Oleh Aisha Besima
( Aktivis Muslimah Banua)
Pemerintah melarang mudik tahun 2021 ini, alasannya untuk menekan angka penularan Covid-19. Apakah kebijakan ini sudah tepat? Bisakah larangan mudik tahun ini menekan angka laju persebaran penularan Covid-19?
Larangan mudik secara resmi disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto tentang Pengendalian Transportasi pada masa mudik Idul Fitri tahun 2021.
Peraturan yang akan dirilis tersebut sebagai kelanjutan larangan mudik yang telah diumumkan pemerintah melalui Menteri Koordinator PMK Muhadjir Effendy. Larangan mudik berlaku pada 6-17 Mei 2021.( Detik.com, 7/4/2021).
Keputusan itu diambil dari hasil rapat bersama sejumlah kementerian/lembaga dan TNI-Polri, serta sudah meminta pertimbangan Presiden Joko Widodo. Menurut Muhadjir, mudik dilarang agar hasil program vaksinasi bisa berjalan maksimal. Sementara aturan yang menunjang larangan ini akan diatur oleh lembaga terkait, termasuk Satgas Covid-19, Menhub, dan TNI-Polri.(kompastv, 7/3/2021).
Ada beberapa poin yang harus diperhatikan dalam larangan mudik ditahun ini , setidaknya ada 8 poin penetapan tanggal (6-17 Mei selama 12 hari), cuti bersama hanya satu hari saja ( 12 Mei), berlaku untuk semua kalangan (ASN, pegawai BUMN, pegawai swasta dan seluruh masyarakat), dilarang berpergian (tanpa keperluan mendesak), pengecualian keperluan dinas ( juga perlu menggunakan surat keterangan), penyaluran bansos (diawal bulan mei), kegiatan keagamaan diatur oleh Kemenag, pengawasan perbatasan, sekat jalur mudik (diputarbalikkan).
Namun tentu saja kebijakan ini menuai banyak kontra dan protes ditengah masyarakat. Sikap pemerintah melarang mudik Lebaran 2021 terkesan plin-plan. Padahal sebelumnya, pemerintah menyatakan bahwa mudik tahun ini tidak dilarang atau diperbolehkan.
Karena inkonsisten kebijakan pemerintah yang terkesan plin-plan tersebut mempengaruhi ekspektasi dunia usaha khususnya sektor tertentu yang sebelumnya berharap ada kenaikan penjualan saat mudik diperbolehkan.
Faktanya tidak konsistennya pemerintah, kemudian karena gagalnya pemerintah menangani angka kenaikan Covid-19 memaksa untuk melarang mudik. Masyarakat bukan karena tidak setuju dengan kebijakan ini, tapi dibuat bingung dengan kebijakan yang ada.
Pasalnya, pariwisata saat ini juga telah dibuka. Jika larangan mudik bertujuan menghambat laju penularan Covid-19, pariwisata justru dibuka dengan alasan untuk memperlancar pertumbuhan ekonomi negeri. Dua kebijakan yang saling bertolak belakang.
Sejumlah pihak mempertanyakan kebijakan tersebut karena dianggap saling bertentangan. Pembukaan tempat wisata di saat lebaran diyakini menambah risiko bertambahnya kasus positif Covid-19 karena akan banyak orang yang datang dan berpotensi menimbulkan kerumunan besar.
Masalah seperti ini sering terjadi. Tidak heran jika masalah pandemi susah diatasi. Standar pengambilan keputusan antara satu masalah dengan yang lainnya berbeda. Inilah yang mengakibatkan pengambilan keputusan yang berlawanan pula.
Inilah wajah asli sekuler kapitalisme yang mengutamakan keuntungan dan kemaslahatan dibandingkan nyawa rakyat ataupun kemaslahatan serta keselamatan rakyat. Sangat tidak singkron kebijakan larangan mudik lebaran dengan kebijakan pemerintah tetap membuka pariwisata.
Seharusnya pemimpin yang baik itu memperhatikan rakyat, sehingga kebijakan yang diambil adalah untuk menyejahterakan mereka. Bukan untuk menindas, apalagi membuka pariwisata hanya untuk menaikkan ekonomi tapi abai dengan keselamatan rakyat.
Maka semakin jelas, bahwa ketika manusia diatur dengan peraturan sistem buatan manusia sendiri, mereka dengan sesuka hati membuat peraturan dan kebijakan tanpa melihat kemaslahatan masyarakat.
Saat ini yang dibutuhkan adalah pemimpin yang memiliki iman dan taat syariat. Dengan keimanannya pemimpin tersebut hanya akan takut kepada Allah Swt sehingga kebijakan yang diambil tidak akan mencederai rakyatnya. Sebab, pemimpin yang taat akan menyadari bahwa segala kebijakan yang diambil akan dimintai pertanggungjawaban.
Sebagaimana sabda Rasulullah saw.
“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari).
Masihkah kita mau hidup diatur dengan kapitalisme, ataukah kita sudah rindu hidup damai, sejahtera dan penuh keberkahan dalam bingkai Islam. Ketika Islam mengatur kehidupan dalam semua lini kehidupan kita , membawa Rahmat dan keberkahan bagi seluruh alam. Ketentraman menjadi kenyataan yang dirasakan. Campakkan demokrasi kapitalisme yang menyusahkan hidup manusia, ganti dengan sistem Islam yang memudahkan hidup manusia.
Wallahu a'lam Bisshawab.[].