena besarnya pasukan.

Begitu merindukan pemimpin seperti beliau, seorang khalifah yang mampu menjadi penolong, menjadi pelindung, atau perisai setiap kaum muslimin. Bahkan demi membela kehormatan seorang muslimah saja rela mengerahkan pasukannya. Tapi di manakah para pemimpin negeri muslim yang sekarang? Di saat ratusan, ribuan, bahkan jutaan nyawa kaum muslim meregang sia-sia? Di saat kehormatan umat dilecehkan begitu saja? Mereka hanya diam.

Israel laknatullah ingin membuktikan dan mengatakan bahwa umat Islam saat ini hanya seperti buih, tak punya pegangan dan mudah hanyut oleh gelombang. Mana mungkin sanggup melawan, merdeka dalam ber-Islam pun masih jauh dari angan. Pemimpin-pemimpinnya hanya mampu mengecam untuk formalitas semata tanpa ada tindakan nyata.

Sampai saatnya persatuan umat tiba, dan itu tak akan pernah mereka duga. Janji Allah pasti nyata. Al-Aqsha bebas dan kembali mendapat izzahnya. Persatuan umat Islam di bawah naungan khilafah-lah yang menjadi solusi fundamental satu-satunya untuk muslim Palestina dan dunia. Tapi pertanyaannya, akankah kita turut andil di dalamnya? Pantaskah kita berada dalam barisan pembebas Al-Aqsha? Karena ini buka perkara bisa tidaknya Al-Aqsha dibebaskan, tapi perkara pantas ataukah tidak kita menyandang predikat sebagai pembebasnya.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak