Oleh : Waode Rachmawati S.Pd. M.Pd
(Pemerhati Masalah Perempuan)
Strategi barat untuk menjauhkan umat islam dari ajaran agama islam kaffah terus digencarkan. Adalah moderasi beragama menjadi salah satu program sekulerisasi umat islam. Sampai saat ini isu modersi ini kian deras diaruskan. Pemerintah Indonesia pun menyambut baik program moderasi beragama ini.
Setelah strategi moderasi beragama dimasukan di berbagai program kementerian pendidikan dan kementerian Agama. Kini moderasi beragama digulirkan ke Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA). KPPPA bersama Badan Pengelola Masjid Istiqlal (BPMI) menandatangani nota kesepahaman (MoU) tentang pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak berbasis masjid. Dalam siaran persnya, Menteri PPPA, Bintang Puspayoga, menyatakan bahwa untuk mewujudkan program-program bangsa, diperlukan bahasa agama di tengah masyarakat Indonesia yang mayoritas religius. Diharapkan adanya andil Masjid Istiqlal dapat menciptakan pemberdayaan perempuan serta perlindungan anak. (kemenpppa.go.id, 19/2/2021).
MoU yang telah ditandatangani ini mencakup empat hal. Pertama, percepatan pencapaian lima arahan Presiden yaitu peningkatan peran perempuan dalam kewirausahaan, peningkatan peran ibu dan keluarga dalam pendidikan/pengasuhan anak, penurunan kekerasan terhadap perempuan dan anak, penghapusan pekerja anak, dan penurunan perkawinan anak. Kedua, pengarusutamaan gender dan pemenuhan hak anak dalam program masjid. Ketiga, peningkatan kualitas dan kuantitas ulama yang responsif gender dan peduli hak anak, khususnya kader ulama perempuan yang menguasai keilmuan Islam berbasis gender melalui pemahaman Islam yang moderat. Keempat, penyediaan dan pertukaran data terpilah, statistik, dan informasi berkaitan dengan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak berbasis masjid.
Bahaya Moderasi Islam dalam Kaderisasi Ulama Perempuan
Moderasi ajaran Islam termasuk tindakan yang berbahaya. Langkah ini melemahkan ajaran Islam dan melepaskan keterikatan umat islam pada agamanya. Moderasi ajaran Islam berarti mengambil jalan tengah. Bukan ketaatan total kepada Allah SWT. Islam moderat berarti meletakkan diri di antara iman dan kufur, taat dan maksiat, serta halal dan haram.
Di bidang akidah, moderasi ajaran Islam berarti menyamakan akidah Islam dengan agama-agama dan kepercayaan umat lain (pluralisme). Dalam Islam moderat tak ada kebenaran mutlak. Termasuk iman dan kufur. Semua menjadi serba relatif/nisbi. Dengan Islam moderat, umat islam diminta untuk membenarkan keyakinan agama dan kepercayaan di luar Islam. Padahal Allah SWT telah berfirman Al Qur’an Surah al-Bayyinah [98]: 6):
“Sungguh kaum kafir, yakni Ahlul Kitab dan kaum musyrik (akan masuk) ke Neraka Jahanam. Mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah makhluk yang paling buruk.”
Mirisnya, dalam nota kesepahaman antara KPPPA dan BPMI terlihat jelas moderasi islam menjadi salah satu tujuannya. Dilansir melalui cnnindonesia.com (23/2/2021) masjid istiqlal Jakarta mulai menjalankan program kaderisasi ulama perempuan. Mereka akan difokuskan melakukan kajian kesetaraan gender dalam perspektif ajaran Islam. Dengan program ini, Istiqlal berambisi mencetak ulama-ulama baru yang bisa beradaptasi dengan perkembangan zaman, ungkap Imam Besar Masjid Istiqlal, Nasaruddin Uma .
Tentu ini sangat membahayakan umat islam. Ide kesetaraan gender bukan berasal dari islam, melainkan dari Barat. Sedangkan yang diperjuangkan oleh para pegiat gender pun kebanyakan bertentangan dengan ajaran islam. Kemudian, menjadikan islam harus beradaptasi dengan perkembangan zaman, pun seolah ajaran islam masih belum sempurna. Sehingga harus menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Islam adalah agama yang sempurna. Syariatnya mencakup seluruh lini kehidupan dan mampu memecahkan problematika manusia. Sungguh miris,jika nantinya ada ulama yang akan menggiring umat islam jauh dari agamanya.
Sejatinya Ini bukan gagasan baru. Pada 2016 bertepatan dies natalis ke-39 IIQ, di Pesantren Takhassus Al Qur’an IIQ, Tangerang Selatan, Menag Lukman Saifuddin lebih dahulu menyatakan gagasan pendidikan ulama perempuan. Menurut Lukman, Kemenag memberikan beasiswa S2 khusus bagi pendidikan ulama perempuan dengan format kelas internasional.
Pada April 2017, Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) di Ponpes Kebon Jambu Al Islamiy, Cirebon pun digelar. Hadir sekitar 780 ulama perempuan dari berbagai daerah. Juga dihadiri peserta dari beberapa negara mulai Malaysia, Arab Saudi, Afghanistan, hingga Amerika Serikat. Wasekjen PSI kala itu, Danik Eka, menilai KUPI turut mengampanyekan keadilan dan kesetaraan gender dan menghadapi tantangan besar soal radikalisasi agama di Indonesia. KUPI diharapkan dapat mengukuhkan Islam yang moderat.
Menarik apa yang disampaikan oleh pengamat politik muslimah Ustazah Pratma Julia Sunjandari dalam merespons MoU BPMI dan KPPPA. Bahwa sebenarnya tampak menguatnya aroma kriminalisasi ajaran Islam ideologis. Artinya, Indonesia memang sedang menjalankan dikte-dikte imperialisme Barat yang dijalankan di hampir semua dunia Islam. (muslimahnews.com, 22/02/2021). Sejalan dengan pandangan cendikiawan muslim indonseia Ustadz Ismail Yusanto. Beliau menegaskan bahwa program moderasi islam ini adalah tidak lain pesanan musuh-musuh islam untuk memperlemah umat islam itu sendiri.
(mediaumat.news/3/07/2020).
Adalah CEDAW (Convention on Elimination of All Forms of Discrimination Against Women), sebuah kesepakatan hak asasi internasional yang secara khusus mengatur hak-hak perempuan berdasarkan dikte Barat. CEDAW ditetapkan sidang umum PBB pada 18/12/1979 dan berlaku pada 3/8/1981. Setelah 15 tahun lebih gencar dipromosikan, pada Juni 2007 tercatat 185 negara telah menandatangani konvensi ini.
Indonesia turut menandatangani pada 1980 dan meratifikasinya pada 1987 melalui UU 7/1984. Sayang, 35 tahun sudah ratifikasi, CEDAW gagal membuahkan hasil bagi Indonesia. Kegagalan ini tampak pada grafik masalah perempuan dan anak yang terus meningkat.
Dengan demikian, moderasi islam adalah upaya kafir penjajah untuk menjauhkan umat islam dari ajaran islam kaffah. Kaum kafir sedari dulu menyadari bahwa kekuatan terbesar umat islam adalah ketika mereka menerapkan ajaran islam yang kaffah. Ketika itu terjadi, maka kesempatan kafir penjajah untuk menjajah dan menguasai negeri-negeri muslim akan terhenti. Akhirnya, kafir barat terus berupaya untuk menghalangi umat islam memahami dan menerapkan ajaran agama islam kaffah. Salah satu upayanya adalah dengan meracuni pemikiran dan pemahaman umat islam dengan pemahaman islam moderat. Dengan begitu, kafir penjajah dengan mudah akan terus merusak dan menguasai negeri-negeri muslim.
Peran Ulama yang Seseungguhnya
Ulama adalah waratsatun anbiya’ (pewaris para nabi) dalam hal penyebaran risalah Islam, melakukan amar makruf nahi mungkar. Tanggung jawab ulama sangat besar, demikian pula besarnya dosa dan pahala mereka. Tidak dibedakan lagi apakah ulama tersebut laki-laki maupun perempuan.
Di antara peran penting ulama pewaris para nabi adalah memastikan penguasa menjalankan kekuasaannya sesuai dengan syariah Islam. Ketika penguasa menyimpang, ulama harus tampil ke depan meluruskan penyimpangan mereka. Ulama tidak boleh bersikap lemah. Ulama harus terus melakukan koreksi hingga penguasa tunduk dan berjalan kembali di atas syariah Islam.
Para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah telah menggariskan ketentuan dan adab ulama di hadapan para penguasa. Di antaranya adalah sebagai berikut:
Pertama, memberikan loyalitas hanya pada Islam. Tidak pernah gentar menghadapi kezaliman penguasa. Ulama selalu memegang teguh Islam meskipun harus tersungkur mati di dalamnya. Muadz bin Jabal ra. menuturkan bahwa Nabi saw. pernah bersabda:
“Perhatikanlah, sungguh al-Quran dan penguasa akan berpisah. Karena itu janganlah kalian memisahkan diri dari al-Quran. Perhatikanlah, akan ada para pemimpin yang memutuskan perkara untuk kalian. Jika kalian menaati mereka, mereka menyesatkan kalian. Jika kalian membangkang kepada mereka, mereka akan membunuh kalian.” Muadz bin Jabal bertanya, “Ya Rasulullah, apa yang mesti kami lakukan? Nabi saw. menjawab, “(Bersabar) seperti yang dilakukan para sahabat Isa bin Maryam as. (meskipun) mereka digergaji dengan gergaji dan digantung di atas pohon. (Bagi mereka) mati dalam ketaatan lebih baik daripada hidup dalam maksiat kepada Allah ‘Azza wa Jalla.” (HR ath-Thabarani).
Kedua, mengawal kekuasaan agar tetap berjalan di atas syariah Islam. Ulama harus memperhatikan perilaku, kebijakan, kecenderungan penguasa serta orang-orang yang ada di sekeliling penguasa. Hal ini diperlukan untuk mengawal kekuasaan agar tetap sejalan dengan tuntunan Islam dan kepentingan kaum Muslim.
Ketiga, menjadi garda terdepan dalam mengoreksi penguasa zalim. Ketika ulama berlaku lurus dan tegas kepada penguasa, hakikatnya mereka telah mencegah sumber kerusakan. Sebaliknya, tatkala mereka berlaku lemah kepada penguasa zalim, saat itulah mereka menjadi pangkal segala kerusakan di tengah-tengah masyarakat. Demikian sebagaimana dinyatakan oleh Hujjatul Islam Imam al-Ghazali rahimahulLâh berkata:
Rusaknya rakyat disebabkan karena rusaknya penguasa. Rusaknya penguasa disebabkan karena rusaknya ulama. Rusaknya ulama disebabkan karena dikuasai oleh cinta harta dan ketenaran (Al-Ghazali, Ihyâ‘ ‘Ulûm ad-Dîn, 2/357).
Program kaderisasi ulama perempuan patut didukung bila tujuannya untuk mencetak muslimah fakih dalam agama, mustanir dalam pemikiran, serta ber-syakhshiyah islamiah yang kuat. Namun sebaliknya, program mencetak ulama perempuan dalam rangka mengobok-obok nas-nas syariat yang menjungkirbalikkan sesuai keinginan kaum kuffar (Barat), jelas wajib dihentikan karena haram hukumnya.
Umat hari ini sangat membutuhkan para ulama perempuan yang cerdas, politis, dan ideologis untuk mendampingi mereka keluar dari problem pelik kehidupan sekuler. Bukan malah semakin menjeremuskan mereka pada kemaksiatan kepada Allah SWT dengan mengaburkan pemahaman islam kaffah atas nama moderasi beragama.
Wallahu’alam bishowab
Tags
Opini