Oleh Aas Asiyah
Kasus korupsi di tanah air semakin banyak, tidak hanya dikalangan pejabat politik para pegawai sipil negara juga banyak melakukan korupsi.
Direktur eksekutif Lembaga Survei Indonesia, Djayadi Hanan menyatakan bahwa sekitar 69.6 persen PNS kurang tahu/tidak tahu mengenai kasus korupsi yang ada dimasing-masing instansinya. (Republika.co.id, 18/04/2021)
Kasus korupsi yang marak terjadi seolah menjadi gaya hidup dan bukan hal yang tabu lagi untuk dilakukan.
Bahkan dari riset yang dilakukan, sekitar 24,4 persen menilai korupsi merupakan bagian dari budaya atau kebiasaan di suatu instansi. Dan 24,2 persen berpendapat korupsi dilakukan guna mendapat uang tambahan di luar penghasilan rutin. (Repulika.co.id, 18/04/2021)
Hasil dari riset diatas sungguh sangat mencengangkan. Bagaimana bisa menganggap korupsi sebagai gaya hidup apalagi untuk tambahan penghasilan.
Hal ini terjadi karena salah satu faktor melemahnya hukum di tanah air. Apalagi sejak diterapkannya revisi UU KPK di mana UU pengawas KPK lebih berkuasa dibandingkan dengan pimpinan KPK. Dewan pengawas KPK lah yang mempunyai wewenang terhadap boleh tidaknya dilakukan penyadapan, penggeledahan dan penyitaan.
Ditambah lagi sanksi yang diberikan kepada PNS yang melakukan korupsi hanya sebatas pemecatan secara tidak hormat, dimana sanksi tersebut dinilai kurang efektif karena pada akhirnya pasti ada calon-calon koruptor lain yang menganggap sanksi yang tidak terlalu berat sehingga berani untuk melakukan korupsi.
Hingga saat ini Mentri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia (Menpan RB) Tjahyo Kumolo setiap bulannya memecat secara tidak hormat sekitar 20 sampai 30 persen PNS yang mempunyai kekuatan hukum tetap. (Merdeka.com, 18/04/2021).
Korupsi yang marak terjadi di negeri ini antara lain karena keserakahan pelaku, lemahnya hukum dan mahalnya ongkos politik dalam sistem Demokrasi.
Mamanfaatkan sebuah jabatan dan kekuasaan dengan sewenang-wenang hanya untuk melakukan korupsi entah itu harta milik negara, milik umum ataupun milik orang lain yang pastinya semua itu sangat merugikan negara ataupun pihak lain.
Berbeda dengan sistem Demokrasi yang penuh celah untuk melakukan korupsi, sistem Islam menutup rapat untuk melakukan korupsi.
Dalam sistem Islam memberikan batasan yang jelas dan hukum yang rinci berkaitan dengan harta para pejabat. Harta yang diperoleh dari gaji atau pendapatan mereka diluar dari negara disebut sebagai kekayaan gelap (ghulul)
Islam telah mengharamkan segala bentuk suap atau risywah dalam bentuk dan tujuan apapun, entah itu uang, benda, suap untuk membatalkan hak orang atau mendahulukan haknya dari orang lain.
Nabi SAW telah melaknat para pelaku suap, baik yang menerima maupun yang memberi. Seperti salah satu Hadis riwayat At-Tirmidzi dan Abu Dawud :
"Rasulullah SAW telah melaknat penyuap dan penerima suap."
Selain itu dalam Islam pejabat atau aparatur negara dilarang menerima hadiah. Seperti pada kisah Nabi SAW yang pernah menegur salah satu petugas amil zakat yang beliau angkat karena terbukti menerima hadiah dari pihak yang dipungut zakatnya.
Sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abu Dawud : "Siapa saja yang kami angkat sebagai pegawai atas suatu pekerjaan, kemudian kami diberi upahnya, maka apa yang dia ambil setelah itu adalah kecurangan."
Apabila seorang pejabat atau pegawai yang menerima komisi/makelar dengan kedudukannya sebagai pejabat negara, maka kekayaan tersebut termasuk kedalam kategori kekayaan gelap pejabat.
Komisi sendiri dalam Islam adalah hal yang halal dalam muamalah atau jual beli, tetapi jika seorang pejabat/pegawai menggunakan kedudukan dan kekuasannya untuk memudahkan suatu transaksi atau mendapat komisi dalam sebuah proyek maka hal tersebut termasuk kedalam cara kepemilikan harta yang haram.
Dalam bisnis sistem Kapitalis, memberikan sebuah komisi/fee untuk mendapatkan sebuah proyek atau ketika dana proyek sudah cair kepada para pejabat adalah hal yang harus dilakukan.
Islam sendiri menetapkan bahwa korupsi adalah cara kepemilikan harta yang haram, korupsi merupakan salah satu tindakan pengkhianatan (ghulul) terhadap amanah-amanah umat.
Islam memberika hukuman yang berat kepada para pelaku korupsi, suap dan penerima komisi haram yaitu berupa ta'zir atau sanksi yang ditentukan oleh hakim jenis dan beratnya. Mulai sanksi yang paling ringan adalah nasihat/teguran dari hakim, penjara, membayar denda, pengumuan pelaku korupsi dihadapan publik, hukuman cambuk hingga sanksi yang paling berat adalah hukuman mati. Setiap hukuman yang diberikan disesuaikan dengan tindak kejahatan apa yang dilakukan.
Islam melakukan pencatatan harta pejabat sebelum menjabat dan setelah jabatan itu selesai untuk mengidentifikasi harta gelap (ghulul). Seperti kisah Khalifah Umar bin Khattab Ra, ketika ia merasa ragu dengan harta para pejabatnya maka ia akan membagi dua harta tersebut dan memasukkan setengahnya kedalam Baitul Mal. Khalifah Umar bin Khattab Ra tidak segan merampas harta para pejabatnya yang diberikan kepada karib kerabatnya.
Selain itu juga dalam sistem Islam melakukan upaya lain untuk mencegah tindakan korupsi ini diantaranya adalah memberikan tunjangan kepada pejabat/pegawai negara yang memadai sehingga tidak melakukan korupsi
Lalu memberikan sanksi yang sangat tegas bagi para pelaku korupsi sehingga memiliki efek jera sebagai peringatan dan pelajaran bagi yang lain agar tidak mencoba atau melajukan korupsi.
Hanya dengan sistem Islam kasus korupsi bisa diberantas dengan tuntas dan mudah karena dibangun dengan ketakwaan individu, berjalannya kontrol dari masyarakat dan pelaksaan hukum yang berasal dari Al-Quran dan Al-Hadis oleh Negara. _wallahu alam bishawab
Tags
Opini