Kebijakan Kompor Induksi, Bermanfaat atau Bikin Rugi?



Program konversi 1 juta kompor gas LPG ke kompor induksi yang digagas PLN diyakini bisa terwujud. Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Basuki Hadimuljono mengatakan itu karena pelaksanaan program terkait pembangunan perumahan atau hunian yang dikerjakan kementeriannya. (liputan6.com, 31/03/2021)

Kebijakan ini beralasan  bisa membantu PLN dalam menyerap kelebihan produksi energi yang hingga mencapai 50 persen dan konsumsi. Dengan mengkonversi kompor gas ke kompor induksi disinyalir mampu meningkatkan ketahanan energi dalam negeri. Upaya pengunaan kompor induksi atau listrik sendiri dinilai tidak hanya memberi keuntungan bagi masyarakat tetapi juga menekan angka impor LPG dalam negri. Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Erik Thohir mengatakan pengunaan kompor listrik atau induksi dapat memberikan penghematan untuk negara dan rumah tangga sekaligus bahkan dikatakan penghematannya bisa mencapai Rp 60 trilyun bagi negara. (cnbcIndonesia.com, 31/3/2021).

Tentu, harus kita telaah lebih dalam, jangan sampai kebijakan ini sekedar lips servis pemerintah, hingga memunculkan masalah baru. Jangan hanya membebek program global tentang energi ‘bersih’ tanpa menimbang kemaslahatan sendiri. Benarkah pertimbangan utamanya kemaslahatan rakyat,  atau justru membebani rakyat dengan pembelian perangkat/alat baru?

Hal ini juga merupakan bagian dari upaya mencapai ketahanan energi dalam negri dan ramah lingkungan atau energi hijau yang merupakan  program dunia global melihat  lingkungan yang semakin rusak saat ini. Agenda global akan ramah lingkungan inilah yang mendorong pemerintah dalam hal ini PLN untuk mengakselerasi kompor induksi atau kompor listrik kerena menganggap pengunaan barang elektrik dipandang sebagai jalan menyukseskan agenda global ini. 

Fakta pengelolahan listrik dengan berbagai macam masalahnya ditambah dengan kenaikan tarif yang tidak senada dengan pelayanannya merupakan hal yang meragukan pencapaian tujuan program ini. Permasalahan ini tidak lepas dari sistem pengelolahan dan pengaturan negara yang menganut sistem demokrasi kapitalis dimana negara ada hanya sebagai perantara atau regulator antara rakyat dan para kapital atau kaum oligarki, sehingga pelayanan dan kepengurusan rakyat ibarat pedagang dan pembeli jauh sekali dari kata riayah, sebagaimana kepengurusan dalam sistem Islam.

Dalam Islam, negara adalah pelayan dan pengatur urusan rakyat. Islam mewajibkan negara membuat kebijakan baru dengan menyiapkan seluruh perangkat yang dibutuhkan, bukan hitung-hitungan untung rugi sebagaimana pedagang. Listrik dan sumber energi lainnya merupakan fasilitas umum milik bersama masyarakat, maka jelas tidak boleh dikuasi oleh perorangan atau kelompok apalagi asing. Negaralah yang mengelola sebagai amanah dari rakyat yang nanti peruntukannya kembali kepada masyarakat, dan ini berlaku untuk semau SDA yang ada di Bumi Pertiwi ini.  Jika memang kebijakan konversi tersebut membawa kemaslahatan bagi rakyat, patut kita dukung bersama. Namun, jika makin membebani rakyat dan justru menguntungkan pemilik modal, maka wajib kita kritisi.

 

Penulis     

Drg. Endartini Kusumastuti

Pemerhati Masyarakat Kota Kendari 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak