Oleh: Rindoe Arrayah
Banyaknya jumlah pengangguran yang menerpa di negeri ini seharusnya menjadikan pemerintah semakin bijaksana saat menetapkan sebuah kebijakan terkait dengan masalah ketenaga kerjaan. Bukannya malah semakin memperkeruh keadaan dengan kebijakan yang justru tidak berpihak kepada para tenaga kerja di negeri sendiri.
Sebanyak 85 warga negara Cina yang masuk ke Indonesia per 4/5/2021 lalu, disebut bekerja di proyek strategis nasional (PSN). Mereka diizinkan masuk karena dianggap memiliki tujuan esensial, yakni sebagai pekerja pada objek vital, penyatuan keluarga, bantuan medis dan kemanusiaan, serta kru alat angkut (finance.detik.com, 8/5/2021).
Fakta di atas tentunya sangat menyakiti hati rakyat, terutama bagi para pengangguran yang senantiasa bertambah setiap tahunnya. Namun sangat disayangkan, kepekaan yang dimiliki oleh pemerintah seolah hilang entah ke mana.
Berbagai kesepakatan yang dibuat oleh pemerintah dengan negara Cina telah mengenyahkan rasa empati untuk rakyat sendiri dan lebih mementingkan tenaga kerja dari Cina. Sebuah hal yang kebolak-balik, para tenaga kerja lokal dijadikan anak tiri di negeri mereka sendiri. Sementara, tenaga kerja asing dibiarkan melenggang dengan bebasnya tanpa hambatan.
Ini semua merupaka efek dari diterapkannya Kapitalisme-Sekularisme sebagai aturan kehidupan. Sudah tak sepantasnya lagi sistem yang telah nyata rusak dan merusak itu dijadikan sebagai rujukan.
Berbeda halnya dengan syari’at Islam dengan Khilafah sebagai institusinya dalam menghadapi permasalahan tenaga kerja. Tak akan ada pembiaran yang dilakukan Khilafah terhadap setiap urusan rakyatnya, terlebih hal yang menyangkut hajat hidup mereka. Maka, Islam memiliki dua kebijakan yang dilakukan untuk memenuhi kemaslahatan rakyat.
Pertama, mengetahui asal negara tenaga kerja asing sebelum diterima bekerja di negara Khilafah. Jika orang tersebut berasal dari negara kafir yang menyerang kaum muslimin (harbi), Khalifah tidak akan memberikan izin untuk bekerja di negara Khilafah.
Sementara, negara luar yang memiliki hubungan perjanjian dengan negara Khilafah—bukan dalam rangka menyerang kaum muslimin—, diperbolehkan menjalankan pekerjaannya dalam Khilafah. Dengan catatan, wajib sesuai hukum syariat yang disepakati antara Khilafah dan negara mereka.
Kedua, usaha mereka dibatasi pada komoditas yang terkategori kepemilikan individu. Mereka tidak diizinkan mengelola kepemilikan umum dan kepemilikan negara. Kalaupun mereka diminta oleh Khilafah untuk mengerjakan sebuah proyek, sifatnya adalah perusahaan/individu yang dikontrak/dipekerjakan oleh negara, bukan sebagai pengelola. Selain itu, Khilafah akan membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya bagi rakyat demi kesejahteraan mereka.
Peran dan tanggung jawab kepala negara sebagai pengurus dan pelayan masyarakat akan berjalan secara sempurna dalam Khilafah. Kebutuhan pokok rakyat akan terpenuhi, terjamin pula peluang yang sama untuk memenuhi kebutuhan pelengkap—sesuai kadar kemampuannya secara alami. Hal ini yang akan menghilangkan berbagai sebab ketegangan, pertentangan, dan konflik sosial.
Sungguh, Islam selalu bisa menghadirkan solusi untuk berbagai problematika yang muncul di tengah-tengah masyarakat, tak terkecuali tentang ketenaga kerjaan. Selayaknya, kita kembali ke pangkuan Islam yang tentunya lebih menenteramkan bagi kehidupan.
Wallahu a’lam bishshowab.