Oleh: Rindoe Arayah
Saat ini, banyak didapati di time line media sosial para millennial yang mencapai kesuksesan dalam kehidupan. Sayangnya, kesuksesan yang telah diraih hanya diukur berdasarkan kekayaan yang mampu diraupnya.
Cara pandang seperti ini merupakan rujukan dari seseorang yang telah teracuni sistem kapitalis-sekuleris. Segala perbuatannya selalu didasarkan pada untung rugi tanpa memperhatikan halal dan haram. Sungguh miris tentunya (mmc milenial, 12/4/2021).
Seringkali tanpa disadari, kita beranggapan bahwa kebahagiaan seseorang itu diukur dengan hal yang kasat mata, materialistik. Padahal, dalam kenyataanya tidak semua yang sifatnya kebendaan selalu berbanding lurus dengan kebahagiaan. Ali bin Abi Thalib pernah ditawari oleh Rasulullah, seandainya engkau ditawari harta dan ilmu memilih mana? Ali dengn cerdas lebih memilih ilmu. Sesuatu yang tidak kelihatan. Alasan Ali banyak, salah duanya adalah : Pertama – Ilmu dapat menjaga harta. Harta tanpa ilmu akan dengan mudah habis. Kedua – Dengan ilmu akan membuat kehidupan lebih tertata dan nyaman.
Rasulullah pernah bersabda, bahwa bahagia itu letaknya disini (sambil menunjuk dadanya), yang dimaksud adalah di hati. Yakni, dekat dengan Allah. Hatinya selalu terpaut dengan Allah. Dimanapun dan kapanpun. Menyadari dengan sepenuhnya bahwa kekuasaan Allah diatas segalanya. Maka ketika kita dihadapkan pada suatu masalah yang membuat gelisah, segera kita kembalikan kepada-Nya.
Jika harta menjadi ukuran kebahagiaan, maka lambat laun kita pasti akan kecewa. Dalam QS.At-Takatsur kita telah diingatkan agar tidak terlalu silau dengan indah dan megahnya dunia. Kata Allah, bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sehingga kamu masuk ke dalam liang kubur. Sampai diulang dua kali oleh Allah peringatan ini. Menunjukkan betapa urgent-nya perintah ini. Karena, dalam kenyataannya manusia sering lalai kalau sudah berhadapan dengan harta. Bahkan, tidak jarang hubungan persaudaraan bisa renggang hingga putus hanya karena masalah harta. Sungguh ironis.
Kebahagian itu dapat kita peroleh, justru pada saat kita memberi (give). Secara materi memang harta kita berkurang, namun secara substansi hati kita akan senang, karena dapat membantu orang lain, meski pada hakikatnya yang dapat menolong adalah Allah saja. Maka bersyukurlah disaat kita masih diberi kekuatan untuk membantu orang lain, pada saat mereka membutuhkan. Yang selalu kita pikirkan adalah bagaimana kita dapat bermanfaat bagi orang lain. Hadis Rasulullah, “Sebaik-baik manusia adalah mereka yang dapat bermanfaat bagi orang lain.”
Menerima dengan ridha setiap ketentuan dari Allah. Dalam bahasa agama disebut Qanaah. Sering yang membuat kita kecewa, sakit hati adalah pada saat keinginan kita tidak sesuai dengan harapan. Padahal segala upaya sudah kita lakukan, doa sudah kita panjatkan. Menerima ketentuan Allah setelah usaha maksimal, membuat hati kita menjadi lebih cair. Kalau berhasil kita bersyukur, jikalau gagal, dengan mudah kita kembalikan bahwa ini adalah ketentuan dari Allah yang sudah
Bisa jadi ketika apa yang kita inginkan dengan mudah tercapai, maka kita akan lupa kepada Allah, kemudian menganggap bahwa sukses yang kita raih adalah semata usaha yang kita lakukan. Tanpa campur tangan dari-Nya. Dalam hadis qudsi pernah dijelaskan, bagaimana Allah sering “rindu” dengan tangisan kita, dengan doa kita yang sungguh-sungguh. Padahal kalau kita sadar bahwa semua itu bukan untuk Allah, tetapi untuk diri kita sendiri.
Memang terasa sangat berbeda, jika melihat bagaimana solusi yang diberikan berdasar syari’at Islam dibandingkan dengan sistem kapitalis-sekuleris. Solusi Islam begitu menenangkan dan bisa mengantarkan pada keberkahan. Lainnya halnya dengan Kapitalisme-Sekularisme yang tidak pernah bisa mengantarkan manusia menuju kebangkitan dalam kehidupan.
Oleh karena itu, sudah saatnya kembali pada pangkuan Islam yang telah terbukti dalam kurun waktu 14 abad lamanya meraih kejayaan, hingga kerunruhannya pada 24 Maret 1924. Telah menjadi tugas kita bersama untuk senantiasa istiqamah di jalan dakwah demi tertegakkannya kalam Ilahi di muka bumi.
Wallahu a’lam bishshowab.