Oleh : Ressa Ristia Nur Aidah
Sudah lebih dari 1 tahun, pandemi belum jua usai. Entah itu karena sangat sulit diatasi ataukah memang kepengurusannya yang abai. Ramadhan tahun lalu, tidak ada perantau yang mudik. Bukan karena mereka tidak mau, tetapi peraturan pemerintah yang pada saat itu melarang mudik karena pandemi.
Pun sama halnya dengan tahun ini, pemerintah menetapkan aturan yang sama seperti tahun lalu. Larangan mudik kembali diberikan. Pengumuman itu disampaikan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy yang menegaskan larangan mudik untuk mengoptimalkan program vaksinasi yang sedang berlangsung. (medcom.id, 27/3/2021)
Kebijakan pemerintah soal mudik dengan alasan menghentikan penyebaran virus menjadi polemik. Karena tidak selaras dengan kebijakan lain yang justru melonggarkan perjalanan demi pariwisata. Ditambah kepentingan sekelompok masyarakat menggiring kebijakan tebang pilih yang rentan dilanggar, semakin menggerus kepatuhan publik terhadap aturan dan menimbulkan persoalan baru.
Larangan mudik membuat rakyat gigit jari. Bukan karena tak setuju, tapi bingung dengan kebijakan yang ada. Pasalnya, pariwisata saat ini juga telah dibuka. Jika larangan mudik bertujuan menghambat laju penularan Covid-19, pariwisata justru dibuka dengan alasan untuk memperlancar pertumbuhan ekonomi negeri.
Seorang pakar epidemiologi Universitas Indonesia (UI), Pandu Riono, memberikan kritikan atas kebijakan ini. Menurutnya, dua kebijakan yang saling berlawanan ini justru akan meningkatkan penularan Covid-19. Seharusnya, ada upaya tegas 100 persen menanggulangi Covid-19.
Masalah seperti ini sering terjadi di system kapitalis. Tak heran jika masalah pandemi susah diatasi. Standar pengambilan keputusan antara satu masalah dengan yang lainnya berbeda. Inilah yang mengakibatkan pengambilan keputusan yang berlawanan pula.
Tak dielakkan, pertumbuhan ekonomi negeri ini mengalami pukulan berat. Mandeknya usaha membuat pemerintah kalang kabut mencari cara menaikkan pertumbuhan ekonomi. Akhirnya, pariwisata menjadi salah satu upaya yang dilakukan demi mengatasinya.
Betapa perekonomian itu sangat penting bagi sistem ekonomi kapitalis, materi itu harus diutamakan. Salah satu penentu standar kesehatan sebuah negara adalah pertumbuhan ekonomi. Jika pertumbuhannya baik, berarti perekonomian masyarakat juga baik. Dari sini tak heran, jika setiap kebijakan yang diambil selalu didasarkan pada untung dan rugi. Jika kebijakan itu menguntungkan akan diambil, begitu pun sebaliknya. Oleh sebabnya, membuka pariwisata akan dilakukan karena dinilai menguntungkan dari sisi menambah pertumbuhan ekonomi.
Dalam situasi seperti ini, rakyat seakan dijadikan pelengkap dari setiap kebijakan. Beberapa kebijakan dibuat seperti memihak rakyat, tetapi faktanya kebijakannya menusuk rakyat. Adapun kebijakan yang memihak rakyat hanya terlihat pada Islam selama 13 abad lamanya Islam memimpin dunia di bawah naungan Khilafah. Dengan aturan Islam yang diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan, hidup rakyat sejahtera.
Seperti yang dilakukan Umar bin Khaththab saat terjadi wabah. Beliau dengan sigap mengambil kebijakan, seperti karantina total wilayah wabah, pemberian bantuan pangan dan obat-obatan, hingga kebijakan ekonomi di wilayah lain yang tak terdampak. Semua itu dilakukan karena Khalifah Umar memahami bahwa tugas pemimpin adalah mengurusi urusan rakyat.
Sebagaimana Khalifah Umar, seharusnya pemimpin yang baik itu memperhatikan rakyat, sehingga kebijakan yang diambil adalah untuk menyejahterakan mereka. Bukan untuk menindas, apalagi membuka pariwisata hanya untuk menaikkan ekonomi tapi abai dengan keselamatan rakyat.
Oleh karena itu, saat ini yang dibutuhkan adalah pemimpin yang memiliki iman dan taat syariat. Dengan keimanannya pemimpin tersebut hanya akan takut kepada Allah Swt., sehingga kebijakan yang diambil tidak akan mencederai rakyatnya. Sebab, pemimpin yang taat akan menyadari bahwa segala kebijakan yang diambil akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah di yaumil akhir kelak. Wallahu a’lam bi Ash-Shawab
Tags
Opini