Sistem Demokrasi Kompatibel Dengan Agama?



Oleh Dwi Sri Utari, S.Pd (Guru dan Aktivis Politik Islam)

Dialog mengenai demokrasi  di kalangan muslim, termasuk para tokohnya saat ini didominasi oleh opini bahwa demokrasi kompatibel dengan Islam dan sebaliknya. Alasannya antara lain sebab unsur demokrasi yakni syura atau musyawarah disyariatkan pula dalam Islam. Demokrasi juga sering dikaitkan dengan transparansi, keadilan, kesamaan di depan hukum, kesejahteraan dan hal-hal positif lainnya. Tentu saja, semua itu merupakan kemaslahatan yang ingin diwujudkan oleh Islam. Akan tetapi banyak pula yang berpandangan bahwa demokrasi bertentangan dengan Islam bahkan menganggap telah menimbulkan banyak malapetaka kemanusiaan khususnya di tengah kehidupan kalangan muslim. Lalu bagaimana seharusnya bersikap pada demokrasi?

Opini bahwa demokrasi kompatibel dengan Islam juga disampaikan oleh Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan, agama, khususnya Islam, dapat menerima sistem politik dan pemerintahan apapun, termasuk demokrasi.). Pernyataan tersebut disampaikan Mahfud MD saat menjadi keynote speaker dalam webinar Tadarus Demokrasi seasion I, bertema Relasi Agama dan Demokrasi, yang diselenggarakan oleh MMD Initiative, di Jakarta, Sabtu (17/4/2021). "Agama itu peraturan dan normanya, prinsipnya, datang vertikal, dari Tuhan. Pedoman hidup manusia. Wahyu Tuhan yang wajib diikuti sesuai keyakinan. Sementara demokrasi hanya model dan sistem di dalam bernegara. Normanya lahir secara horizontal," kata Mahfud MD. (Dilansir Tribun News pada 18 Apri 2021).  
Disisi lain banyak juga kalangan yang mengkritisi praktek musyawarah dalam sistem demokrasi yang berbeda dan bertentangan dengan Islam. Musyawarah memiliki arti pengambilan pendapat menurut ajaran Islam. Dalam hal kriteria pendapat yang diambil, demokrasi memiliki kriteria suara mayoritas untuk semua persoalan. Sementara dalam Islam tidak selalu suara mayoritas. Dalam persoalan-persoalan normatif yang menyangkut hukum, kriterianya bukan suara mayoritas melainkan dalil syara, yakni mana dalil syari yang paling kuat. Sedangkan untuk persoalan-persoalan strategis yang memerlukan keahlian, kriterianya juga bukan suara mayoritas, melainkan pendapat yang paling benar yang datang dari para ahlinya.

Adapun mengenai transparansi dan keadilan dan sebagainya merupakan persoalan cabang dari persoalan pokoknya yakni demokrasi itu sendiri. Hakikat demokrasi adalah pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantara wakilnya; pemerintahan rakyat (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Dalam demokrasi kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. Pemerintahan dijalankan secara langsung oleh rakyat atau oleh wakil-wakil yang mereka pilih setiap pemilihan umum. 
Sebagaimana ucapan Abraham Lincoln bahwa demokrasi adalah suatu pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. 
Dari sisi sosio-historisnya di Barat, demokrasi lahir sebagai solusi dari dominasi gereja yang otoritarian dan absolut sepanjang Abad Pertengahan (abad V-XV M). Di satu sisi, dominasi gereja yang berkolaborasi dengan para raja Eropa menghendaki tunduknya seluruh urusan kehidupan (politik, sosial, ekonomi, dll) pada aturan-aturan gereja. Di sisi lainnya, dominasi gereja ini ditentang oleh para filosof dan pemikir yang menolak secara mutlak peran gereja dalam kehidupan. 

Terjadinya Reformasi Gereja, Renaissance menjadi titik tolak awal untuk meruntuhkan dominasi gereja. Pasca Revolusi Prancis tahun 1789 terwujudlah kompromi dari dua sisi tersebut dan terumuskanlah paham sekulerisme yakni paham yang memisahkan agama dari kehidupan. Agama tidak diingkari secara total, akan tetapi masih diakui sebatas mengatur hubungan manusia dengan Tuhan. Sedangkan hubungan manusia dengan manusia, yang mengatur dan membuat hukumnya adalah manusia itu sendiri bukan Tuhan atau agama. Pada titik inilah demokrasi lahir.

Berdasarkan sejarah lahirnya demokrasi dapat diketahui beberapa hal yakni bahwa sistem tersebut lahir dan berasal dari dunia Barat. Sistem demokrasi adalah sistem buatan manusia yang memberikan kewenangan kepada manusia untuk membuat aturan sendiri. Sementara sifat manusia yang terbatas memungkinkan manusia tidak bisa lepas dari kesalahan dan berbuat mengikuti hawa nafsu. Pada pelaksanaannya kita sering kali mendapatkan yang pada mulanya mengira sistem demokrasi akan membawa pada kehidupan yang sejahtera dan modern, namun kenyataannya tidaklah demikian. 
Demokrasi sering diperalat oleh kelompok elit masyarakat (elit wakil rakyat, elit parpol dan elit para pemilik modal) untuk memperkaya diri mereka sendiri sembari melupakan bahkan menindas rakyat.  Hal tersebut wajar, sebab dalam demokrasi nampaknya tidak pernah ada yang namanya rakyat sebagai penentu keinginan. Sejarah AS menunjukan hal tersebut. Sebelas tahun Lincoln meninggal dunia, Presiden AS Rutherford B. Hayes pada tahun 1876 mengatakan bahwa kondisi Amerika Serikat pada tahun itu adalah “from company, by company, and for company” (dari perusahaan, oleh perusahaan, dan untuk perusahaan). Kedaulatan dan kekuasaan dalam demokrasi nyatanya berada di tangan segelintir rakyat, yakni para pemilik modal. 

Contohnya saja bagaimana nampaknya kepentingan oligarki disapu bersih dengan UU Sapu Jagat. Disahkannya UU ini mengindikasikan aspirasi rakyat tak berlaku. Meski mayoritas rakyat menolak, toh tetap disahkan juga. Pertanyaannya, wakil rakyat itu sesungguhnya mewakili siapa? Suara rakyat hanya dibutuhkan saat pemilu. Setelah menang, mereka acuh tak acuh. Rakyat tak didengar, UU tetap melenggang. Wajarlah apabila muncul wacana bahwa demokrasi membawa malapetaka. Bukan keadilan dan kesejahteraan sebagaimana yang dikira dan diangankan. Perjalanan sejarah bangsa ini pun telah memberikan pelajaran bahwa demokrasi tak kunjung menuntaskan cita-cita rakyat. Alhasil opini bahwa demokrasi kompatibel dengan Islam pun menjadi tertolak.
Demokrasi tidak sejalan dengan Islam. 

Adapun sistem yang kompatibel dengan Islam adalah sistem yang disyariatkan oleh Islam itu sendiri yakni sebagaimana pelaksanaanya dicontohkan oleh Rasulullah melalui Daulah Islam di Madinah dan dilanjutkan oleh sistem kekhilafahan oleh para sahabat. Sistem politik inilah yang layak diuji untuk diterapkan dalam kehidupan. Namun mengapa rezim justru nampak alergi dengan menjauhkan informasi tentang khilafah dari masyarakat. Baik dengan mengatakan tidak kompatibel dengan negara maupun dengan menghapuskan informasi sistem politis kekhilafahan dari buku-buku yang dipelajari di sekolah.  Pernyataan bahwa agama bisa menerima sistem politik apapun akhirnya menampakan hipokrisi konsep yang ditawarkan. Wallahu a’lam bishshawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak