Oleh : Rayani umma Aqila safhira
Seperempat abad sejak dunia dipaksa mengadopsi Aksi Beijing (Beijing Declaration and Platform for Action/BPfA), Barat menilai kemajuannya sungguh lambat. Masih terjadi ketimpangan (gender parity) yang menghambat capaian kesetaraan. Pada 2020, World Economic Forum (WEF) mengingatkan dunia akan komitmen internasionalnya, menuju target capaian sustainable development goals/SDGs 2030 yang bersinergi dengan peringatan BPfA +25.1.
Di Indonesia sendiri sebagai salah satu program dari pemerintahan Jokowi melalui Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), I Gusti Bintang Puspayoga, menyatakan bahwa untuk mewujudkan program-program bangsa, diperlukan bahasa agama di tengah masyarakat Indonesia yang mayoritas religius. Diharapkan adanya andil Masjid Istiqlal dapat menciptakan pemberdayaan perempuan serta perlindungan anak. (kemenpppa.go.id, 19/2/2021). Peran ini diperkuat melalui Nota Kesepahaman Kementerian PPPA dengan Badan Pengurus Masjid Istiqlal (BPMI) yang dihadiri oleh Imam Besar Masjid Istiqlal sekaligus Ketua Harian BPMI, Prof. Dr. K.H. Nasaruddin Umar di Gedung Kementerian PPPA.
Menteri PPPA menjelaskan isu perempuan dan anak merupakan isu yang kompleks, multisektoral, dan sangat berkaitan dengan cara berpikir masyarakat. Sehingga, ia mengapresiasi program dari Imam Besar Masjid Istiqlal untuk mengubah cara pikir dan cara pandang masyarakat agar ramah dan responsif terhadap perempuan dan anak. Senada dengan Menteri PPPA, K.H. Nasaruddin juga menyampaikan program kerja Kemen PPPA sangat dekat dengan program Kerja BPMI. Maka dari itu, BPMI akan sangat serius memperhatikan permasalahan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, serta menjadikan masjid sebagai pusat pemberdayaan perempuan dan anak sehingga mampu menginspirasi rumah-rumah ibadah lain untuk melakukan hal yang sama.
Selain itu salah satu program BPMI adalah Pendidikan Ulama Perempuan. Belum pernah ada pendidikan ulama perempuan secara khusus, yang ada adalah pendidikan kader ulama. Banyak ulama tapi ulama perempuan sangat langka. Kita ingin perempuan itu punya kekuatan intelektual untuk mengkaji kitab suci Al-Qur’an dan juga hadis,” ujarnya. Ia menambahkan, selain pendidikan ulama perempuan, sejumlah program lain juga telah disiapkan guna mendukung penguatan keluarga. “Kalau bahasa agama yang digunakan untuk pemberdayaan perempuan, ini akan sangat efektif. Bahasa agama sangat diperlukan pemerintah untuk mewujudkan program-program bangsa. Karena warga negara kita ini religius, dengan menggunakan bahasa agama, maka efektivitasnya akan luar biasa.
Islam Moderat dan Pengarusutamaan Gender Mewarnai Nota Kesepahaman.
Kesetaraan Gender adalah penjajahan Kapitalistik sebagai tujuan ke-5 SDGs, dan penjajahan Barat yang diselubungi utopia kesejahteraan perempuan. Semua “pemufakatan” internasional tentang gender—baik CEDAW, BPfA, ICPD, MDGs, ataupun SDGs—sebagaimana UU internasional yang digagas Barat adalah sumber malapetaka. Selain itu nota kesepahaman yang telah ditandatangani ini mencakup beberapa hal yaitu pertama, percepatan pencapaian lima arahan Presiden yaitu peningkatan peran perempuan dalam kewirausahaan, peningkatan peran ibu dan keluarga dalam pendidikan/pengasuhan anak, penurunan kekerasan terhadap perempuan dan anak, penghapusan pekerja anak, dan penurunan perkawinan anak.
Kedua, pengarusutamaan gender dan pemenuhan hak anak dalam program masjid. Ketiga, peningkatan kualitas dan kuantitas ulama yang responsif gender dan peduli hak anak, khususnya kader ulama perempuan yang menguasai keilmuan Islam berbasis gender melalui pemahaman Islam yang moderat. Keempat, penyediaan dan pertukaran data terpilah, statistik, dan informasi berkaitan dengan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak berbasis masjid. Dengan kata lain dengan adanya program ini bisa dikatakan proyek kontraterorisme menyasar Perempuan dan bisa dikatakan adanya kaitan kejadian ini dengan tafsiran yang memang dimiliki kalangan tertentu yang acap kali menyudutkan Islam sebagai agama yang tidak berpihak pada perempuan.
Tampak aroma kriminalisasi ajaran Islam ideologis kian menguat. Bila demikian, Indonesia memang sedang menjalankan dikte-dikte imperialisme Barat yang dijalankan di hampir semua dunia Islam. Dan dengan dukungan PBB sebagai lembaga dunia telah meluncurkan General Recommendation 30 CEDAW yang menekankan negara untuk melindungi perempuan dari kekerasan berbasis gender akibat berbagai macam konflik, termasuk dalam konteks terorisme. Resolusi Dewan Keamanan PBB no. 1325 tentang “Perempuan, Perdamaian, dan Keamanan” memperkuat rekomendasi tersebut. Sementara resolusi DK PBB no. 2178 tahun 2014 menekankan pemberdayaan perempuan sebagai faktor mitigasi dalam penyebaran kekerasan radikalisme. Resolusi 2242 (tahun 2015) menyerukan negara-negara untuk membuat laporan global study 1325, memasukkan agenda perempuan, perdamaian, dan keamanan dalam agenda pembangunan 2030.
Semuanya kembali pada isu gender. Butuh peran aktif perempuan dalam menciptakan keamanan sesuai tafsiran Barat. Proyek ini memang sedang diaruskan dunia. Dengan demikian hal ini tentu bisa juga dimaknai sebagai program Daiyah Antiradikalisme. Barat yang gagal dalam beberapa proyek besarnya di dunia Islam—salah satunya dalam menghunjamkan nilai gender—tidak lantas berputus asa. Mereka mendomplengkan bahasan gender dalam isu kontraterorisme dan deradikalisasi, termasuk yang terjadi di Indonesia. Atau bisa disebut juga dakwah ramah untuk halau Radikalisme. Bahkan, pada 2017 silam pernah dilakukan pelantikan daiyah antiradikalisme oleh Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komisaris Jenderal Suhardi Alius.
Barat, jelasnya, melalui RAND Corporation memang telah membuat rekomendasi strategis yang harus ditempuh AS untuk menghadapi tantangan di dunia Islam. Mereka meyakini bahwa kaum ekstremis tidak bisa diperangi dengan cara militer saja. Sehingga mereka perlu bertempur secara kultural dan sosial, seperti promosi jaringan moderat, mengganggu jaringan radikal, melakukan edukasi tentang “medan pertempuran” ide-ide kritis, melibatkan umat Islam dalam politik “normal” (baca: demokrasi), serta reformasi madrasah dan masjid. Dalih edukasi dan penjagaan keamanan digunakan untuk memainkan kalangan perempuan dan memberinya peran penting dalam menderaskan pemahaman Islam moderat yang dilambangkan lebih ramah dan toleran.
Padahal, penderasan paham ini justru akan menjauhkan Islam dari hakikat sejatinya sebagai ajaran yang kafah serta pemersatu hakiki antarseluruh golongan. Oleh sebab itu, umat wajib waspada dengan strategi devide et impera ini. Kesatuan dan persatuan kaum muslimin yang dilandaskan ukhuwah islamiah menjadi taruhannya. Umat Islam hanya menjadi korban atas polarisasi antara golongan radikal/ekstremis versus moderat. Tidak ada kelompok muslim yang diuntungkan. Barat yang bertepuk tangan dan mengambil keuntungan maksimal. Semua “pemufakatan” internasional tentang gender—baik CEDAW, BPfA, ICPD, MDGs, ataupun SDGs—sebagaimana UU internasional yang digagas Barat adalah sumber malapetaka.
Dunia memang gagal dalam menyelesaikan semua masalah. Ini adalah akibat sistem sekuler yang mereka terapkan. Termasuk gagal dalam menyelesaikan masalah perempuan. Bagaimana tidak disebut gagal bila konseptor ide gender tak pernah tulus menghargai martabat perempuan, kecuali hanya menjadikan perempuan sebagai obyek ekonomi dan pelengkap penderita atas permasalahan utama dunia kapitalistik. Mereka mengeksploitasi semua potensi perempuan demi mendongkrak pertumbuhan ekonomi korporatokrasi. Padahal sudah jelas, kampanye kesetaraan gender yang eksis seumur hegemoni Kapitalisme tak pernah mampu membuat satu negara pun mencapai kesetaraan gender. Pengakuan itu menjadi pembuktian bahwa ide gender adalah ide absurd yang harus segera dibuang. Watak liberal yang disandang Kapitalisme turut memberi andil terhadap penghancuran peran sentral setiap anggota keluarga.
Berbeda dengan Islam hak dan kedudukan wanita sebagaimana laki-laki, hak-hak wanita juga terjamin dalam Islam. Pada dasarnya, segala yang menjadi hak laki-laki, ia pun menjadi hak wanita. Agamanya, hartanya, kehormatannya, akalnya dan jiwanya terjamin dan dilindungi oleh syariat Islam sebagaimana kaum laki-laki. Diantara contoh yang terdapat dalam al Qur`an adalah: wanita memiliki hak yang sama dengan laki-laki dalam beribadah dan mendapat pahala: “Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.” (QS. An Nisâ [4]: 124). Wanita juga memiliki hak untuk dilibatkan dalam bermusyawarah dalam soal penyusuan. “Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya.” (QS. Al Baqarah [2]. Wanita berhak mengadukan permasalahannya kepada hakim:
“Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Al Mujâdilah [58]. Dan di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, diriwayatkan beberapa kasus pengaduan wanita kepadanya. Wanita adalah partner laki-laki dalam peran beramar makruf nahi munkar dan ibadat yang lainnya. “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al Taubah [9]: 71)
Allah juga berfirman tentang hak wanita: “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi laki-laki, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al Baqarah [2]: 228). Ibnu Katsir berkata, “Maksud ayat ini adalah bahwa wanita memiliki hak atas laki-laki, sebagaimana laki-laki atas mereka. Maka, hendaknya masing-masing dari keduanya menunaikan hak yang lainnya dengan cara yang makruf.
menjamin hak-hak wanita, Islam pun menjaga kaum wanita dari segala hal yang dapat menodai kehormatannya, menjatuhkan wibawa dan merendahkan martabatnya. Atas dasar inilah kemudian sejumlah aturan ditetapkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Dan agar berikutnya, kaum wanita dapat menjalankan peran strategisnya sebagai pendidik umat generasi mendatang. Islam adalah agama syariat dan aturan. Oleh karena itu ia datang untuk memperbaiki kondisi kaum wanita, mengangkat derajatnya, agar umat Islam (dengan perannya) memiliki kesiapan untuk mencapai kemajuan dan memimpin dunia. Adapun hari ini fenomena kerusakan yang dirasakan di seluruh penjuru dunia. Bagaimanapun, Kapitalisme beserta turunannya—demokrasi, liberalisme, hingga kesetaraan gender—adalah sistem destruktif hingga mampu menghancurkan tatanan masyarakat. Untuk menghentikan destruksinya, butuh solusi struktural bukan individual ataupun komunal. Dunia butuh Khilafah. Negara yang memiliki wibawa untuk menolak ketundukan pada undang-undang kufur internasional dan memiliki kemandirian untuk melaksanakan hukum Islam kafah. Hanya Khilafah yang mampu melaksanakan semua ketentuan Allah sekaligus menjamin keberkahan kehidupan (Lihat: QS Thaha ayat 123). Wallahu A'lam bisshowab