Adakah Terorisme dalam Islam?



Oleh : Aghnia Yanisari 
(Aktivis Dakwah Kampus)


Pascabom Makassar yang disusul penyerangan Mabes Polri, perbincangan terkait terorisme terus saja mencuat. Kejadian ini menjadi bahan amunisi untuk menyerang Islam. Cap radikal langsung disematkan pada kelompok-kelompok yang dianggap berseberangan dengan rezim tanpa melihat lagi isi ajarannya. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siraj misalnya, menilai ajaran wahabi dan salafi jadi pintu masuk terorisme. Kedua ajaran ini, sekalipun diakui Said tidak mengajarkan kekerasan, tapi dianggap memunculkan benih-benih terorisme. Mereka membuat kondisi yang menyudutkan kelompok yang memperjuangkan Islam dan membuat umat Islam sendiri takut terhadap agama dan ajarannya. Tudingan “radikalis ngaji bisik-bisik di masjid” juga sempat dilontarkan Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) Yusuf Kalla.(CNNIndonesia.news)


Pada umumnya, pelaku teror memang menganggap apa yang mereka lakukan adalah karena perintah Allah, untuk jihad fi sabilillah yaitu berperang di jalan Allah (lihat QS Al Hajj 78; Al Baqarah 216, At Taubah 41 dll). Sebenarnya, Islam telah menyertai perintah wajibnya jihad fi sabilillah ini dengan seperangkat aturan. Sayangnya, semua aturan itu tidak dipakai para pelaku teror. Berbagai aturan jihad ofensif (menyerang), seperti harusnya diperintahkan oleh penguasa yang menerapkan hukum Islam, harusnya ditujukan kepada orang kafir dan didahului dengan mendakwahkan Islam dan mengajak masuk Islam, jihad hanya dilakukan di medan peperangan di antara dua pasukan yang berhadapan, larangan membunuh anak-anak, perempuan, orang yang sudah tua, dan rahib di tempat ibadahnya (HR Muslim, Sunan Abu Dawud, dan At Tirmidzi), larangan menghancurkan desa dan kota, merusak ladang dan kebun (HR Bukhari, Sunan Abu Dawud), dll., semuanya tak ada yang ditaati. Maka jelas, berbagai aksi teror ini tak bisa dikategorikan jihad karena melanggar hampir semua rambunya. Dengan demikian, sudah dipastikan aksi teror bom dan sejenisnya tidaklah sesuai Islam. Oleh karenanya, perlu ada solusi tuntas untuk masalah ini.


Untuk menghadapi aksi teror ini, lagi-lagi moderasi ditawarkan sebagai solusi. Menag mengimbau para tokoh agama untuk terus meningkatkan pola pengajaran agama secara baik dan menekankan pentingnya beragama secara moderat. Hal senada disampaikan wapres Ma’ruf Amin. Saat memimpin rapat Pimpinan Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), wapres meminta MUI menggunakan pola pikir wasathy atau moderat dalam menjalankan tugas sehari-hari. Pihaknya meminta MUI turut melakukan kontrapropaganda radikalisme dengan pola pikir moderat.


Aksi kekerasan adalah nyata, tapi tawaran moderasi dengan menyimpangkan Islam dari ajaran yang benar adalah tindak penyesatan. Moderasi mengajarkan untuk selalu mengambil jalan tengah dalam setiap penyelesaian masalah, tidak berlebihan dan tidak melampaui batas. Pertanyaannya, beragama seperti apa yang dianggap berlebihan dan melampaui batas? Ketika menganggap agamanya sendiri benar, sementara agama yang lain salah, jelas ini tindakan penyesatan. Meyakini Islam sebagai agama yang benar, sementara agama lain salah, bukanlah melampaui batas, karena demikianlah yang ditetapkan Allah Swt (lihat QS Ali Imran 19). Hanya saja, sekalipun meyakini kebenaran tersebut, Islam mengajarkan setiap muslim untuk bersikap yang benar kepada nonmuslim. Misalnya, tidak memaksa mereka memeluk agama Islam (QS Al-Baqarah 256) dan membiarkan mereka beribadah sesuai agama dan keyakinan mereka (QS Al-Kafirun).


Islam juga mengajarkan untuk tidak melakukan kekerasan kepada nonmuslim yang berada dalam jaminan perlindungan daulah Islam (kafir dzimmi) sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Siapa saja yang menyakiti dzimmi, maka aku berperkara dengan dia.” (Imam al-Jalil Abu Zahrah, Zuhrat at-Tafasir, 1/1802. Lihat juga: Fath al-Kabir, 6/48; hadis nomor 20038 [hadis hasan]).


Termasuk tindak penyesatan moderasi juga adalah ketika membolehkan umat untuk melakukan salat, puasa, zakat, memperbanyak doa dan zikir, juga berbagai ibadah ritual lainnya; tapi umat dilarang mengkritik penguasa, tidak boleh menuntut penerapan syariat oleh negara, harus mau menerima berbagai pemikiran Barat yang kufur seperti demokrasi, HAM, serta feminisme; dsb. Bahkan, demi memuluskan semua itu, berbagai ajaran Islam pun direduksi. Ajaran Islam tentang jihad diubah makna dan hukumnya, ajaran Khilafah distigma sebagai penghancur persatuan umat dan menyalahi kesepakatan para pendiri bangsa, dsb.. Jelas, tawaran solusi moderasi bukan berkehendak menghentikan teror dan kekerasan, tapi ingin mencitraburukkan ajaran Islam, memalingkan umat dari ajaran Islam, dan menghadang dakwah Islam yang sahih. Maka, bagaimana bisa solusi moderasi ini menyelesaikan aksi teror? Tidak nyambung bukan?


Ada banyak faktor yang memicu terorisme. Musni Umar, seorang sosiolog terkemuka, menyebutkan antara lain faktor ketakadilan ekonomi, ketakadilan hukum, penjajahan, intervensi asing, pemahaman agama yang sempit, dan keinginan mengubah negara atau sistem. Berbagai faktor pemicu tersebut hanya muncul dalam sistem yang tidak menerapkan Islam secara totalitas sebagaimana sistem yang diterapkan hari ini. Penerapan sistem ekonomi kapitalis menyebabkan kekayaan negeri ini hanya menjadi milik kaum bermodal besar, para pengusaha kaya. Sejahtera? Hanya mimpi bagi rakyat kecil.


Demikian juga dengan ketakadilan hukum, terjadi karena penerapan sistem peradilan sekuler di mana agama (Islam) sama sekali tidak digunakan sebagai landasan dalam menetapkan sanksi/hukuman. Hukum hanya tajam ke rakyat kecil, tumpul kepada penguasa ataupun kaum berduit. Wajar jika kemudian muncul keinginan mengubah negara atau sistem, karena hanya sistem Islam yang layak menjadi harapan bagi umat Islam, sistem yang berasal dari Allah Sang Maha Pencipta. Hanya saja, para pelaku teror ini belum memahami dengan benar bagaimana cara mengubah sistem sesuai dengan aturan Islam, yang seharusnya tidak dilakukan dengan cara kekerasan. Jika demikian, maka apa yang seharusnya dilakukan untuk menghentikan semua aksi teror ini? Jawabnya, terapkan syariat Islam kafah dalam institusi negara Khilafah.


Khilafah akan menyolusi berbagai aksi teror ini dengan beberapa mekanisme:
Pertama, Khilafah akan membangun keimanan yang kuat. Ketika iman sudah kuat, umat akan selalu berusaha mengikatkan sikap dan perilakunya pada ajaran Islam, tidak akan bertindak berdasarkan hawa nafsu maupun logika akalnya semata. Iman yang kuat ini menjadi benteng yang menjaga umat agar tak terjerumus pada perbuatan perbuatan yang tak sesuai dengan ajaran Islam, seperti melakukan berbagai aksi teror dan kekerasan.
Kedua, Khilafah akan menerapkan syariat Islam secara kafah. Semua undang-undang dan peraturan yang dibuat mengacu pada Al-Qur’an dan Sunah. Penerapan syariat Islam di berbagai aspek kehidupan akan mengantarkan pada kemuliaan dan keberkahan hidup.
Penerapan sistem ekonomi Islam akan mengantarkan umat pada kesejahteraan dan keadilan ekonomi. Penerapan sistem peradilan Islam akan menghantarkan umat pada keadilan hukum yang sesuai syariat Islam. Penerapan sistem politik luar negeri Islam, akan menghantarkan pada kemandirian negara Khilafah sehingga tak akan ada penjajahan, dan tak akan mampu diintervensi asing.
Ketiga, Khilafah akan mengedukasi umat, hingga umat paham bahwa kekerasan berupa teror bukan jalan untuk meraih tujuan. Ketaksetujuan terhadap penguasa, juga kritik dan nasihat bisa disampaikan dengan amar makruf nahi mungkar yang tata caranya sesuai firman Allah Swt, “Ajaklah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah (bijaksana), pelajaran (nasihat) yang baik, dan cegahlah mereka dengan cara yang baik.” (QS An-Nahl: 125)

Penguasa dalam negara Khilafah juga akan mendengarkan semua masukan dari umat dengan sebaik-baiknya. Tak ada yang namanya jalan buntu, karena penguasa mau mendengar, melihat, dan memperhatikan semua kesulitan dan keluhan rakyatnya, kemudian menyelesaikannya.

Keempat, ketika Khilafah sudah memberikan semua pelayanan kepada seluruh rakyatnya, nasihat pun sudah disampaikan, ternyata masih saja ada aksi kekerasan, sanksi tegaslah solusinya. Dalam Kitab Dirasat fil Fikril Islamy dijelaskan bahwa jika tindak kekerasan berupa penganiayaan atas badan, baik tanpa pembunuhan maupun disertai pembunuhan, Islam mewajibkan adanya qishash atau bisa dengan tebusan (diyat). (lihat QS Al Baqarah: 178)

Apabila tindak kekerasan ini berupa bughat (pembangkangan terhadap negara Khilafah dengan menggunakan senjata), Khilafah akan melakukan perundingan. Jika insaf, dibebaskan. Jika tidak, akan diperangi.

Adapun untuk tindak kekerasan berupa pembegalan di jalan (quththa’ ath-thuruq), sanksinya bisa dengan dibunuh atau disalib, atau beberapa sanksi lainnya (lihat QS Al Maidah ayat 33).

Sanksi tegas akan memberikan efek jera. Inilah cara efektif sistem sanksi dalam Islam dalam mencegah berbagai tindak kejahatan berupa kekerasan ataupun aksi teror lainnya.
Demikianlah, berbagai aksi teror dan kekerasan di tengah massa hanya bisa diselesaikan secara tuntas hanya ketika syariat Islam diterapkan secara keseluruhan oleh daulah Khilafah Islamiah. Sayang, Khilafah belum tegak hari ini, sementara banyak pihak justru menuduh ide Khilafah sebagai biang terorisme dan radikalisme. Padahal sebaliknya, justru Khilafah yang akan menghentikan berbagai aksi teror dan kekerasan. Jadi, mana yang harus kita percaya? Solusi moderasi yang ujung-ujungnya malah menyesatkan, ataukah solusi Islam dan Khilafah yang jelas-jelas bagian dari ajaran Islam yang berasal dari Allah Swt.? Wallahu a’lam bishshawab.[]

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak