Oleh: Candra Windiantika
Sudah dua kali ramadhan dan hampir dua kali lebaran dijalankan saat masa pandemi Covid-19. Pandemi ini telah banyak mempengaruhi beberapa sektor dan akhirnya berdampak pada pertumbuhan ekonomi.
Selain tradisi mudik, ada satu hal yang sangat dinantikan para pekerja setiap menjelang lebaran yaitu tunjangan hari raya(THR). Namun nampaknya THR tahun ini banyak menuai polemik, karena belum ada keputusan apakah THR akan dibayarkan sebelum hari raya atau akan dicicil seperti tahun sebelumnya. Akan seperti apa perasaan para pekerja jika mudik dilarang dengan alasan pandemi dan THR pun tidak berada dalam genggaman.
Hal inilah yang melatar belakangi 10.000 buruh dari 1.000 pabrik menggelar aksi unjuk rasa besar-besaran pada hari Senin, 12 April 2021. Ratusan ribu buruh yang tidak ikut dalam aksi lapangan direncanakan mengikuti aksi virtual secara live streaming.
Dalam aksi demo ini, buruh menyuarakan 4 tuntutan, yaitu: Permintaan pembatalan Omnibus Law Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja khususnya klaster ketenagakerjaan, memberlakukan UMSK 2021, tidak mencicil THR 2021, dan mengusut tuntas dugaan korupsi di BPJS Ketenagakerjaan.
Meskipun pada akhirnya Menteri Ketenagakerjaan menetapkan bahwa Tunjangan Hari Raya(THR) pada hari raya lebaran rahun ini harus dibayar penuh dan tepat waktu serta pemberian sanksi denda terhadap perusahaan yang melanggar, tetapi hal ini tidak membuat para pekerja bersuka cita.
Sekjen Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Ramidi memberikan tanggapan terkait rencana pemerintah yang akan memberikan sanksi denda kepada perusahaan atau pengusaha yang telat membayarkan THR 2021 secara penuh sesuai dengan aturan yang berlaku. Ramidi menyebutkan, sebelumnya pemerintah telah mengeluarkan aturan yang sama terkait sanksi pada tahun 2020. Namun, dia menilai aturan itu tidak berjalan dengan semestinya.
Peran negara menurut kapitalisme hanyalah sebagai regulator. Beban jaminan sejahtera buruh dipindahkan di pundak pengusaha dan bukan lagi menjadi tanggung jawab negara. Ini artinya negara kapitalis berlepas tangan atas kesejahteraan kaum buruh.
Gaji buruh ditentukan berdasarkan living cost(biaya hidup) terendah. Dengan kata lain, para buruh hanya mendapatkn gaji minimum yang hanya cukup untuk mempertahankan hidup.
Akhirnya para pekerja yang harus berjuang sendiri menghadapi berbagai persoalan yang menerpa. Harga-harga yang melambung tinggi apalagi menjelang lebaran, Kebutuhan rumah yang semakin tak terjangkau, belum lagi persaingan untuk mendapatkan pekerjaan ditengah lapangan pekerjaan yang semakin sempit, pajak di semua lini, dan masih banyak persoalan lainnya. Akhirnya THR menjadi harapan satu-satunya untuk menambal kebutuhan yang tidak terjangkau di bulan-bulan sebelumnya.
Hal ini jelas berbeda dengan Islam dalam menentukan gaji buruh. Islam menetapkan gaji para pekerja berdasarkan manfaat tenaga yang diberikan bukan dari living cost terendah sehingga tidak akan terjadi kezhaliman para buruh oleh pengusaha.
Negara bertanggung jawab untuk memastikan pemberian upah(ujrah) tidak merugikan pemberi upah dan penerima upah. Keduanya sama sama mendapatkan manfaat dan sama sama ridho.
Menurut Ustad Hafidz Abdurrahman dalam menentukan standar gaji buruh, standar yang digunakan oleh Islam adalah manfaat tenaga (manfa’at al-juhd) yang diberikan buruh di pasar, bukan living cost terendah. Karena itu, tidak akan terjadi eksploitasi buruh oleh para majikan. Buruh dan pegawai negeri sama, karena buruh mendapatkan upahnya sesuai dengan ketentuan upah sepadan yang berlaku di tengah masyarakat.
Jika terjadi sengketa antara buruh dan majikan dalam menentukan upah, maka pakar (khubara’)-lah yang menentukan upah sepadan (ajr al-mitsl). Pakar ini dipilih oleh kedua belah pihak.
Jika keduanya tidak menemukan kata sepakat, maka negaralah yang memilihkan pakar tersebut untuk mereka, dan negaralah yang akan memaksa kedua belah pihak ini untuk mengikuti keputusan pakar tersebut.
Dengan demikian, negara tidak perlu menetapkan UMR (upah minimum regional). Bahkan, penetapan seperti ini tidak diperbolehkan, dianalogikan pada larangan menetapkan harga. Karena, baik harga maupun upah, sama-sama merupakan kompensasi yang diterima oleh seseorang. Bedanya, harga adalah kompensasi barang, sedangkan upah merupakan kompensasi jasa.
Sedangkan jika majikan ingin memberikan upah atau bingkisan menjelang lebaran, itu semua diluar kesepakatan upah yang telah disepakati kedua belah pihak. Jadi realitas THR saat ini lebih cenderung karena masalah dalam pengupahan yang tidak beres atau cenderung kurang. Akhirnya ditambal sulam dengan diberikannya THR.
Jika menggunakan Islam untuk menangani persoalan upah saja sudah memberikan keadilan antara pengusaha dan pekerja. Maka penerapan sistem Islam secara kaffah akan memberikan keadilan dan kesejahteraan, bukan hanya kepada pengusaha dan pekerja melainkan kepada setiap individu.
Wallahu a’lam bi ash-shawab.