Oleh: Husnia
(Pemerhati Sosial)
Pandemi Covid-19 sampai kini tak kunjung bisa teratasi, keberadaannya masih menjadi momok menakutkan bagi masyarakat. Pasalnya kebijakan yang dikeluarkan pemerintah selalu gagal menyelesaikan wabah ini. Rekam jejak aturan pemerintah awal Ramadhan, larangan mudik lebaran dengan dalih menghindari kerumunan merupakan hal yang disoroti masyarakat tahun lalu. Dan larangan mudik pada Ramadhan itu pun terulang kembali di tahun ini. Pemerintah mewanti-wanti agar tak ada yang mudik saat lebaran nanti. Larangan mudik lebaran 2021 sudah dikeluarkan oleh Menko PMK, Muhadjir Effendy. Larangan ini berlaku pada 6-17 Mei 2021.
"Larangan mudik akan dimulai pada 6-17 Mei 2021 dan sebelum dan sesudah tanggal itu, diimbau pada masyarakat untuk tidak melakukan pergerakan atau kegiatan-kegiatan yang ke luar daerah kecuali benar-benar dalam keadaan mendesak dan perlu," kata Menko PMK (http://m.detiknews.com, 26/3/2021).
Basa Basi Kebijakan Penguasa
Bulan Ramadhan tahun 2021 M (1442 H) belum pula datang, namun kebijakan pemerintah telah berseliweran dalam rangka mengingatkan rakyat, termasuk larangan mudik (Lebaran). Banyak pihak yang menekankan agar peraturan larangan mudik diperketat. Seperti Pengamat Transportasi dari Universitas Katolik Soegijapranata (UNIKA) Semarang Djoko Setijowarno menyarankan, agar pelarangan mudik Lebaran 2021 berjalan efektif, pemerintah diminta terbitkan Peraturan Presiden (Perpres). “Supaya berjalan efektif kebijakan pelarangan mudik Lebaran 2021, sebaiknya Pemerintah dapat menerbitkan Peraturan Presiden. Harapannya semua instansi Kementerian dan Lembaga yang terkait dapat bekerja maksimal, kata Djoko kepada Liputan6.com, Minggu (28/3/2021).
Konon, keputusan pelarangan mudik sebenarnya empirik based on data. Dikhawatirkan, jika tidak ada larangan mudik, akan banyak manusia yang mudik seperti layaknya tak ada pandemi, dan pada akhirnya akan terjadi ledakan penderita Covid-19 baru pasca lebaran. Pasalnya, sebagaimana selama ini bahwa setiap kali liburan panjang usai, angka penularan Covid-19 pasti meningkat signifikan. Djoko Setijowarno memandang, hal tersebut secara psikologis akan menurunkan kepercayaan (low trust) terhadap kebijakan pandemi Covid-19, utamanya vaksinasi. Langkah vaksinasi bisa dianggap gagal jika terjadi ledakan penderita Covid pasca Lebaran dan akan membuat masyarakat semakin tidak percaya kepada pemerintah.
Djoko juga menyoroti, penyelenggaraan larangan mudik Lebaran 2021 secara nasional berdasar pada Peraturan Menteri Perhubungan. Namun, jelas Polri tidak mau dipaksa kerja keras, apalagi tidak ada dukungan dana tambahan dari instansi terkait. Oleh sebab itu, terbitkan Peraturan Presiden tentang Pelarangan Mudik Lebaran Tahun 2021. Supaya ada anggaran khusus bagi Polri dalam melaksanakan pelarangan Mudik Lebaran 2021 dapat bekerja maksimal. Dan pula, “Semestinya Presiden dapat turun langsung ikut menangani dan memantau. Kalau tidak ada perintah Presiden langsung disangsikan, apakah Polri mau bekerja maksimal di lapangan. Pemerintah harus lebih cerdas dan bijak dalam implementasi larangan mudik Lebaran, pungkasnya (liputan6.com. minggu (28/03/2021).
Di sisi lain, kebijakan larangan mudik diakui akan menekan tingkat konsumsi masyarakat. Pelaku usaha di daerah dan kegiatan pariwisata banyak mengalami dampak negatif akibat pandemi saat ini, sehingga mereka berharap pencairan bantuan sosial (Bansos) yang dijanjikan pemerintah pada masa Lebaran 2021/Idul Fitri 1442 H akan mampu mendongkrak konsumsi dan permintaan pasar sehingga bisa tetap mendorong pemulihan ekonomi.
Hal ini sebagaimana ungkapan Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani, Sabtu (27/3/2021). "Dengan kebijakan pencairan bansos, kami rasa ada peluang demand domestik bisa didongkrak lebih tinggi. Ini berdasarkan pengamatan kami di tahun lalu di mana pencairan bansos yang gencar di kuartal III 2020 sangat signifikan meningkatkan demand pasar domestik di periode tersebut dan efek positifnya juga tercermin pada perbaikan tingkat pertumbuhan penjualan ritel. Kami harap hal yg sama bisa terjadi juga tahun ini," kata Shinta.
Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) itu tetap mengingatkan agar pengendalian pandemi tetap harus jadi perhatian utama agar trennya terus menurun dan semakin minim menjelang musim Lebaran. Dengan demikian, masyarakat bisa lebih bebas melakukan kegiatan ekonomi di daerah tempat tinggalnya atau daerah sekitarnya dengan wisata lokal.
Ada banyak hal yang harus menjadi pertimbangan pemerintah dalam larangan mudik lebaran tahun ini agar upaya dalam menuntaskan masalah pandemi bukan sekadar kebijakan basa-basi. Pemerintah harus tegas dan konsisten, jangan sampai kebijakan ini tak menghasilkan apapun seperti halnya tahun lalu, dimana penuntasan pandemi gagal terealisasi. Seharusnya pemerintah mengantisipasi sejak awal masalah pencegahan penyebaran wabah Covid-19, melalui kebijakan lockdown total disertai jaminan kebutuhan dasar bagi seluruh rakyat secara total. Sebab, apabila kondisi pandemi sudah seperti saat ini, larangan mudik beserta pemberian bansos (bantuan sosial) pada saat lebaran nanti pun tak akan cukup. Lebih parah, kebijakan yang telah ditetapkan pemerintah sebagai jalan untuk memutus rantai penyebaran wabah kerap kali dari pihak merekalah yang melanggarnya dengan berbagai jurus pembenaran. Sehingga, langkah semacam larangan mudik ini bisa dipastikan akan mengulang kegagalannya dalam mengatasi pandemi sebagaimana tahun lalu.
Sudah menjadi tabiat sistem Kapitalisme-demokrasi yang diemban negeri ini ketika keuntungan menjadi kiblat kebijakan, sehingga langkah yang ada bukan untuk kemaslahatan rakyat melainkan tujuan materi. Kebijakan untuk mengatasi pandemi pun terkesan setengah hati, kacau, jalan di tempat dan un-solutif, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Hasil akhirnya adalah kegagalan, dan masyarakat akan kehilangan rasa percaya dengan kebijakan yang akan dibuat berikutnya. Memang sulit mengharap riayah total dari pemimpin khas kapitalisme, dimana penguasa yang lahir darinya adalah penguasa yang abai terhadap kebutuhan rakyat banyak, tatkala waktu dan energinya tak berbuah keuntungan bagi diri pribadi. Padahal jika melihat dari segi peran, pemerintah wajib mengurusi urusan rakyat secara menyeluruh, tanpa terkecuali termasuk pandemi baik pencegahan maupun penanganan. Seharusnya penguasa menjadi tumpuan harapan rakyat, kaki tangan rakyat, pendengar keluh kesah rakyat. Sayangnya, mustahil dijumpai pada sistem hari ini.
Maka jelas, jika masih berharap solusi hidup dari sistem rusak yang satu ini, bisa dipastikan hanya akan menambah tumpukan masalah baru dalam kehidupan masyarakat. Alih-alih dapat menyelesaikan wabah, masalah ekonomi, pengangguran, kriminal dan masalah lainnya, sebaliknya melalui kebijakan tebang pilih antara rakyat dan negara, menjadikan harapan itu sebatas angan belaka. Karenanya, perlu disadari penerapan sistem ini nyata selalu memberikan duka pada seluruh rakyat dan tidak ada jalan lain, kecuali mengambil sistem alternatif terbaik yang sudah terbukti secara histori kesuksesannya dalam mewujudkan kemaslahatan bagi seluruh manusia dengan sistem aturannya yang sempurna, yakni aturan yang bersumber dari sang pencipta, Allah Swt.
Islam Solusi Tepat Menangani Wabah
Jika sistem kapitalisme hanya melahirkan rentetan kebijakan yang nihil solusi bagi penuntasan pandemi, maka Islam memberikan solusi tuntas atas semua permasalahan kehidupan termasuk soal penuntasan Covid-19. Belajar dari kebijakan mudik di tahun lalu, seharusnya pemerintah bisa bersikap lebih bijak dalam mengambil pelajaran agar melakukan evaluasi kebijakan menuju langkah yang lebih solutif dengan pertimbangan sebab akibat-akibat secara matang. Misalnya, melakukan distribusi kebutuhan dasar masyarakat secara adil dan menyeluruh, memberlakukan aturan yang tegas dan konsisten terhadap anjuran protokol kesehatan (mencuci tangan, menjaga jarak dan memakai masker) ataupun penunjang lainnya disertai dengan usaha mencari jalan keluar yang terbaik. Namun sayang, sistem kapitalisme ini meniscayakan peraturan yang silang sengkarut dan pada akhirnya rakyat harus menerima kekecewaan atas tingkah dari penguasanya.
Berbeda halnya dengan Islam. Dalam Islam, pemimpin Islam (Khalifah) akan bertanggungjawab penuh terhadap keselamatan rakyatnya. Khalifah akan membuat kebijakan tegas dan mengeluarkan dana yang besar demi mencegah maupun menangani suatu wabah. Adapun lockdown adalah perintah syara yang sudah seharusnya diambil pemimpin dalam menghadapi wabah Covid-19. Sebagaimana hadist Rasululah SAW: Jika kalian mendengar wabah melanda suatu negeri, maka jangan kalian memasukinya. Dan jika kalian berada di daerah itu, janganlah kalian keluar untuk lari darinya, (HR. Bukhari dan Muslim).
Sebagai contoh ketika terjadi wabah kolera di Syam, Khalifah Umar bin Khatthab memutuskan untuk tidak ke Syam dan kembali ke Madinah. Amirul Mukminin tidak meremehkan penyakit yang terjadi di Syam, meski tidak terjadi di Madinah. Begitulah gambaran sosok pemimpin negara yang memiliki pandangan luas terhadap urusan dunia dan menyelamatkan nyawa kaum Muslimin.
Maka jelas untuk mengatasi Covid-19 ini tak cukup dengan larangan mudik, apalagi tidak disertai dengan persiapan yang matang. Dalam perkara ini, selain dibutuhkan pemimpin yang taat dan tegas, juga dibutuhkan sistem yang benar (Khilafah), yakni sistem politik yang menempatkan syariat Islam Kaffah sebagai solusi atas segala masalah, termasuk wabah Covid-19. Selain ketegasan dalam menetapkan kebijakan lockdown, seorang Khalifah juga akan menggunakan tata aturan ekonomi yang tepat yakni sistem ekonomi Islam dengan mendayagunakan semua potensi ekonomi yang ada, baik pengolahan harta milik negara maupun harta milik umum yang dikelola oleh negara sehingga tidak ada kekhawatiran pada masalah ekonomi dalam setiap kebijakan untuk seluruh manusia.
Tak hanya itu sistem Islam menerapkan sanksi yang tegas dan ketat terhadap masyarakat yang melanggar protokol kesehatan, sehingga upaya penanganan pandemi dapat berjalan secara sempurna. Pemimpin Islam dalam melakukan amanah kepemimpinannya hanya mengharapkan Ridho Allah semata bukan harta, tahta apalagi jabatan. Orientasinya hanyalah kesejahteraan rakyat, mengingat setiap nyawa yang berada dalam tanggung jawabnya akan dimintai pertanggungjawaban oleh Sang Pencipta. Maka, harus dipahami bahwa kunci adanya jaminan kemaslatahatan seperti ini adalah dengan menerapkan syariah Islam secara Kaffah atau menyeluruh di bawah naungan sistemnya yakni Khilafah.
Waallahu alam bi shawwab
Tags
Opini