Buruknya Jalan di Konsel-Bombana: Infrastruktur Khas Kapitalis





Oleh: Wa Ode Rahmawati
(Pemerhati Sosial)

Infrastruktur jalan yang merupakan penghubung antara satu wilayah dengan wilayah lainnya, kini diblokade oleh masyarakat sendiri dikarenakan pemerintah belum juga melakukan tindakan perbaikan terhadap jalan penghubung antara Kabupaten Konawe Selatan dan Bombana yang rusak. 

Dilansir dari zonasultra.com (5/4/21), titik pemblokiran dilakukan di Kelurahan Ngapaaha Kecamatan Tinanggea Konsel sebagai bentuk protes terhadap Pemerintah Povinsi (Pemprov) Sulawesi Tenggara (Sultra) yang tak kunjung melakukan perbaikan jalan di sekitar wilayah itu. Pasalnya, status jalan tersebut merupakan tanggungjawab pemerintah provinsi. Sekretaris Camat (Sekcam) Tinanggea Nurwan saat dikonfirmasi wartawan mengatakan, ia bersama warga sekitar kecewa atas sikap pemerintah provinsi yang tak menepati janji. Katanya, pada akhir Februari lalu, masalah ini pernah didudukan bersama DPRD Sultra untuk disegera dilakukan perbaikan. 

“Waktu itu saya mewakili pemerintah kecamatan Tinanggea, ada anggota DPRD Provinsi Komisi tiga, Sekwan Provinsi, Polsek Tinanggea dan pemerintah dua desa dan tokoh pemuda dan tokoh masyarakat membuat perjanjian yang tertuang dalam berita acara bahwa awal bulan Maret akan dilakukan perbaikan jalan. Namun hingga kini sudah masuk bulan April belum juga ada respon,” kata Nurwan saat dihubungi via telepon, Senin (5/4/2021).

Sistem Kapitalisme Biang Masalah

Sudah menjadi rahasia umum bahwa daerah Sulawesi Tenggara (Sultra) memiliki infrastruktur jalan raya yang cukup memprihatinkan, bukan hanya jalan aspal berlubang melainkan juga tak tersentuh aspal sama sekali. Padahal, Sulawesi Tenggara (Sultra) sendiri memiliki sumber daya alam aspal yang melimpah, khususnya aspal di Buton. Aspal ini merupakan jenis aspal alami yang secara spesifik terdapat di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara yang hanya dapat ditemukan di dua wilayah di dunia, yakni di Indonesia dan di Trinidad, Amerika Selatan. Aspal Buton di Indonesia memiliki potensi sebesar 694 juta ton, tetapi perlu dilakukan validasi terhadap data cadangan terbukti dan cadangan tertambang oleh Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM). Di sisi lain, produksi aspal Buton memiliki potensi tidak hanya mampu memenuhi kepentingan dalam negeri tetapi juga kepentingan ekspor luar negeri. (liputan6.com, 2/2/2021)

Lebih spesifik di wilayah Sulawesi Tenggara (Sultra), Gubernur Sultra Ali Mazi menyatakan target produksi aspal buton (asbuton) tahun ini sebanyak 705,3 ribu ton. Angka itu setara dengan sepertiga dari total kapasitas terpasang yang sebanyak 1,99  juta ton per tahun. Ia menuturkan terdapat tujuh jenis aspal Buton, yakni B 5/20 Buton Granula Asphal (BGA), B 50/30 Lawele Granular Asphalt (LGA), pracampur performance grade (PG) 70, dan pracampur PG 76, pracampur, cold paving hot mix Asbuton (CPHMA), dan Asbuton Murni. 

"Ini bukti nyata kekayaan sumber daya alam di Buton. Aspal ini bisa digunakan untuk kepentingan bangsa dan negara, bahkan untuk kepentingan luar negeri," ucap Ali Mazi. (cnnindonesia.com (2/2/2021)

"Ini bukti nyata kekayaan sumber daya alam di Buton. Aspal ini bisa digunakan untuk kepentingan bangsa dan negara, bahkan untuk kepentingan luar negeri," ucap Ali Mazi. (cnnindonesia.com (2/2/2021)

Dengan adanya potensi kekayaan alam aspal Buton ini seharusnya menjadikan daerah-daerah Sultra secara merata mendapatkan akses infrastruktur, khususnya jalan yang beraspal. Tentu saja, tidak hanya di daerah perkotaan tetapi juga di pelosok daerah. Namun, realitas berbanding terbalik, beberapa daerah di Sultra masih memliki akses jalan rusak lagi berlubang, salah satunya sebagaimana di Kelurahan Ngapaaha Kecamatan Tinanggea Konsel. 

