Gratifikasi Berbalut THR, Rakyat Butuh Pejabat Yang Bersih



 Penulis Fiani S.Pd 


Tiap tahun, di kalangan masyarakat memberi dan minta THR (tunjangan hari raya) sudah menjadi budaya di sistem demokrasi ini. Dengan berbagai kalangan pejabat hingga masyarakat biasa.


Lembaga antirasuah menegaskan penerima gratifikasi dilarang dan dapat berimplikasi pada tindak pidana korupsi.


"KPK kembali mengingatkan penyelanggaraan negara dan pegawai negara untuk menolak gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban. Khusunya terkait perayaan Idul Fitri, " ujar Pit Juru Bicara KPK Ipi Maryati, minggu (2/5)


Diketahui, KPK telah menerbitkan Surat

Edaran (SE) nomor 13 tahun 2021, tentang pencegahan korupsi dan pengendalian gratifikasi terkait hari raya. Dalam edaran itu, lembaga antirasuah mengingatkan pejabat negara dan ASN untuk tidak menerima, meminta, maupun memberi gratifikasi  THR. 


Alasan, larangan minta maupun memberi gratifikasi berbalut THR akan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan bertentang dengan peraturan.


Di sistem demokrasi akan melahirkan para oligarki yang  haus dengan kekayaan maupun jabatan, hingga menimbulkan kecurangan dan penghianatan di dalam tugas-tugas yang di embannya. Dalam hal ini, untuk menduduki sebuah kursi jabatan saja butuh uang banyak, dengan memberikan hadiah atau menyuap  seseorang hal ini disebut dengan serangan fajar, untuk mendapatkan suara terbanyak. Tapi Pemberian  THR (tunjang hari raya) yang bukan hak nya disebut tindakan korupsi. Karena hal tersebut dapat merugikan negara


Sebagian di kalangan pejabat atau birokrat  melakukan apa saja tanpa mengenal halal haramnya perbuatan yang dilakukan demi sesuatu yang di capai. Hal ini, dengan cara memberikan hadiah untuk memperlancar urusannya, biasa disebut uang terima kasih atau uang jalan. 


Meskipun, ada surat edaran larangan mau sanksi bagi pejabat negara menerima hadiah (gratifikasi) tidak akan banyak berpengaruh terhadap berjalannya birokrasi.


Demikianlah sistem hari ini yang menjauhkan kehidupan manusia dengan aturan Allah Swt. hingga tidak segan-segan untuk melakukan hal yang jelas dilarang Oleh Allah.


Rakyat butuh pejabat yang amanah, jujur dalam setiap tugas yang diberikan, melayani rakyat dengan setulus hati tanpa harus dibayar mahal oleh rakyat.


Dalam kacamata Islam di anjurkan untuk memberi dan menerima hadiah kepada keluarga dan teman dengan tujuan agar tetap menjalin hubungan baik dengan mereka. Akan tetapi, berbeda halnya dengan pejabat memberikan hadiah dengan maksud tertentu dan ada kepentingan individu dibalik bingkisan yang diberikan. 


Islam adalah agama yang mengatur hubungan manusia dengan sang pencipta nya, mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia, dan mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Jelas Islam bukan hanya pengatur masalah spritual saja, akan tetapi Islam juga mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia, yaitu; Islam melarang menerima hadiah (gratifikasi). Karena, pendapatan yang  diterima atau diluar gaji dari negara termaksud kekayaan gelap (ghulub).


Dalam Islam, sebelum menduduki sebuah kursi atau sebelum menjabat, wajib menghitung kekayaan yang dimiliki. Agar tidak terjadi penggelapan uang atau disebut korupsi. Akan tetapi, jika hal tersebut terjadi Khalifah akan mengambil harta yang bukan miliknya hal ini kekayaan gelap (ghulub) lalu dimasukkan dalam Baitulmal atau keuangan negara. 


_"Siapa saja yang kami angkat sebagai pegawai atas suatu pekerjaan, kemudian kami beri upahnya, maka apa yang dia ambil. Selain itu adalah  kecurangan" (HR Abu Dawud)_


Dalam Islam, kasus korupsi  dikenakan sanksi tazir, dalam kitab Mdham uqubat karya Dr. Abdurahman al-Maliki dijelaskan ada beberapa saksi yaitu; (1)hukuman mati, (2)cambuk yang tidak boleh 10 kali, (3)penjara, (4)pengasingan, (5)pemboikotan, (6)salib, (7)ganti rugi, (8)penyitaan harta, (9)mengubah bentuk barang, (10)ancaman yang nyata, (11)nasihat dan peringatan, (12)pencabutan sebagain hak kekayaan (hurman), (13) pencelaan (tauwbikh), (14)pewartaan (tasyir).


Itulah sanksi tazir akan dikenakan bagi pelaku sesuai dengan level korupsi yang di perbuat. Tujuannya adalah untuk penembus dosa yang diperbuat dan untuk warning atau peringatan bagi yang lain untuk tidak melakukan hal yang sama. 


Oleh karena itu, tidak akan terwujud semua, jika hanya individu yang melaksanakannya, akan tetapi negara lah yang menerapkan sistem Islam ini.


Waulahu alam bishawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak