Oleh Firda Umayah
Federasi Serikat Pekerja Tekstil, Sandang Dan Kulit (SP TSK SPSI) menolak rencana Kementerian Tenaga Kerja yang membuka opsi aturan untuk memperbolehkan perusahaan mencicil atau menunda pembayaran tunjangan hari raya (THR).
Ketua Umum Pimpinan Pusat FSP TSK SPSI Roy Jinto mengatakan kebijakan tersebut pernah dikeluarkan pada 2020. Alhasil, banyak perusahaan memilih opsi itu. Sementara kondisi saat ini sudah berbeda dari tahun lalu. Sebab, tahun 2021 perusahaan sudah beroperasi secara normal (cnnindonesia.com/21/03/2021).
Para buruh menyayangkan sikap pemerintah yang membuka ruang terbuka bagi para pengusaha dalam memberikan THR (Tunjangan Hari Raya). Padahal, THR merupakan hak para buruh yang harus ditunaikan. Sebagian dari para pengusaha menyatakan bahwa efek dari pandemi menyebabkan mereka tak dapat memberikan THR secara tuntas.
Hal itu disampaikan oleh para pengusaha tekstil dan produk tekstil (TPT) yang merasa masih tertekan pandemi COVID-19. Berdasarkan riset Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), pengusaha di sektor tersebut minta pembayaran tunjangan hari raya (THR) dicicil (finance.detik.com/09/04/2021).
Dalam sistem ekonomi kapitalis memang sarat untuk memberikan perhatian yang lebih pada para pengusaha. Sehingga sering sekali kebijakan yang ditetapkan hanya merugikan para buruh. Seperti halnya dalam penentuan UMR (Upah Minimum Regional), penetapan masa kerja dan cuti, serta yang lainnya. Padahal para buruh memiliki peran penting dalam menjalankan roda perekonomian negara.
Hal ini tentu sangat berbeda didalam pandangan Islam. Islam memandang bahwa orang yang berkerja berhak mendapatkan upah dari hasil kerjanya sesuai dengan kesepakatan dengan orang yang memperkerjakan. Dalam hal ini, seorang pengusaha tidak boleh menahan pemberian upah kepada buruh selama pengusaha tersebut mampu dalam menunaikannya. Disinilah peran penting negara. Negara harus melakukan pemeriksaan atas setiap usaha yang dijalankan oleh para pengusaha.
Negaralah yang berhak menentukan mana pengusaha yang mampu menjalankan perusahaannya dan mana yang tidak mampu akibat suatu hal dan kondisi. Jika seorang pengusaha dirasa tak mampu memberikan upah sesuai dengan kesepakatan awal maka boleh dilakukan perbaikan akad antara pengusaha dan pekerja. Tentu saja perbaikan ini akan mengubah akad upah yang akan diterima pekerja. Namun, perlu dipahami bahwa penentu upah yang layak diberikan oleh pekerja hanya boleh dilakukan oleh aparat negara yang disebut dengan Khubara'.
Khubara' lah yang menentukan upah pekerja berdasarkan aspek manfaat yang diberikan serta ia lah yang menyelesaikan sengketa diantara pekerja dan pengusaha. Sehingga, tidak ada pihak yang dirugikan baik antara pekerja maupun pengusaha. Semua itu tentu saja hanya bisa dilaksanakan ketika negara menerapkan sistem Islam tidak hanya dalam sistem ekonomi, namun juga dalam sistem pemerintahan dan juga sistem kehidupan lainnya.
Tags
Opini