Dikutip dari m.rri.co.id (25/1/2021), warga Desa Sandarsih Jaya, Kecamatan Angata, Kabupaten Konawe Selatan (Konsel) Sulawesi Tenggara (Sultra), mengeluhkan kondisi jalan desa yang belum tersentuh aspal.  Sejak, desa itu terbentuk 35 tahun silam atau sekitar tahun 1986, pemerintah daerah belum merealisasikan pengaspalan jalan, Meskipun setiap tahun diusulkan.

Infrastruktur yang kacau balau ini pun berimbas kepada masyarakat luas, terutama petani. Salah seorang warga dusun satu desa Sandarsih Jaya kecamatan Angata Konsel Andi Jamaluddin menuturkan, akibat kondisi jalan belum teraspal, masyarakat yang hampir seratus persen bermata pencaharian sebagai petani, terpaksa menjual murah hasil-hasil pertanian, akibat sulitnya transportasi. “Sebenarnya setiap tahun kami usulan pengaspalan jalan di desa Sandarsih Jaya ini kepada pemerintah daerah, namun belum juga terealisasi. Biasanya kami jual murah hasil kebun karena transportasi yang sulit melewati jalan desa,” keluh Andi Jamaluddin, kepada RRI Kendari, Senin (25/1/2021). 

Melihat realitas ini, tentu membuat masyarakat geram, sebab bagaimana mungkin terjadi krisis infrastruktur jalan di tengah kondisi sumber daya alam negeri yang bisa dikatakan lebih dari cukup untuk mewujudkan jalanan aman dan nyaman. Apalagi, masyarakat setempat sudah berupaya semaksimal mungkin, misalnya saja melalui usulan secara terus-menerus. 

Namun, hal ini bukan perkara baru yang terjadi di negeri yang menerapkan sistem Kapitalisme. Dalam pandangannya, dunia kebutuhan publik yang umumnya menjadi tanggungjawab penuh pemerintah, justru menjadi urusan kedua mereka, sementara yang pertama dan utama adalah kepentingan pribadi dan golongan. Akibatnya, pengaturan infrastruktur menjadi semrawut. Apabila pengeloaannya tidak bernilai materi, maka dibiarkan begitu saja tanpa kesadaran untuk melirik, kemudian melakukan perbaikan atas nama rakyat. Alhasil, dalam tata kelola khas kapitalisme urusan infrastruktur ini  tidak akan pernah menuai solusi tuntas. Sebab, asas darinya mengharuskan negara untuk berlepas tanggungjawab terhadap urusan publik. 

Islam Sebagai Solusi

Islam berbeda dari sistem kapitalisme, dimana Islam mengurusi urusan umat dengan baik, ikhlas dan total. Pemimpin dalam Islam (Khalifah) membangun dan membenahi jalan dengan baik hingga tidak ada jalan yang berlubang. Potret ini terlihat tatkala suatu ketika Amirul mukminin Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu yang terkenal tegas dan tegar dalam memimpin kaum muslimin tiba-tiba menangis, dan kelihatan sangat terpukul. Informasi salah seorang ajudannya tentang peristiwa yang terjadi di tanah Iraq telah membuatnya sedih dan gelisah. Seekor keledai tergelincir kakinya dan jatuh ke jurang akibat jalan yang dilewati rusak dan berlobang. 

Melihat kesedihan Khalifahnya, sang ajudan pun berkata: “Wahai Amirul Mukminin, bukankah yang mati hanya seekor keledai?” dengan nada serius dan wajah menahan marah Umar bin Khattab berkata: “Apakah engkau sanggup menjawab di hadapan Allah ketika ditanya tentang apa yang telah engkau lakukan ketika memimpin rakyatmu?”

Dalam redaksi lain Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu berkata, “Seandainya seekor keledai terperosok di Kota Baghdad karena jalanan rusak, aku sangat khawatir karena pasti akan ditanya oleh Allah Ta’ala, “Mengapa kamu tidak meratakan jalan untuknya?”

Dari sini, sudah seyogyanya seorang pemimpin tidak akan membiarkan urusan umat terbengkalai sebab sepenuhnya ia paham bahwa Rabbnya akan meminta pertanggungjawaban dari dirinya atas umat yang dipimpinnya. Namun, kondisi ini tidak akan pernah terjadi di bawah naungan sistem Kapitalisme, melainkan akan terwujud hanya dalam  Islam, sebagaimana tercermin dari sosok Amirul Mukminin Umar bin Khattab Radhiallahu ‘anhu di atas. Wallahu A'lam bish showwab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak