Oleh Ade Irma
Lagi-lagi umat Islam dipertontonkan dengan liberalisasi agama. Seolah nilai toleransi sangat dijunjung tinggi di negara ini. Yang padahal dalam realitanya adalah toleransi yang kebablasan melanggar aturan agama itu sendiri dalam hal ini agama Islam.
Dilansir oleh Jakarta (ANTARA) - Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas meminta setiap acara yang berlangsung di Kementerian Agama turut memberikan kesempatan kepada agama lain dalam mengisi doa dan tidak hanya doa untuk agama Islam saja.
Pernyataan itu disampaikan Yaqut saat membuka Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Kementerian Agama secara daring dan luring yang berlangsung mulai Senin hari ini hingga Rabu.
"Pagi hari ini saya senang Rakernas dimulai dengan pembacaan ayat suci Alquran. Ini memberikan pencerahan sekaligus penyegaran untuk kita semua. Tapi akan lebih indah kalau doanya diberikan kesempatan semua agama untuk memberikan doa," kata Yaqut, Senin.
Doa bersama adalah berdoa yang dilakukan secara bersama-sama antara umat Islam dengan umat non-Islam dalam acara-acara resmi kenegaraan maupun kemasyarakatan pada waktu dan tempat yang sama, baik dilakukan dalam bentuk satu atau beberapa orang berdoa sedang yang lain mengamini maupun dalam bentuk setiap orang berdoa menurut agama masing-masing secara bersama-sama.
Praktik doa bersama di Indonesia merupakan salah satu bentuk wacana toleransi beragama dalam ragam majemuknya masyarakat. Akan tetapi pada praktiknya doa bersama ini menimbulkan masalah akidah bagi umat Islam. Lalu bagaimana Islam memandang doa bersama lintas agama ini?
Dalam Islam, segala aktivitas kehidupan umat Islam harus berpegang teguh dengan syariat-Nya. Apa-apa yang sudah ditetapkan Allah dan diajarkan dari Rasulullullah makan wajib kita laksanakan tanpa terkecuali. Namun apa-apa yang dilarang serta tidak dicontohkan dari Rasulullah maka wajib ditinggalkan.
Sesungguhnya aktivitas doa yang dilakukan secara bersama-sama antara kaum Muslim dan penganut agama-agama lainnya tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah saw. dan diharamkan secara mutlak. Alasannya sebagai berikut:
Pertama, setiap aktivitas (amal perbuatan) seorang Muslim wajib terikat dengan hukum-hukum Islam. Teladan praktis untuk itu ada pada amal perbuatan Rasulullah saw. Allah Swt. berfirman:
Apa saja yang diberikan Rasul kepada kalian, terimalah dia. Apa saja yang dilarangnya atas kalian, tinggalkanlah. (QS al-Hasyr [59]: 7).
Artinya, apa yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah, tidak pernah dilegislasi (taqrîr) oleh beliau, atau tidak pernah diperintah melalui ucapan beliau—apalagi menyangkut perkara ibadah—tidak boleh dilakukan. Rasulullah saw. bersabda:
Siapa saja yang melakukan suatu perbuatan yang tidak aku perintahkan maka perbuatan tersebut tertolak. (HR Muslim).
Kedua, setiap agama memiliki hukum (syariat)-nya sendiri-sendiri. Islam adalah agama yang berbeda dengan agama apa pun di dunia. Rabb (Tuhan) kaum Muslim Satu dan berbeda dengan tuhan-tuhan agama lain. Akidah kaum Muslim pun bertentangan dan sangat bertolak belakang dengan akidah agama-agama lain. Syariat Islam berbeda dengan syariat agama lain. Dengan tegas, Allah Swt. berfirman:
Katakanlah, “Hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kalian sembah. Kalian bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kalian sembah. Kalian tidak pernah pula menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untuk kalian agama kalian dan untukkulah agamaku.” (QS al-Kafirun [109]: 1-6).
Di samping itu, doa termasuk ibadah mahdhah yang terikat dengan tatacara yang khas yang telah ditentukan oleh Allah Swt. dan Rasul-Nya. Siapa pun tidak boleh menambah-nambah ataupun menguranginya, apa pun maksudnya. Bahkan kaum Muslim tidak dibenarkan mengikuti cara-cara, langkah-langkah, dan jejak hidup orang-orang kafir (agama-agama lain). Oleh karena itu, jika Allah menegaskan bahwa Islam berbeda dengan agama-agama lain—dalam hal Zat Yang disembah maupun tatacara peribadatannya termasuk doa—maka atas dasar apa mereka terlibat dalam aktivitas doa bersama?
Ketiga, aktivitas doa bersama lintas agama sama saja dengan menambah-nambah (sesuatu yang baru) yang sebelumnya tidak dicontohkan oleh Rasulullah saw. dalam perkara ibadah (doa). Hal itu termasuk bid‘ah. Padahal, Rasulullah saw. bersabda:
Hendaklah kalian jangan mengada-adakan hal-hal yang baru. Sebab, sesungguhnya mengada-adakan hal-hal baru (dalam ibadah/doa) itu adalah bid‘ah. Setiap bid‘ah itu adalah kesesatan. Setiap kesesatan (akibatnya) adalah neraka. (HR Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Ibn Majah).
Keempat, aktivitas doa bersama lintas agama muncul dari peradaban Barat yang Kristen. Mereka mengesahkan aktivitas sinkretisme (percampuran akidah maupun syariat berbagai agama) dan melakukannya. Sebaliknya, Islam menolaknya. Sebab, antara yang hak dan yang batil serta antara keimanan dan kekufuran tidak dapat dipertemukan dan disatukan sampai kapan pun dan dengan alasan apa pun.
Maka dari sinipun sudah jelas hukumnya haram. Sesuai dengan jumhur ulama yang mengharamkan doa lintas agama ini. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
Artinya: “Janganlah kalian campur-adukkan antara kebenaran dan kebatilan, dan kalian sembunyikan yang benar padahal kamu mengetahuinya”. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 42).
Sehubungan dengan ayat tersebut, Imam Qatadah dan Mujahid mengartikan ayat ini dengan, “Janganlah kalian campur-adukkan antara agama Yahudi dan Nasrani dengan Islam”.
Termasuk dalam kategori penjelasan ayat ini, larangan mencampur-adukkan antara perkara halal dan haram.
Larangan ini merupakan larangan yang besar dan serius. Hal ini karena hak menentukan halal dan haram adalah ketentuan Allah dan hak-Nya semata-mata.
Maka perkara doa bersamapun terkait dengan perkara mendasar dalam Islam yang haram untuk dicampur adukkan. Waalahu a'lam
Tags
Opini