Pertemuan Tatap Muka (PTM) Terbatas, Kebijakan Yang Menyisakan Was - Was



Oleh : Ummu Hanif (Pemerhati Sosial dan Keluarga)

Dampak sosial negatif yang berkepanjangan akibat pandemi covid-19 terhadap pendidikan, menuntut adanya penyelesaian. Dampak sosial yang dimaksud diantaranya adalah ancaman putus sekolah karena anak harus bekerja, penurunan capaian belajar—termasuk kesenjangan capaian belajar—, banyaknya kekerasan pada anak yang tidak terdeteksi oleh guru, pandangan orang tua terhadap fungsi sekolah yang minim dalam melakukan PJJ, juga studi yang menyatakan bahwa sekolah tatap muka lebih menghasilkan capaian belajar dibandingkan PJJ (ancaman learning loss); serta banyaknya risiko eksternal jika tidak belajar di sekolah, seperti pernikahan dini, eksploitasi anak, dan kehamilan remaja.

Dengan beberapa pertimbangan tersebut, Pemerintah meminta sekolah untuk membuka PTM terbatas dan memberi kesempatan siswa untuk belajar di sekolah dengan tetap memenuhi protokol kesehatan. Adapun bagi orang tua yang belum memberikan izin anaknya untuk mengikuti PTM, mereka harus difasilitasi dengan PJJ. Dengan demikian, PTM terbatas dan PJJ harus dijalankan sekolah secara simultan.

Landasan kebijakan ini tertuang di dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Empat Menteri tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran di Masa Pandemi Covid-19 yang disesuaikan sejak 30 Maret 2021.Poin penting SKB tersebut antara lain, bahwa setelah pendidik dan tenaga kependidikan di satuan pendidikan divaksinasi Covid-19 secara lengkap, maka pemerintah pusat, pemerintah daerah, kantor wilayah (kanwil), atau kantor Kementerian Agama (Kemenag) mewajibkan satuan pendidikan untuk menyediakan layanan pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas dengan tetap menerapkan protokol kesehatan dan pembelajaran jarak jauh (PJJ).

Kebijakan membuka sekolah di tengah pandemi, meskipun telah dilakukan vaksinasi kepada guru dan tenaga kependidikan, sebenarnya tetap berisiko terjadinya penularan penyakit. Terlebih, vaksin Sinovac yang diterima guru dan tenaga kependidikan, efikasinya hanya 65,3%. Artinya, guru masih memiliki peluang 34,7% untuk terinfeksi. Hingga saat ini pun belum ada uji klinis terhadap vaksin anak. Yang ada baru untuk usia di atas 16 tahun.

Oleh karena itu, negara wajib bertanggung jawab dalam menjamin PTM aman. Negara harus memenuhi pengadaan sarana prasarana di sekolah, pengawasan terhadap prokes, hingga keamanan di luar lingkungan sekolah, seperti sarana transportasi, tempat-tempat pembelanjaan dan sebagainya.

Yang menjadi pertanyaan adalah, darimana negeri ini dapat anggaran untuk itu semua? Belum lagi soal saling lempar tanggung jawab antara pemerintah pusat dan daerah, kerap berujung soal biaya. Masalah guru honorer, contohnya. Semua riwayat tersebut menyangsikan kesungguhan negara untuk memastikan sekolah melengkapi semua kebutuhan PTM terbatas. Demikian juga soal penegakan aturan kepada seluruh masyarakat agar mematuhi prokes.

Secara proses, belajar tatap muka memang lebih efektif dibandingkan daring. Namun, pelaksanaannya di tengah pandemi tentu membutuhkan persiapan teknis. Sebab, tidak semua siswa bisa melakukan tatap muka dalam waktu bersamaan. Butuh pengaturan. Untuk itu sekolah harus menyiapkan sistem dan tenaga (guru) agar bisa menyelenggarakan pembelajaran model ganda ini.

Di tengah harapannya sebagai sarana komunikasi guru dan siswa yang lebih baik, PTM terbatas tetaplah menyimpan masalah. Kalau begitu, haruskah dengan PTM terbatas? Jika latar belakang berlakunya PTM terbatas adalah tidak efektifnya PJJ dan dampak sosial yang ditimbulkannya, maka seharusnya negara fokus membenahi masalah tersebut.

Kapitalisme yang diterapkan di negeri ini menciptakan lingkungan sosial liberalistis yang mengganggu proses pembelajaran. Banyaknya kekerasan pada anak, pernikahan remaja, kecanduan gawai adalah dampak dari kehidupan liberal saat ini. Di sisi lain, negara lemah dalam mengatasi penyebaran pandemi, tak berhasil melakukan karantina wilayah dan menegakkan aturan.

Negara juga tak mampu memenuhi kebutuhan sarana prasarana PJJ di semua wilayah. Semua fakta tersebut seharusnya menjadi perhatian negara karena sangat menghambat keberhasilan pendidikan, terutama saat pandemi. Bahkan, baik saat PJJ maupun PTM tetaplah menjadi ancaman berbahaya bagi pendidikan.

Tentu akan jauh berbeda jika belajar tatap muka dilakukan di bawah kendali sistem pendidikan Islam. Kurikulum berbasis akidah (Islam) akan menjamin tersampaikannya materi pembelajaran sesuai target pendidikan sahih. Terlebih pendanaan yang cukup dan lingkungan sosial yang mendukung, akan mudah menghasilkan sumber daya manusia unggul untuk mewujudkan peradaban mulia. Wallahu a'lam bi ash showab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak