Infrastruktur Jalan Poros Andoolo di Blokade Warga, Dimana Peri'ayah Umat?



Oleh : Rayani umma Aqila

Sejatinya infrastruktur yang dibangun adalah untuk kepentingan rakyat. Namun berbeda halnya seperti yang terjadi di ruas jalan Andoolo-Tinanggea tepatnya di Kelurahan Ngapaaha-Lalonggasu Kecamatan Tinanggea Kabupaten Konawe Selatan (Konsel), diblokade oleh masyarakat setempat. Hal itu sebagai aksi protes terhadap Pemerintah Provinsi (Pemprov), yang tak kunjung mengaspal jalan tersebut Suryametro.id (5/4/2021). 

Ruas Jalan umum yang penghubung antara Kabupaten Konawe Selatan (Konsel) dan Bombana diblokade warga dengan menggunakan tumpukkan material. Titik pemblokiran dilakukan di Kelurahan Ngapaaha Kecamatan Tinanggea Konsel. Hal ini itu dilakukan sebagai bentuk protes terhadap Pemerintah Povinsi (Pemprov) Sulawesi Tenggara (Sultra) yang tak kunjung melakukan perbaikan jalan di sekitar wilayah itu. Pasalnya, status jalan tersebut merupakan tanggungjawab pemerintah provinsi. 

Sekretaris Camat (Sekcam) Tinanggea Nurwan saat dikonfirmasi wartawan mengatakan, ia bersama warga sekitar kecewa atas sikap pemerintah provinsi yang tak menepati janji. Ruas Jalan umum yang penghubung antara Kabupaten Konawe Selatan (Konsel) dan Bombana diblokade warga dengan menggunakan tumpukkan material. Masalah ini pernah didudukan bersama DPRD Sultra untuk disegera dilakukan perbaikan. Nurwan menambahkan, dalam pertemuan tersebut dibuat berita acara kesepakatan bersama sebagai bentuk komitmen akan dilakukanya perbaikan jalan di sepanjang jalan Kecamaratan Andoolo-Tinanggea.

Sebelumnya warga Kecamatan Tinanggea menanami pohon pisang disepanjang jalan wilayah Tinanggea. Akibat dari blokade ini, jalan itu hanya bisa dilalui oleh roda dua, bagi pengendara yang akan menuju kabupaten Bombana harus memutar melewati jalur alternatif. Dalam sistem kapitalisme urusan insfratruktus tidak akan pernah menuai solusi tuntas. Jika jalan berlubang atau rusak, seharusnya segera dilakukan perbaikan oleh Pemerintah Daerah setempat. Namun, di Indonesia persoalan kewenangan memperbaiki jalan tidak terpusat. Dalam satu wilayah atau kota, tanggung jawab perawatan dan perbaikan jalan berbeda-beda. Ada yang harus dilakukan oleh Pemda Daerah setempat namun, ada juga yang harus Pemerintah Pusat. 

Padahal Pembangunan infrastruktur baik itu infrastruktur air, infrastruktur energi dan infrastruktur transportasi merupakan kebutuhan seluruh masyarakat secara umum. Infrastruktur sejatinya diperuntukkan demi kepentingan pembangunan dan pemerataan ekonomi masyarakat agar memberikan kesejahteraan dan kemakmuran. Namun, dalam sistem kapitalisme pembangunan infrastruktur hanya memberikan keuntungan kepada segelintir  pemilik modal (kapitalis), sehingga infrastruktur yang dirasa tidak memberikan manfaat kepada pemilik modal tidak menjadi perhatian utama  pembangunannya. Karena para pemilik modal yang melakukan investasi dan melakukan kontrol terhadap pembangunan dan kepemilikan infrastruktur.

Hal inilah yang ditunjukkan kepada rakyat bahwa pemerintah sangat mementingkan sekali tentang pembangunan infrastruktur untuk kepentingan masyarakat, padahal itu tidak sesuai dengan kenyataan. Hal utama yang dipentingkan dalam pembangunan infrastruktur ini adalah kepentingan bisnis para kaum kapitalis. Merekalah kaum kapitalis yang sangat membutuhkan kepentingan bisnis dibalik proyek-proyek pembangunan ini berjalan, dan rakyat tidak mendapat perhatian serius.

Terkait masalah tarif,seharusnya negara tidak membebankan biaya yang terlalu mahal kepada rakyat. Seharusnya gratis, karena menyangkut kepentingan umum. Tetapi Negara membangun infrastruktur dengan menggunakan utang ribawi dan pemungutan pajak. Dalam sistem ekonomi kapitalis, termasuk yang diterapkan di Indonesia, biaya pembangunan dan pemeliharaan berbagai macam infrastruktur diperoleh dari sektor pajak sebagai pemasukan terbesar penerimaan negara, dari pinjaman atau utang luar negeri dan melalui skenario kerjasama pemerintah dan swasta (KPS)  yaitu kontrak kerjasama antara Pemerintah dan swasta dalam penyediaan infrastruktur atau layanan publik. Dalam sistem ekonomi Islam, infrastruktur yang masuk kategori milik umum harus dikelola oleh negara dan dibiaya dari dana milik umum. Bisa juga dari dana milik negara, tetapi negara tidak boleh mengambil keuntungan dari pengelolaannya. 

Walaupun ada pungutan, hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat sebagai pemiliknya dalam bentuk yang lain. Ini termasuk juga membangun infrastruktur atau sarana lain yang menjadi kewajiban  negara untuk masyarakat seperti sekolah-sekolah, perguruan tinggi, rumah sakit, jalan-jalan umum, dan sarana-sarana lain yang lazim diperuntukkan bagi masyarakat sebagai bentuk pengaturan dan pemeliharaan  urusan mereka. Dalam hal ini, negara tidak mendapat pendapatan sedikit pun. Yang ada adalah subsidi terus-menerus. Jadi, sama sekali tidak ada pos pendapatan dari sarana-sarana ini. Infrastruktur kategori yang kedua tidak boleh dibangun jika negara tidak memiliki dana sehingga tidak dibolehkan pembangunan infrastruktur tersebut dengan jalan utang dan pajak. Jadi infrastruktur kategori yang kedua hanya boleh dibangun ketika dana APBN atau Baitul Mal mencukupi.
Adapun infrastruktur kategori yang pertama, tanpa memperhatikan ada atau tidak ada dana APBN atau Baetul Mal, harus tetap dibangun.  Jika ada dana APBN atau Baitul Mal maka wajib dibiayai dari dana tersebut. Akan tetapi, jika  tidak mencukupi maka negara wajib membiayai dengan memungut pajak (dharîbah) dari rakyat. Jika waktu pemungutan dharîbah memerlukan waktu yang lama, sementara infrastruktur harus segera dibangun, maka boleh negara meminjam kepada pihak lain. Pinjaman tersebut akan dibayar dari dana dharîbah yang dikumpulkan dari masyarakat.  Pinjamaan yang diperoleh tidak boleh ada bunga atau menyebabkan negara bergantung kepada pemberi pinjaman.

Adapun dalam pandangan Islam, pajak (dharîbah) hanya dipungut dalam kondisi kas negara dalam keadaan kosong dan dipungut dari orang-orang kaya saja. Penarikan dharîbah ini juga dilakukan secara temporer hingga kas negara terpenuhi. Selebihnya, pemasukan negara dalam Khilafah Islamiyah didapatkan dari berbagai macam pos-pos pemasukan yang diizinkan oleh Asy-Syâri’ berupa harta-harta fai dan kharaj, pemasukan dari pengelolaan kepemilikan umum oleh negara dan pos khusus pemasukan zakat (khusus pos pemasukan yang terakhir, ia tidak boleh dicampur dengan pemasukan-pemasukan lainnya dan tidak boleh dialokasikan selain kepada delapan golongan yang berhak menerima zakat). Dalam sistem Islam menempatkan hubungan antara penguasa dan masyarakatnya sebagai hubungan kepengurusan dan tanggung jawab. Sesuai sabda Rasulullah Saw, “Imam (Khalifah/Kepala Negara) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang diurusnya. (HR. Bukhari dan Muslim).

Sehingga kebutuhan publik seperti jalan yang termasuk dalam kepemilikan umum pembangunannya merupakan tanggung jawab negara. Negara berkewajiban untuk memastikan sarana jalan umum tersedia sesuai dengan kebutuhan masyarakat sampai kepelosok-pelosok negeri dengan kualitas yang baik dan merata serta dapat dinikmati oleh siapa saja tanpa dipungut biaya. Jika dilihat dari sisi waktu pengadaan infrastruktur, maka Islam membagi menjadi dua bagian. Pertama, infrastuktur yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat dan apabila menundanya akan menimbulkan bahaya atau dharar bagi umat. Sehingga negara dengan sistem Islam menggunakan pendanaan dari pos baitul mal yang mengelola kekayaan alam milik umum dengan jumlah berlimpah. Karena sesuai dengan sabda Rasulullah Saw,“Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api”. (HR Abu Dawud dan Ahmad). Oleh karena itu, Khalifah memiliki tugas dan wewenang dalam mengelola kekayaan alam milik umum tersebut dan menggunakannya dalam pembangunan jalan-jalan umum serta seluruh infrastruktur yang berkenaan dengan kemaslahatan masyarakat.

Akan tetapi, jika dana APBN atau Baitul Mal tidak mencukupi maka negara wajib membiayai dengan memungut pajak (dharibah) dari masyarakat yang kaya saja. Selanjutnya, apabila pemungutan dharibah memerlukan waktu yang lama, sementara infrastruktur harus segera dibangun, maka negara boleh melakukan pinjaman kepada pihak lain atau investor. Pinjaman tersebut akan dibayar dari dana dharibah yang dikumpulkan dari masyarakat. Pinjaman yang diperoleh tidak boleh ada bunga atau menyebabkan negara bergantung kepada investor.

Alhasil, hanya dengan sistem Islam di bawah naungan Khilafah, infrastruktur akan tersebar secara merata ke seluruh pelosok negeri dan mampu dinikmati seluruh masyarakat tanpa dikenai biaya apa pun. Khalifah membangun dan membenahi jalan dengan baik hingga tidak ada jalan yang berlubang. Dengan itu pembangunan yang membutuhkan dana besar dapat dengan mudah dibangun tanpa melanggar syariah Islam sedikitpun (pinjam uang ribawi), juga tanpa merendahkan martabat Islam dan kaum Muslim di mata pihak ketiga atau asing. Wallahu A'lam bisshowab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak