Ramadhan Sepanjang Tahun



Oleh: Hamnah B. Lin

          Marhaban ya Ramadan. Tak terasa, Ramadhan kembali menyapa. Kali ini kita akan memasuki Bulan Suci Ramadhan 1442 H.
          Ramadan adalah bulan istimewa. Bulan yang di dalamnya diwajibkan puasa, yang bisa mengantarkan orang yang berpuasa meraih derajat takwa. Ramadan adalah bulan yang bertabur dengan pahala berlipat ganda. Bulan pengampunan atas dosa-dosa. Bulan yang di dalamnya pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup dan setan-setan dibelenggu.
          Ramadan adalah bulan yang di dalamnya ada satu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Itulah Lailatul Qadar. Bulan yang di dalamnya Allah menurunkan Alquran. Pedoman hidup manusia, yang menjadi sumber kebahagiaan mereka di dunia dan di akhirat. Ramadan adalah bulan yang penuh berkah berlimpah. Karena itu selayaknya setiap Muslim bergembira menyambut kedatangan Ramadan. Tamu agung yang membawa banyak sekali keutamaan.                               Memasuki Ramadhan kali ini, tentu kita berharap puasa kita benar-benar bisa mewujudkan ketakwaan hakiki pada diri kita, sebagaimana yang Allah SWT kehendaki: "Hai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana puasa itu pernah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa ". (TQS al-Baqarah [2]: 183).
         Tentu Allah SWT tidak pernah menyelisihi janji dan firman-Nya. Jika umat ini mengerjakan ibadah puasa dengan benar (sesuai tuntunan Alquran dan as-Sunnah) dan ikhlas semata-mata mengharap rida Allah SWT, niscaya takwa sebagai hikmah puasa itu akan dapat terwujud dalam dirinya.
          Apa yang disebut dengan takwa? Imam ath-Thabari, saat menafsirkan ayat di atas, antara lain mengutip Al-Hasan yang menyatakan, “Orang-orang bertakwa adalah mereka yang takut terhadap perkara apa saja yang telah Allah haramkan atas diri mereka dan melaksanakan perkara apa saja yang telah Allah titahkan atas diri mereka.” (Ath-Thabari, Jâmi al-Bayân li Tawîl al-Qurân, I/232-233).
          Berkaitan dengan takwa pula, Baginda Rasulullah Saw pernah bersabda kepada Muadz bin Jabal ra. saat beliau mengutus dia ke Yaman:
"Bertakwalah engkau kepada Allah di manapun engkau berada… ".(HR at-Tirmidzi).
Terkait dengan frasa ittaqilLah (bertakwalah engkau kepada Allah) dalam potongan hadis di atas, banyak ciri/sifat yang dilekatkan kepada orang-orang bertakwa (Muttaqîn). Orang bertakwa antara lain adalah orang yang mengimani yang gaib, mendirikan shalat, menginfakkan sebagian harta, mengimani Alquran dan kitab-kitab yang Allah SWT turunkan sebelum Alquran dan meyakini alam akhirat (QS al-Baqarah [2]: 1-4). Orang bertakwa juga biasa menginfakkan hartanya pada saat lapang ataupun sempit, mampu menahan amarah, mudah memaafkan kesalahan orang lain, jika melakukan dosa segera ingat kepada Allah SWT dan memohon ampunan-Nya serta tidak meneruskan perbuatan dosanya (QS Ali Imran [3]: 133-135). Tentu masih banyak ciri/sifat orang bertakwa yang disebutkan di dalam Alquran maupun as-Sunnnah.
          Adapun terkait frasa haytsuma kunta, secara lebih rinci dapat dijelaskan bahwa kata haytsu bisa merujuk pada tiga: tempat (makan), waktu (zaman) dan keadaan (hal). Karena itu sabda Baginda Rasul Saw kepada Muadz ra tersebut adalah isyarat agar ia bertakwa kepada Allah SWT tak hanya di Madinah: tak hanya saat turun wahyu-Nya, tak hanya saat bersama beliau, juga tak hanya saat dekat dengan Masjid Nabi saw. Namun, hendaklah ia bertakwa kepada Allah SWT di mana pun, kapan pun dan dalam keadaan bagaimana pun (Athiyah bin Muhammad Salim, Syarh al-Arbain an-Nawawiyyah, 42/4-8).
         Dengan demikian, jika memang takwa adalah buah dari puasa Ramadan yang dilakukan oleh setiap Mukmin, idealnya usai Ramadan, setiap Mukmin senantiasa berupaya menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya. Tentu dengan mengamalkan seluruh syariah-Nya baik terkait akidah dan ubudiah; makanan, minuman, pakaian dan akhlak; muamalah (ekonomi, politik, pendidikan, pemerintahan, sosial, budaya, dll); maupun uqubat (sanksi hukum) seperti hudud, jinayat, tazir maupun mukhalafat. Bukan takwa namanya jika seseorang biasa melakukan shalat, melaksanakan puasa Ramadan atau bahkan menunaikan ibadah haji ke Baitullah; sementara ia biasa memakan riba, melakukan suap dan korupsi, mengabaikan urusan masyarakat, menzalimi rakyat dan menolak penerapan syariah secara kâffah.
          Perlu dipahami bahwa tak hanya puasa yang bisa mengantarkan pelakunya meraih derajat takwa. Di dalam Alquran sendiri tak hanya ayat tentang kewajiban puasa yang diakhiri dengan frasa; laallakum tattaqun (agar kalian bertakwa). Di dalam beberapa ayat lain Allah SWT juga berfirman, antara lain:
"Hai manusia, beribadahlah kalian kepada Tuhan kalian yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa". (TQS al-Baqarah [2] 21)
"Bagi kalian, dalam hukum qishash itu ada kehidupan, wahai orang-orang yang memiliki akal, agar kalian bertakwa". (TQS al-Baqarah [2]: 179).
"Sungguh, inilah jalan-Ku yang lurus (Islam). Karena itu ikutilah jalan itu dan jangan kalian mengikuti jalan-jalan lain hingga kalian tercerai-berai dari jalan-Nya. Yang demikian Allah perintahkan agar kalian bertakwa". (TQS al-Anam [6]: 153).
          Berkaitan dengan ayat-ayat di atas jelas bahwa tak cukup dengan puasa orang bisa meraih derajat takwa. Ibadah (yakni totalitas penghambaan kita kepada Allah SWT), pelaksanaan hukum qishash serta keberadaan dan keistiqamahan kita di jalan Islam dan dalam melaksanakan seluruh syariah Islam, semua itulah yang bisa mengantarkan diri kita meraih derajat takwa.
          Namun di tengah sistem kehidupan sekuler yang tidak menerapkan syariah Islam secara kâffah saat ini, kaum Muslim tentu membutuhkan pemimpin yang benar-benar bisa mewujudkan hikmah puasa dalam dirinya, yakni takwa. Di antara kesempurnaan puasa pemimpin yang bertakwa adalah menjaga puasanya dari perkataan dusta (qawl az-zûr) karena kedustaan hanya akan membuat puasa seseorang sia-sia. Nabi Saw bersabda: "Siapa saja yang tidak meninggalkan perkataan dan perilaku dusta maka Allah tidak membutuhkan upayanya dalam meninggalkan makan dan minumnya".  (HR al-Bukhari).
        Pemimpin yang bertakwa adalah pemimpin yang amanah. Pemimpin yang tidak mengkhianati Allah SWT dan Rasul-Nya. Karena itu pemimpin yang bertakwa tidak mungkin menyalahi Alquran dan as-Sunnah. Mereka tak akan mengkriminalisasi Islam dan kaum Muslim. Mereka pun tidak akan menghalang-halangi apalagi memusuhi orang-orang yang memperjuangkan penerapan syariah dan penegakan Khilafah yang merupakan tâj al-furûdh (mahkota kewajiban) dalam Islam. Bahkan mereka akan menerapkan syariah Islam secara kâffah sebagai wujud ketaatan total diri mereka kepada Allah SWT.
         Hingga terwujudlah Ramadhan sepanjang tahun, yakni ketaatan dan totalitas takwa di bulan Ramadhan, akan dijalankan juga selama 11 bulan diluar bulan Ramadhan. Semua bisa terwujud, dimulai dari pemimpin yang bertakwa sepanjang  hidupnya.

WalLahu alam bi ash-shawwab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak