Oleh: Ummu Fahsa
Penulis di Komunitas Rindu Surga
Masih jelas diingatan kita, sekitar bulan Juni tahun 2019, terjadi peristiwa bagi-bagi ayam gratis oleh Asosiasi Peternak Ayam Yogyakarta di sejumlah titik. Hal ini terjadi akibat anjoknya harga ayam broiler di tingkat peternak. Harga ayam di kandang peternak hanya laku dikisaran harga Rp 7-8 ribu per Kg, sementara untuk produksi ayam per Kg membutuhkan biaya Rp 18.700. Kondisi ini sudah barang tentu menjadikan peternak merugi. Kondisi ini juga terjadi di berbagai daerah, sejumlah peternak di Kabupaten Ciamis juga mengalami kerugian yang sama. Peternak rakyat dan peternak mandiri menjerit, karena mereka sudah tidak sanggup menahan beban biaya pemeliharaan.
Pemicunya disinyalir akibat terjadinya over produksi ayam, akibat produksi ayam melimpah. Saat itu solusi yang diambil Kementerian Pertanian adalah dengan menginstruksikan perusahaan pembibitan ayam broiler melakukan pengafkiran atau pemusnahan indukan ayam yang berumur 68 minggu, sehingga akan mengurangi produksi telur dan juga dengan memusnahkan telur ayam siap tetas. Dengan berkurangnya produksi bibit ayam, akan mengurangi pasokan sehingga bisa mengerek harga ayam.
Nampak jelas, sesungguhnya produksi ayam di negeri ini sudah berlimpah, negeri kita tidak kekurangan pasokan ayam. Namun sungguh mengenaskan, saat ini, nampaknya fenomena peternak dirugikan akan terulang kembali, dengan penyebab yang berbeda. Peternak ayam nampaknya harus bersiap-siap untuk menjerit kembali, kali ini ancaman datang dari negeri Samba, Brazil, yang akan menggempur daging ayam impor murah dalam beberapa waktu ke depan. Sebagaimana diberitakan oleh cnnindonesia (Jumat (23/4/21), Singgih Januratmoko selaku Ketua Umum Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat (Pinsar) Singgih Januratmoko mengatakan bahwa Pemerintah tidak berencana impor daging ayam, tapi ada ancaman daging Brasil karena Indonesia kalah di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Penyebab Serbuan Impor Ayam
Persoalan ini bermula ketika Indonesia sempat kalah dari gugatan Brasil yang didaftarkan ke WTO pada tahun 2014 lalu. Di dalam gugatan itu, Brasil mengeluhkan Indonesia yang dianggap menghambat ekspor ayam Brasil ke Indonesia sejak tahun 2009 silam. Indonesia diputuskan bersalah karena tidak mematuhi ketentuan WTO dan harus mengubah ketentuan impornya. Pemerintah pun mengakomodasi dengan mengubah dua aturan, yakni Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 65 Tahun 2018 tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Hewan dan produk Hewan serta Peraturan Menteri Pertanian Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pemasukan Karkas, Daging, Jeroan, dan Olahannya ke Dalam Wilayah NKRI.
Akibat kekalahan ini Indonesia harus bersedia menerima ayam impor dari Brazil. Kondisi ini sangat pelik, sebab daya saing industri perunggasan Indonesia sangat lemah. Harga ayam tidak bisa bersaing, karena harga pakan mahal, sehingga apabila nanti harus bersaing dengan ayam dari Brazil yang dijual murah, dapat dipastikan peternak rakyat akan tersingkir. Pengaruh harga pakan sekitar 70 persen pada biaya produksi dari tumbuhnya ayam secara keseluruhan. Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdaganganm Syailendra sudah mengingatkan bahwa serangan impor itu tidak mengada-ada. Karenanya, peternak harus bisa menekan harga ayam dengan mengefisiensikan harga pakan ternak.
Lagi-lagi solusi yang diambil membuat kening berkerut, karena menurutnya, supaya tidak kalah dari ayam Brazil, maka peternak harus mampu memangkas harga pakan. Apabila harga pakan lokal tidak bisa ditekan, maka solusinya adalah impor pakan ayam. "Kalau kita nggak bisa efisien dan bahan baku juga nggak bisa kita pastikan, ekstremnya itu, mungkin saya dianggap nyeleneh, impor saja pakan kalau produksi lebih mahal (dengan pakan lokal), tapi dampak ke petani dan industri pakan seperti apa, kalau cari kemudahan begitu aja cari yang termurah, tapi nggak gitu juga," kata Syailendra, dikutip dari YouTube Pataka Chanel FGD: "Harga Jagung Melambung" Jumat (23/4/21). Sungguh mengenaskan, solusi untuk menyelamatkan ayam para peternak adalah dengan mengorbankan para produsen pakan lokal.
Hegemoni WTO
Indonesia sepatutnya menyadari WTO hanya alat hegemoni untuk menekan negara berkembang, menjebak negeri dalam bahaya penjajahan ekonomi dan tidak memberi keuntungan sedikitpun pada negeri ini. WTO merupakan organisasi perdagangan dunia yang berperan untuk mengatur masalah perdagangan internasional. WTO berperan meningkatkan liberalisasi perdagangan melalui serangkaian negosiasi dan menghilangkan hambatan-hambatan yang mengganggu laju perdagangan bebas. Proses pengambilan keputusan di WTO didasarkan pada tercapainya konsensus. Dengan demikian sudah pasti WTO ini merupakan alat untuk mendukung blok-blok perdagangan negara yang kuat seperti Amerika dan Eropa untuk melakukan perdagangan bebas ke seluruh negeri.
Beginilah kondisi negeri-negeri berkembang, termasuk negeri Indonesia, tidak memiliki kekuatan. Pemerintah tidak bisa melindungi kepentingan rakyatnya sendiri termasuk dalam hal impor ayam, tidak bisa melindungi kepentingan para peternaknya sendiri. Negara tidak bisa melepaskan diri dari berbagai perjanjian internasional yang pada faktanya mencengkram negara dan rakyatnya, sehingga harus menyerah mengikuti tuntutan negara lain. Berbagai organisasi atau institusi international dibuat seolah untuk mengakomodir kepentingan bersama, namun pada faktanya semuanya dibuat untuk memenuhi kepentingan barat yang menganut sistem kapitalisme. Berbagai regulasi yang dibuatnya pada hakekatnya untuk memuluskan kepentingan mereka dan menjadikan negara-negara berkembang sebagai jajahannya. Dengan demikian cara untuk melepaskan diri dari cengkeraman tersebut adalah dengan memunculkan kekuatan baru yang sudah pasti akan menghapus semua dominasi sistem kapitalis di muka bumi ini. Kekuatan tersebut sudah tentu kekuatan yang berasal dari Allah SWT, yaitu kekuatan sistem Islam yang mengatur semua urusan dan menyelesaikan semua problematika kehidupan dan membebaskan dari dominansi negara lain. Wallahu 'alam.
Tags
Opini