Eksploitasi Perempuan Dibalik Narasi Kesetaraan

Oleh: Asyrani (Pemerhati Masalah Umat)

Menjadikan Negara maju dan sejahtera merupakan sebuah impian yang tak terbendung bagi kalayak umum. Tentu untuk merealisasikannya butuh proses berkepanjangan. Selain itu dibutuhkan pembangunan yang memadai, baik dari segi infrastruktur maupun pembedayaan manusia.

Namun, melihat dari fakta yang ada, ketimpangan ekonomi-sosial terus terseret dalam arus pembangun tersebut. Salah satu penyebabnya yaitu konstruksi sosial budaya di masyarakat. Di mana menurut Menteri Bintang, hal itu juga turut menyumbang rendahnya kualitas perempuan Indonesia. “Kondisi ini berkaitan dengan konstruksi sosial patriarki yang menempatkan posisi perempuan lebih rendah daripada laki – laki”, ujarnya (kemenpppa.go.id, 25/3/2021).

Tak heran jika narasi kesetaraan gender terus menerus dikampanyekan. Bahkan para aktivis gender menilai pandemi Covid-19 memperparah ketaksetaraan antara laki – laki dan perempuan, baik dalam pemberdayaan ekonomi, pencapaian pendidikan, kesehatan, kelangsungan hidup maupun pada partisipasi politik.


Ilusi Kesetaraan Mampu Menyolusi
Sejatinya konsep kesetaraan gender digagas sebagai respon penindasan dan diskriminasi terhadap perempuan yang terjadi di kalangan masyarakat Eropa dan Amerika. Gerakan ini mengglobal seiring pandangan masyarakat Barat yang menganggap perempuan hanya sebagai objek seksual layaknya budak.

Hanya saja, ide ini justru tidak sesuai harapan. Saat gerakan ini masif dikampanyekan, saat itulah kekerasan seksual dan ketimpangan yang menimpa perempuan semakin meningkat. Hal ini terjadi karena kekerasan fisik atau seksual yang dialami kaum perempuan Barat kala itu bukan karena setara dan tidak setara, melainkan akibat dari penerapan sistem kehidupan sekuler-liberal di Negara mereka.

Meski telah cacat, narasi ini terus digaungkan secara global oleh negara adidaya melalui PBB dan diadopsi negara – negara di dunia ketiga, termasuk Indonesia. Namun, lagi – lagi kesetaraan gender hanya memberi solusi yang melahirkan masalah baru bagi perempuan. Misalnya, tuntutan pemberdayaan ekonomi perempuan yang berujung pada animo perempuan bekerja dan menanggalkan fitrahnya mengurus anak. Alhasil, merapuhkan tatanan keluarga dan berdampak pada kemorosotan bangsa.

Sehingga, adanya propaganda semacam ini justru membuktikan bahwa sistem kapitalis sekuler neoliberal yang diterapkan, sangat tak ramah perempuan. Bahkan sistem ini terbukti telah mengeksploitasi kaum perempuan dan menghinakan kedudukan mereka sebatas mesin penggerak roda perekonomian, yang sejatinya dikuasai segelintir pemilik modal.

Perempuan Mulia Dalam Bingkai Islam
“Perempuan harus bekerja menghasilkan materi berlimpah tidak hanya menggantungkan kehidupannya pada laki – laki (suami).” Demikianlah opini yang masih terus digembar gemborkan pegiat kesetaraan gender, terlebih di tengah terpuruknya ekonomi Negara imbas pandemi.

Berbeda dengan Islam, perempuan justru dilindungi, dijaga dan dipenuhi kebutuhannya, haram untuk dieksploitasi. Kebutuhan setiap perempuan akan dipenuhi dengan beberapa cara.
Pertama, mewajibkan laki – laki menafkahi perempuan. “Kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf”. (Q.S. Al-Baqarah [2]:233)

Kedua, jika individu itu tetap tidak mampu bekerja menanggung diri, istri dan anak perempuannya, beban tersebut dialihkan kepada ahli warisnya. Sebagaimana firman Allah Swt. “Ahli warispun berkewajiban demikian”. (Q.S. Al-Baqarah [2]:233)

Ketiga, jika ahli waris tidak ada, atau ada tetapi tidak mampu memberi nafkah, beban itu beralih kepada Negara melalui lembaga Baitul mal.
Nabi saw. bersabda, “Aku lebih utama dibandingkan dengan orang – orang beriman daripada diri mereka. Siapa saja yang meninggalkan utang dan tanggungan keluarga maka datanglah kepadaku, dan menjadi kewajibanku.” (HR Ibnu Hibban)

Islam juga memandang keberadaan perempuan sebagai bagian dari masyarakat. Hal ini menjadikan mereka juga memiliki kewajiban yang sama untuk mewujudkan kesadaran politik pada diri mereka dan masyarakat secara umum.

Allah Swt. telah menetapkan, secara politis, peran utama dan strategis bagi perempuan adalah sebagai ummu wa rabbatul bait, pencetak generasi, sehingga terlahir generasi berkualitas prima sebagai pejuang – pejuang islam yang ikhlas. Selain itu, ada aktivitas politik yang wajib dilakukan perempuan, yakni memperjuangkan islam agar kembali diterapkan di muka bumi.

Dengan demikian, yang dibutuhkan perempuan bukanlah kesetaraan, melainkan kesejahteraan. Dan kesejahteraan yang hakiki hanya bisa diwujudkan ketika islam dijadikan solusi. Wallahu a’lam.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak