Antara Mudik dan Wisata di Tengah Wabah


Oleh Rianny Puspitasari
Pendidik


Ramadan tahun ini masih sama seperti  tahun kemarin, dunia masih dilanda wabah Covid-19. Kebiasaan mudik menjelang Idul Fitri pun resmi dilarang sebagaimana tahun sebelumnya, meski sempat akan dibolehkan, namun kemudian pemerintah meralatnya.  Idul Fitri bagi kaum muslimin begitu berarti, karena menjadi momen berkumpul dengan sanak keluarga, berbagi kisah dan cerita serta makan bersama. Namun sayang tidak bisa dilaksanakan kembali. Tentu saja bagi perantau adalah hal yang menyedihkan.

Libur lebaran disamping sebagai ajang silaturahmi juga menjadi momen liburan panjang yang dimanfaatkan untuk berwisata bersama keluarga. Bagi pelaku usaha bisa meraup keuntungan besar dibanding dengan hari-hari biasa. Dalam Istilah bahasa Sunda biasa disebut “marema”, yang artinya dagangan/usahanya laku keras.
Semenjak Covid melanda, pariwisata memang menjadi salah satu bidang yang terdampak dan mengalami penurunan signifikan. Akan tetapi, karena dinilai sebagai penggerak ekonomi, sedikit demi sedikit geliat pariwisata terus digalakan. Begitu pun dengan momen Idul Fitri kali ini, sektor pariwisata akan digenjot agar bisa kembali memutar roda ekonomi. Seperti yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Bandung, bekerjasama dengan Telkom University melakukan program promosi wisata dengan melibatkan para penggiat media sosial. Kegiatan berupa workshop ini dihadiri oleh influencer dan komunitas yang anggotanya merupakan admin-admin media sosial. (Galajabar.com, 8/04/21) 
Wisata di kala pandemi memang menjadi buah simalakama. Digencarkan bisa menjadi titik orang berkumpul dan meluasnya penyebaran virus. Sebaliknya jika dimatisurikan, akan membuat pelaku usaha pariwisata terseok-seok, artinya tidak ada pemasukan bagi devisa negara yang menjadi andalan pemerintah. 
Sesungguhnya bila dikelola dengan benar masih banyak sektor lain yang bisa dioptimalkan menjadi sumber penghasilan negara. Misalnya sumber daya alam, seperti barang tambang, hutan, perikanan, dan lain sebagainya. Sayangnya pengelolaannya diserahkan kepada swasta, baik lokal maupun asing. 

Kebijakan pemerintah melarang mudik tapi menggencarkan pariwisata menunjukan kebijakan yang kontradiktif dan inkonsisten. Mudik dilarang demi mencegah penularan, namun pariwisata didorong padahal sama-sama berpeluang menjadi cluster penyebaran. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah hanya peduli pada sektor yang menghasilkan pundi-pundi uang,  sebagai ciri khas dari kebijakan kapitalisme. Dalam kapitalisme materi dijadikan sebagai tolok ukur bagi setiap kebijakan, selama mendatangkan keuntungan pasti akan dilakukan, sekalipun beresiko besar.

Selain itu pemimpin dalam kapitalisme hanya diposisikan sebagai regulator dan fasilitator. Semata-mata mengeluarkan berbagai perijinan bagi para pelaku usaha, akibatnya pemasukan bagi negara minim, rakyat terancam makin miskin. Lapangan kerja diserahkan penyediaannya kepada para pengusaha. Penguasa dan pengusaha berkelindan saling menguntungkan, sementara rakyat menjadi korban. 

Lain halnya dengan Islam. Sistem ini menetapkan bahwa penguasa adalah pengurus rakyat, sebagaimana tercantum dalam sebuah hadis:
“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. Bukhari)

Dari sini kita bisa melihat bahwa kebijakan yang diambil oleh seorang pemimpin haruslah merupakan keputusan yang matang dan membawa rakyatnya pada keselamatan dunia dan akhirat. Kelak ia akan dimintai pertanggungjawaban oleh Sang Khaliq, sehingga jangan sampai aturan yang diterapkan di tengah rakyat akan membawa kerugian bagi diri dan rakyatnya di hari penghisaban nanti. Bagi pemerintahan Islam, kesehatan dan keselamatan umat (muslim dan non-muslim) adalah prioritas.
Pariwisata di dalam Islam, dipandang sebagai sebuah aktivitas untuk semakin meningkatkan keimanan seorang muslim dengan melihat kebesaran Allah, melalui berbagai ciptaanNya yang luar biasa. Pariwisata bagi daulah Islam bukanlah sektor andalan sebagai pemasukan negara, apalagi jika sampai ada pelanggaran terhadap hukum syara atau peluang terjadinya maksiat, tentu akan ditindak tegas tanpa mempertimbangkan untung rugi.

Dalam penyelesaian wabah pun, seorang pemimpin akan dengan sungguh-sungguh menyelesaikannya sesuai dengan tuntunan Islam. Penanganan wabah dalam Islam dari awal datangnya wabah adalah lockdown. Dengan demikian akan terpisah wilayah yang terkena wabah dengan yang tidak, sehingga akhirnya wabah bisa terkendali dan rakyat bisa beraktivitas normal kembali. Bagi yang terkendala mencari nafkah karena wabah, seorang khalifah akan segera mengeluarkan dana dari baitulmal termasuk biaya pengobatan bagi yang sakit sampai sembuh. Negara tidak boleh membantu rakyat sekedarnya seperti bansos, tapi harus maksimal sebagaimana dicontohkan oleh Khalifah Umar ra.. Beliau tidak bersedia memakan roti yang empuk sementara rakyat kesusahan. 

Sudah saatnya masyarakat merenung dan berpikir ulang bahwa penerapan sistem saat ini adalah sistem yang salah. Saatnya kembali pada Islam, satu-satunya aturan hidup yang bisa menyelesaikan perkara apapun sesuai dengan aturan Allah Swt. termasuk wabah. Sehingga adanya wabah tidak menghalangi merayakan Idul Fitri bersama keluarga.
 Wallahu a'lam bishshawwab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak