Oleh: Hamnah B. Lin
Ramadan bulan yang di dalamnya banyak keutamaan. Tentu amat disayangkan jika keutamaan Ramadan itu tidak bisa kita raih. Karena itu keberhasilan meraih keutamaan Ramadan ini harus benar-benar kita upayakan dengan sungguh-sungguh.
Keberhasilan meraih keutamaan Ramadan setidaknya meliputi: Pertama, keberhasilan meraih ampunan Allah SWT. Rasul Saw. bersabda:
"Sungguh rugi seseorang yang bertemu dengan Ramadan, lalu Ramadan berlalu dari dirinya sebelum dosa-dosanya diampuni". (HR at-Tirmidzi, Ahmad, Ibnu Khuzaimah dan al-Hakim).
Ampunan Allah SWT pada bulan Ramadan bisa diraih antara lain dengan menunaikan puasa sebaik-baiknya, mengetahui batasan-batasannya dan menjaga diri dari apa saja yang seharusnya dijaga. Rasul Saw. pernah bersabda:
"Siapa saja yang berpuasa Ramadan, mengetahui ketentuan-ketentuannya dan menjaga apa saja yang harus ia jaga selama Ramadan, akan dihapus dosa-dosanya yang telah lalu". (HR Ahmad).
Kedua, keberhasilan meraih kebaikan Lailatul Qadar. Rasul Saw. bersabda:
"Sungguh bulan (Ramadan) ini telah datang kepada kalian. Di dalamnya ada satu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Siapa saja yang tidak mendapatkan (kebaikan)-nya maka dia tidak mendapat kebaikan seluruhnya. Tidak ada yang terhalang dari kebaikan Lailatul Qadar kecuali orang yang bernasib buruk".(HR Ibnu Majah).
Dengan menghidupkan Lailatul Qadar —di antaranya dengan menunaikan shalat malam di dalamnya—akan diraih keutamaannya sekaligus ampunan Allah SWT di dalamnya. Rasul Saw bersabda:
"Siapa saja yang berpuasa Ramadan karena iman dan semata-mata mengharap ridha Allah, diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Siapa saja yang menghidupkan Lailatul Qadar karena iman dan semata-mata mengharap ridha Allah, diampuni dosa-dosanya yang telah lalu". (HR. Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi dan Ahmad).
Agar keutamaan Ramadan itu bisa diraih, tentu juga harus ada upaya untuk meninggalkan segala perkara yang haram atau sia-sia, lebih khusus lagi meninggalkan apa saja yang membatalkan puasa dan apa saja yang bisa menggagalkan pahala puasa. Rasul Saw. bersabda: "Puasa itu perisai. Karena itu janganlah seseorang berkata keji dan jahil. Jika ada seseorang yang menyerang atau mencaci, katakanlah, “Sungguh aku sedang berpuasa,” sebanyak dua kali. Demi jiwaku yang berada dalam genggaman-Nya, bau mulut orang berpuasa lebih baik di sisi Allah ketimbang wangi kesturi; ia meninggalkan makanannya, minumannya dan syahwatnya demi Diri-Ku. Puasa itu milik-Ku. Akulah yang membalasnya. Kebaikan (selama bulan puasa) dilipatgandakan sepuluh kali dari yang semisalnya". (HR al-Bukhari)
Ketiga, keberhasilan meraih secara maksimal keutamaan pahala amal salih yang dilipatgandakan selama bulan Ramadan, seperti yang Allah SWT janjikan. Karena itu sudah seharusnya setiap Muslim memperbanyak amal shalih selama Ramadan. Bentuknya bisa berupa: tadarus Alquran; memperbanyak shalat sunnah; membayar zakat dan meningkatkan sedekah; iktikaf, qiyamul lail, amar makruf nahi mungkar; dan amal-amal taqarrub lainnya. Namun demikian, amal shalih yang paling utama di sisi Allah SWT adalah apa saja yang Dia wajibkan. Dalam sebuah hadis Qudsi Allah SWT berfirman:
"Tidaklah hamba-Ku bertaqarub kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih utama daripada apa yang Aku fardhukan atas dirinya. Hamba-Ku terus bertaqarrub kepada-Ku dengan amal-amal nawafil hingga Aku mencintai dirinya". (HR al-Bukhari, Ibnu Hibban dan al-Baihaqi).
Karena itu amal-amal fardhu tentu harus diprioritaskan sebelum amal-amal sunnah. Ibn Hajar al-‘Ashqalani menyatakan di dalam Fath al-Bârî, sebagian ulama besar mengatakan, “Siapa saja yang fardhunya lebih menyibukkan dia dari nâfilah-nya maka dia dimaafkan. Sebaliknya, siapa yang nâfilah-nya menyibukkan dia dari amal fardhunya maka dia telah tertipu.”
Keempat, keberhasilan meraih hikmah pensyariatan puasa, yakni mewujudkan ketakwaan, sebagaimana firman-Nya:
"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa, sebagaimana puasa itu pernah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa". (TQS al-Baqarah [2]: 183)
Takwa bisa dimaknai sebagai kesadaran akal dan jiwa serta pemahaman syar’i atas kewajiban mengambil halal dan haram sebagai standar bagi seluruh aktivitas, yang diwujudkan secara praktis (‘amalî) di dalam kehidupan.
Takwa, sebagaimana yang dikatakan oleh Sayidina Ali bin Abi Thalib ra., adalah: al-khawf min al-jalîl wa al-‘amalu bi at-tanzîl wa ar-ridhâ bi al-qalîl wa al-isti’dâd li yawm ar-rahîl (memiliki rasa takut kepada Zat Yang Mahaagung, mengamalkan al-Quran, ridha dengan yang sedikit dan mempersiapkan bekal untuk (menghadapi) ‘hari penggiringan’ (Hari Kiamat) (Dalil al-Wa’izh ila Adillah al-Mawa’izh, 1/546; Subul al-Huda wa ar-Rasyad, 1/421).
Al-Khawf min al-Jalîl yakni memiliki rasa takut kepada Allah SWT; takut dari murka dan azab-Nya, takut dari ketidakridhaan-Nya, dan sebagainya. Rasa takut kepada Allah SWT itu haruslah melahirkan dua sikap: Pertama, makin mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan memperbanyak ibadah yang wajib dan sunnah, menjalankan perintah-perintah-Nya dan apa saja yang bisa mendekatkan kepada-Nya dan mendatangkan ridha-Nya. Kedua, menjauhi apa saja yang bisa mendatangkan kemurkaan, azab dan ketidakridhaan Allah SWT.
Maka wujud dari takwa adalah menjalankan seluruh Syariat Allah SWT di dalam bulan apapun, dalam kondisi apapun. Dan inilah hakikat keberhasilan meraih keutamaan di bulan Ramadan.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb.