Oleh: Ummu Aisyah
Ramadan telah usai.Idulfitri telah menghampiri. Puasa berganti dengan berbuka. Yang tersisa sejatinya tinggallah takwa. Bukan kembali berkubang dalam dosa. Sudah seharusnya begitu.
Sejatinya, puasa pasti berbekas dalam diri. Kembali suci saat tiba Idulfitri. Kembali tunduk dan patuh kepada Ilahi. Bukan kembali mengotori diri dan ingkar kembali.
Sebagian ulama menyebut Hari Raya (Idulfitri) sebagai Hari Kemenangan. Menang melawan hawa nafsu. Menang melawan setiap kecenderungan dan perilaku menyimpang. Inilah yang sepantasnya dirayakan oleh orang yang berpuasa.
Karena itu, Hari Raya bukanlah diperuntukkan bagi mereka yang memiliki segala hal yang serba baru. Baju baru, perhiasan baru, kendaraan baru, atau rumah baru. Hari Raya hanya layak dipersembahkan kepada mereka yang ketaatannya “baru” (bertambah).
Dalam bahasa sebagian ulama dinyatakan,
ليس العيد لمن لبس الجديد إنما العيد لمن طاعته تزيد
“Laysa al-‘id li man labisa al-jadid, innama al-‘id li man tha’atuhu tazid.”
“Hari Raya bukanlah untuk orang yang mengenakan segala sesuatu yang serba baru. Hari Raya hanyalah untuk orang yang ketaatannya bertambah.”
Seorang muslim selayaknya menyandang predikat takwa. Sebagaimana“La’allakum tattaqun.” (QS al-Baqarah [2]: 183)
Tentu bukan taqwa yang pura-pura. Sekadar demi citra. Demi meraih tahta dan kuasa. Namun, takwa yang bertambah sempurna. Takwa yang makin paripurna. Takwa yang sebenarnya (haqqa tuqatih). (QS Ali Imran [3]: 102)
Salah satu definisi takwa yang sebenarnya dinyatakan oleh Imam al-Hasan. Kata Imam al-Hasan, sebagaimana dikutip oleh Imam ath-Thabari di dalam tafsirnya, kaum yang bertakwa adalah mereka yang senantiasa takut terjerumus pada apa saja yang telah Allah haramkan atas mereka dan menunaikan apa saja yang telah Allah wajibkan kepada mereka.
Orang yang bertakwa tentu selalu berhati-hati dalam hidupnya karena khawatir bahkan takut akan terjatuh pada segala perkara yang haram. Sebab setiap keharaman yang dilakukan pasti menuai dosa yang mengundang murka Allah SWT.
Sangat miris kita menyaksikan sebagian besar umat islam selepas puasa Ramadan, dilanjutkan dengan berhari raya, tetapu masih enggan meninggalkan dusta.
Banyak yang tetap melanjutkan perbuatan tercela. Sepeti masih tetap berkubang dalam riba,korupsi, suap-menyuap,terus melakukan kezaliman terhadap rakyat, mengkriminalisasi para ulama atau pihak-pihak yang kritis terhadap penguasa,berupaya terus-menerus mendiskreditkan ajaran Islam.
Padahal jelas, puasa sejatinya melahirkan takwa. Takwa dicirikan oleh keyakinan sekaligus kekhawatiran dan ketakutan akan siksa-Nya. Itulah azab api neraka yang menyala-nyala. Mereka yang memiliki rasa takut terhadap azab-Nya inilah yang pantas bergembira di Hari Raya. Bukan yang malah bermegah-megah dan bermewah-mewah di Hari Raya.
Sebagaimana kata sebagian ulama,
ليس العيد لمن لبس الفاخرة إنما العيد لمن اتقى عذاب الآخرة
“Laysa al-‘id li man labisa al-fakhirah, innama al-‘id li man ittaqa adzab al-akhirah.”
“Hari Raya bukanlah untuk orang yang bermewah-mewah. Hari Raya hanyalah untuk orang yang takut terhadap azab akhirat.”
Karena itu, orang yang layak bergembira pada Hari Raya sejatinya bukanlah orang yang berpakaian serba halus (mahal seperti sutra), tetapi mereka yang memahami jalan meraih rida-Nya.
Satu-satunya jalan untuk meraih rida-Nya tidak lain adalah takwa. Muslim yang bertakwa tentu muslim yang senantiasa taat kepada Allah Swt. dan menjauhi maksiat kepada-Nya. Saat setiap hari seorang muslim mampu untuk selalu taat dan menjauhi maksiat, saat itulah hari rayanya yang sesungguhnya.
Sebagaimana kata sebagian ulama,
كل يوم لا نعصى الله فيه فهو عيدنا
“Kullu yawm[in] la na’shilLaha fihi fa huwa ‘iduna.”
“Setiap hari yang di dalamnya kami tidak bermaksiat kepada Allah, itulah hari raya kami.”
Karena itu marilah kita berhari raya bukan setiap tahun sekali pada setiap Idulfitri, akan tetapi setiap hari.
Dengan menaati setiap perintah dan larangan Allah sebagai bentuk takwallah.
Menjadikan syariat Islam tegak di muka bumi secara kaffah.
Wallahu'alam bisshawab.
Tags
Opini