Anak Kecanduan Smartphone, Salah Siapa?



Oleh: Neng Ipeh *


Smartphone sudah menjadi salah satu barang yang wajib ada saat ini. Beragam kegiatan mulai dari berkomunikasi, mencari informasi, sarana belajar hingga sarana bekerja bisa dilakukan dalam genggaman. Selain manfaatnya yang segudang, smartphone atau gawai juga nyatanya berpengaruh langsung terhadap kondisi mental dan kesehatan fisik seseorang. Terutama untuk mereka yang tak mampu melakukan pengendalian diri dan waktu.

Kecanduan gawai atau dikenal dengan nama Nomophobia (no mobile phone phobia) adalah kondisi yang menggambarkan ketakutan yang berkembang di dunia saat ini yaitu, ketakutan tidak memiliki perangkat seluler. Nomophobia kini sedang menjadi bayang-bayang kehidupan anak milenial. Banyak di antara mereka yang mandi atau sekadar buang air harus membawa ponsel mereka.

Terkait dengan fenomena tersebut, Pekerja Sosial Perlindungan Anak Dinsos-P3A Kota Cirebon, Siti Fatimah mengungkapkan, pihaknya cukup banyak menerima keluhan orang tua akan prilaku anaknya yang kelewat batas dalam menggunakan gadget. Menurutnya, kondisi pandemi dan sekolah yang dilaksanakan secara daring membuat intensitas anak-anak menggunakan gawai semakin sering. Apabila tak dapat dikendalikan, bukan tidak mungkin mereka akan mengalami kecanduan. 

“Untuk setahun ini memang tidak ada catatan kasus yang secara resmi ditangani langsung oleh Peksos. Tapi untuk laporan terkait kecanduan gadget, cukup banyak,” ungkapnya. (radarcirebon.com/10/04/2021)

Banyaknya perubahan telah terjadi di era pandemi virus corona baru (Covid-19). Terutama interaksi dengan orang lain yang kini semakin terbatas dan mungkin hanya bisa dilakukan secara daring untuk mencegah penularan Covid-19. Latar belakang itu juga menyebabkan naiknya angka penggunaan smartphone dan internet  selama pandemi Covid-19. Seiring dengan itu, angka kecanduan internet pada remaja di Indonesia juga ikut naik hingga 19,3 persen. Data tersebut diungkapkan Dokter Spesialis Jiwa di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Dr dr Kristiana Siste, SPKj (K). Dia mengungkapkan hasil penelitiannya dari 2.933 remaja di 33 provinsi di Indonesia. “Dampak isolasi Covid-19 bagi anak dan remaja macam-macam. Mulai dari ketakutan akan infeksi, rasa frustasi dan bosan, kerinduan dengan teman sebaya, hingga kehilangan ruang privasi. Belum lagi ada 67 persen orang tua yang mengaku kesulitan merawat anak selama masa pandemi,” katanya. (inews.id/10/04/2021) 

Menanggapi hal tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Barat bahkan sempat membuat wacana untuk mengharamkan game online walaupun pada akhirnya dibatalkan setelah berdiskusi dengan pihak pemerintah. (m.kumparan.com/10/04/2021) 

Fenomena kecanduan gawai pada remaja seperti ini tentu amat disayangkan karena sejatinya mereka harapan masa depan bangsa. Dimana seharusnya mereka memiliki tubuh yang sehat dan mental yang kuat. Namun fakta yang terjadi justru malah sebaliknya. Padahal masalah seperti ini tidak akan terjadi jika Islam diterapkan sebagai aturan dalam kehidupannya. Karena sejatinya masalah ini muncul akibat penerapan sekulerisme kapitalisme,  yang menjauhkan peran Sang Pencipta (sebagai Almudabbir) dari kehidupan dimana agama hanya diberi porsi sempit dalam ranah ibadah ritual. Adapun kehidupan, diserahkan pengaturannya kepada akal manusia yang serba lemah dan terbatas

Produk yang muncul karena adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sejatinya ada untuk memberi manfaat bagi kehidupan manusia. Namun sayangnya di dalam penerapan sistem sekuler-kapitalisme justru dijadikan alat sebagai pemuas kesenangan. Akhirnya, bahagia hanya dimaknai sebagai terpenuhinya kesenangan duniawi. Dan manusia berlomba untuk mengejarnya, seolah dunia adalah kehidupan yang abadi tanpa akan menuju kehidupan akhirat. 

Padahal dalam pandangan Islam, gawai adalah produk madaniah yang merupakan budidaya hasil pemikiran manusia dan dapat dimanfaatkan untuk mempermudah urusan kehidupan manusia. Maka seorang muslim sejatinya akan berusaha menguasainya dalam rangka mempermudah kepentingannya, baik urusan keseharian, ibadah, hingga urusan kenegaraan. Keberadaan gawai akan difungsikan sesuai kegunaannya. Yaitu sebagai harta benda yang akan mempermudah manusia dalam memenuhi kebutuhan, bukan alat pemuas lahwun (kesenangan). 

Negara pun akan berusaha untuk melindungi rakyatnya dari konten-konten yang dapat membahayakan umat, baik dari sisi akidah maupun menyia-nyiakan waktu dalam kehidupannya. Hal ini dikarenakan negara memahami bahwa merekalah perisai pelindung umat dari bahaya sesuai tuntunan syara. Maka sudah selayaknya kita berusaha memperjuangkan tegaknya sistem Islam agar generasi muda dapat segera terselamatkan.

*(aktivis BMI Community Cirebon)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak