Oleh : Rayani umma Aqila
(Aktifis Muslimah Kendari)
Reshuffle Menteri diwacanakan akan kembali terjadi. Setelah sebelumnya Reshuffle Pertama pada tanggal 12 Agustus 2015, Reshuffle Kedua pada tanggal 21 Juli 2016 Reshuffle Ketiga pada Januari 2018 dan Reshuffle ke Empat 15 Agustus 2018. Dan pada periode ke Dua terjadi lagi Reshuffle 22 Desember 2020 lalu. Dan pada tahun 2021 wacana Reshuffle akan dilakukan lagi, Ini dilihat pada pernyataan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Ahmad Syaikhu yang merespons soal isu perombakan kabinet (reshuffle) Indonesia Maju Jilid II yang dikabarkan akan dilakukan dalam waktu dekat. Syaikhu berharap, reshuffle dilakukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) bukan untuk kepentingan akomodasi politik, melainkan untuk membantu kerja presiden dalam menjalankan roda pemerintahan kedepan.
Syaikhu menuturkan, bahwa reshuffle merupakan hak prerogatif presiden. Namun dirinya mengingatkan Presiden Jokowi untuk tidak hanya terbatas memilih calon menteri dari kalangan profesional non partai. Menurutnya ada banyak kalangan profesional di dalam partai yang juga memiliki kemampuan baik. Sejumlah hal yang disetujui, pertama, penggabungan sebagian tugas dan fungsi Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sehingga menjadi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, dan Riset Teknologi. Kedua, Rapat Pengganti Bamus DPR juga menyepakati pembentukan Kementerian Investasi untuk meningkatkan investasi dan penciptaan lapangan pekerjaan. Sementara itu, Tenaga Ahli Utama Kedeputian Kantor Staf Presiden, Ali Mochtar Ngabalin menyampaikan, Presiden Jokowi akan melakukan perombakan susunan kabinetnya dalam waktu dekat. Ngabalin mengatakan Presiden Jokowi akan melantik menteri baru, yaitu Menteri DIKBUD/RISTEK, dan Menteri Investasi/Kepala BKPM.( Harian Aceh.co 15/4/2021).
Dan juga seperti dilansir dari Kabar24.Bisnis.com ( 13/4/2021) Presiden Joko Widodo dipastikan melakukan reshuffle dalam waktu dekat, wacana ini dibenarkan Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad, setelah membacakan agenda sidang keenam Paripurna ke-16. Politisi Gerindra itu menyampaikan Presiden Joko Widodo tengah meminta pertimbangan perubahan dan penggabungan kementerian lembaga.
Meski negeri ini telah berapa kali mengganti kursi kekuasaan pembantu Presiden tetapi tidak menimbulkan pengaruh yang signifikan dalam mengurus Rakyat. Hal ini sangat mungkin terjadi sebab, kekuasaan yang berkarakter Sekuler Kapitalis menjadikan Menteri-Menteri terpilih tidak lepas dari kepentingan para Kapital. Pengangkatan Menteri dalam sistem Sekuler hanya akan memicu perdebatan soal akomodasi politik atau balas budi untuk kepentingan partai penguasa dibanding kebutuhan kemaslahatan publik. Pun demikian, para menteri dipilih bukan berdasarkan kapabilitas mereka terhadap bidang yang diamanahinya. Tapi mereka dipilih karena dorongan partai. Sehingga jabatan menteri seolah dijadikan upah atas kerja partai dalam menyukseskan koalisi. Inilah yang dinamakan politik transaksional. Para menteri ada untuk memenuhi kepentingan partai. Wajar jika yang menjadi acuan kerjanya adalah partainya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa jabatan menteri adalah sapi perah partai untuk bisa hidup. Belum lagi para menteri tersebut harus melayani para korporasi yang telah memberikan sokongan dana saat pemilu.
Maka dari itu, buruknya kinerja dan juga kurangnya senses of crisis adalah sebuah keniscayaan dalam pemerintahan yang dinaungi sistem demokrasi kapitalisme. Dengan demikian mustahil di sistem kapitalisme pejabat berpihak pada rakyat Selama sistem yang menaungi negara ini adalah sistem kapitalisme, maka orientasinya bahwa materi adalah asas mereka dalam bekerja. Begitu pun amanah sebagai pejabat dimaknai usaha untuk menghasilkan laba. Mereka memposisikan dirinya sebagai penjual yang telah berjasa pada konsumennya. Wajar akhirnya, memilah mana yang akan diprioritaskan untuk diurusi. Tentunya, para korporasilah yang akan diprioritaskan karena menguntungkan.
Adapun mengurus rakyat akan sedemikian rupa dihindari. Inilah yang menyebabkan kinerja para menteri terhadap permasalahan yang berhubungan dengan umat selalu setengah hati. Berbeda sikap dengan korporasi, mereka selalu mengurusinya dengan segenap hati. Sehingga, reshuffle menteri bukanlah solusi. Bahkan akan menyebabkan permasalahan baru, karena selain menteri yang baru harus lagi beradaptasi. Reshuffle pun tak menjamin politik transaksional tak akan terjadi di sana. Karena bagaimana pun sistem demokrasi kapitalisme telah melindungi oligarki kekuasaan. Dan dengan reshuffle, tetap akan selamanya menjaga keberlangsungan sistem Kapitalisme. Yang pada akhirnya, reshuffle kabinet yang dilakukan menyiratkan setidaknya dua hal yakni: satu, politik transaksional adalah konsekuensi dari proses politik ala demokrasi kapitalistik. Kepentingan individu maupun partai diletakkan di atas kepentingan rakyat.
Alhasil, demokrasi “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” hanyalah mitos. Secara sistemis demokrasi melahirkan negara korporasi yang terbentuk dari simbiosis mutualisme elite politik dan pemilik modal yang tidak akan pernah berpihak pada rakyat.
Kedua, perombakan kabinet tetap saja bertujuan untuk menjaga kekuasaan rezim yang ada. Untuk itu, rezim harus bisa memastikan bahwa penyokong kekuasaannya adalah mereka yang memiliki loyalitas. Tak dipungkiri Reshuffle Kabinet, bongkar pasang ala Demokrasi. Realitasnya, jabatan bukan lagi perkara mampu atau tidak, kapabel atau tidak, memiliki visi seorang negarawan atau tidak. Jabatan adalah tentang bagi-bagi jatah, bagi-bagi kue kekuasaan. Para politisi pun berebut mendatangi pemilik modal untuk bisa melaju ke kursi dewan ataupun pemerintahan, karena mereka membutuhkan modal yang tidak sedikit untuk bisa mendapatkan semua itu. Terikatlah parpol dan politisi pada kontrak politik transaksional dengan para pemilik modal.
Berbeda dengan sistem pemerintahan Islam, Islam memandang Jabatan adalah amanah dan Islam menjelaskan bagaimana gambaran mekanisme Islam dalam penggantian pejabat negara. Dan menjadikan sistem Khilafah adalah solusi. Dan hanya dalam sistem Islamlah akan terlahir para pemimpin yang fokus utamanya adalah umat. Pandangan bahwa penguasa adalah pelayan dan rakyat adalah tuannya, hanyalah ada di dalam konsep Islam. Khalifah sebagai pemimpin negara memiliki tanggung jawab penuh pada terselesaikannya urusan umat. Ini bisa dilihat dalam hadits ,“Tidaklah seorang hamba yang diserahi Allah untuk memimpin rakyat, lalu ia meninggal dunia dalam keadaan curang terhadap rakyatnya, kecuali Allah mengharamkannya masuk surga.” (Muttafaqun ‘alaih)
Dalam struktur sistem pemerintahan Islam, seorang Khalifah dalam menjalankan pemerintahannya akan dibantu oleh muawin (pembantu Khalifah, ed.). Khalifah wajib mengontrol para muawin-nya. Sehingga jika ada kesalahan, tidak serta-merta kecewa terhadap kinerja pembantunya, namun akan ditelaah bersama. Karena pada dasarnya kesalahan yang dilakukan para muawin tentu tak terlepas dari kiprah pemimpinnya. Mu’âwinûn at-Tafwîdh (Wuzarâ’ at-Tafwîdh) adalah para pembantu Khalifah dalam bidang pemerintahan. Mereka diangkat Khalifah untuk bersama-sama memikul tanggung jawab pemerintahan dan kekuasaan. Mereka mendapat mandat mengatur berbagai urusan serta melaksanakannya menurut pendapat dan ijtihadnya sesuai ketentuan syariat.
Dalilnya adalah sabda Rasulullah Saw., “Jika Allah menghendaki kebaikan bagi seorang amir (Imam/Khalifah), Allah menjadikan bagi dirinya seorang pembantu (wazîr) yang jujur dan benar. Jika dia lupa, wazîr itu akan mengingatkan dia. Jika dia ingat, wazîr itu akan membantu dia.” (HR at-Tirmidzi).
Sedangkan untuk mengurusi seluruh kemaslahatan umat, ada departemen kemaslahatan umum (struktur administrasi) yaitu struktur pelaksana pemerintahan. Sebuah badan-badan pelaksana atas perkara-perkara yang wajib dilaksanakan di dalam sebuah pemerintahan guna memenuhi kepentingan-kepentingan masyarakat umum (Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 128). Dalilnya adalah perbuatan (af’âl) Rasulullah Saw. dan Khulafaur Rasyidin dalam mengatur negara. Saat itu urusan administrasi diurus dengan penuh sistematis. Untuk itu perlu ada struktur guna mempermudah pengaturan dalam melaksanakan seluruh kewajiban negara.
Oleh karena itu perlu adanya Departemen Pendidikan, Kesehatan, Pekerjaan, Perhubungan, Pertanian dan sebagainya. Semua ini kembali pada ijtihad dan kebijakan Khalifah mengenai apa dan berapa jumlah Kemaslahatan Umum (Struktur Administrasi) yang dibutuhkan untuk dapat menunaikan segala kewajiban negara dan memenuhi kepentingan (maslahat) masyarakat umum (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 117; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 128). Strategi kinerjanya dilandasi oleh kesederhanaan aturannya, kecepatan dalam pelayanan transaksinya, dan ditangani oleh orang-orang yang ahli di bidangnya. Sehingga akan tercipta kinerja yang optimal. Strategi inilah yang dipakai Daulah Khilafah Islam dalam mengatur pemerintahannya.
Islam memberikan panduan pokok bagi Khalifah dalam memilih para pembantunya agar terpilih orang-orang yang amanah, kredibel dan sesuai bidangnya. Pemilihan ini tidak didasari atas kepentingan individu apalagi kepentingan partai. Inilah beberapa kaidah memilih pejabat publik dalam sistem Kekhilafahan. Karena jabatan/kekuasaan benar-benar dimaksudkan untuk menunaikan apa yang menjadi hak rakyat, maka memilih pejabat publik yang amanah, kapabel, dan berakhlak mulia adalah langkah utama untuk menjalankan tugas sebagai pelayan dan pengurus rakyat daulah. Dan untuk itu hanya dengan perubahan yang menyeluruh dengan diterapkannya aturan dari Islam hingga pergantian pejabat yang amanah bisa terwujud.
Wallaahu a’lam.