Oleh Umma Kay
(Ibu Rumah Tangga, Pemerhati Masalah Umat)
Varian baru virus corona Inggris, atau yang disebut virus Kent - B.1.1.7 - sudah masuk Indonesia. Di negara-negara lain, varian baru Covid-19 terus bermunculan. Seperti varian yang diduga memicu lonjakan kasus di wilayah Amazon Brasil muncul di Minnesota. (www.kompas.com)
"Varian yang telah diidentifikasi baru-baru ini tampaknya menyebar dengan lebih mudah. Varian tersebut lebih mudah menular, yang dapat menyebabkan peningkatan jumlah kasus, dan peningkatan tekanan pada sistem kesehatan yang sudah kelebihan beban," ujar Dr. Rochelle Walensky, direktur baru dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC), dilansir CNN Kamis (11/2/2021).
Hal yang paling ditakuti oleh para ilmuwan adalah virus akan bermutasi hingga menyebabkan penyakit yang lebih parah, melewati kemampuan tes untuk mendeteksi, atau vaksinasi tidak bisa memberi perlindungan. Beberapa varian baru tampaknya memiliki perubahan yang memengaruhi respons imun, itu hanya berbeda sedikit.
Sementara pemerintah dalam hal ini disampaikan oleh Presiden mengatakan bahwa masyarakat diminta untuk tidak khawatir akan mutasi varian baru virus tersebut.
Dilansir dari cnnindonesia.com, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta masyarakat tak khawatir dengan keberadaan mutasi virus Corona B117 yang sudah terdeteksi masuk ke Indonesia. Ia mengklaim varian virus ini tak lebih berbahaya dari sebelumnya. Diketahui, varian Virus Corona B117 dibawa dua warga Karawang, Jawa Barat, yang merupakan pekerja migran Indonesia.
"Bapak, ibu, saudara-saudara sebangsa, setanah air, saya mengimbau bapak, ibu, saudara semuanya untuk tidak perlu khawatir karena ditemukannya dua kasus positif Covid-19 dengan mutasi virus dari Inggris atau B117," kata Jokowi dalam video yang diunggah kanal YouTube Sekretariat Presiden, Kamis (4/3). "Belum ada penelitian yang menunjukkan varian lebih mematikan," klaimnya.
Sungguhlah saat ini segala pemberitaan yang ada menimbulkan beragam tanggapan dari masyarakat. Sebagian semakin resah, tapi tak banyak pun yang tidak peduli dengan kondisi apapun yang terjadi.
”Seperti orang buta kehilangan tongkat” mengalami keadaan yang sangat sulit dan tidak memiliki pegangan (sandaran), inilah kondisi masyarakat saat ini. Tak tahu mesti berkiblat dan percaya kepada pemberitaan yang mana. Seolah tak habis dan tak ada penyelesaian atas ketimpangan informasi yang diterima masyarakat. Pada akhirnya masyarakat memiliki persepsi dan mengambil keputusan sendiri sesuai dengan kadar kebutuhan dan kenyaman pribadi, dan terkesan menjadi makhluk individualis. Tak heran jika rasa percaya pada pemerintah semakin terkikis, karena masyarakat semakin berada di kondisi kritis dalam segala lini kehidupan.
Sikap pemerintah dalam menangani pandemi Corona terlalu lamban, bahkan terkesan meremehkan. Terbukti sudah, saat dunia ramai-ramai melakukan berbagai upaya maksimal termasuk kebijakan lockdown, pemerintah masih membuka pintu lebar-lebar untuk para wisatawan, terutama dari Cina. Pemerintah bahkan rela membayar para buzzer dan influencer demi menarik sektor pariwisata yang diharapkan bisa menambah pundi-pundi kas negara yang menipis sejak lama. Seraya terus bersikukuh menyebut bahwa Indonesia akan aman dari Corona.
Pada faktanya, tak perlu waktu lama kasus Corona di Indonesia meningkat secara eksponensial. Bahkan, Indonesia pun langsung jadi juara dunia untuk kasus kematian sebagai dampak Corona. Jawa Barat pun bertahan di peringkat ketiga kasus Covid, hal ini menunjukkan bagaimana penanganan Covid di Jawa Barat tidaklah efektif. Pemerintah galau dan sangat gagap menghadapi kasus wabah Corona. Buruknya kualitas kepemimpinan, parahnya kondisi keuangan negara serta kuatnya ketergantungan kepada asing nampak menjadi alasan utama.
Namun, ironisnya yang selalu jadi alasan adalah kepentingan rakyat banyak. Jika Indonesia benar-benar lockdown, maka terlalu banyak risikonya. Ekonomi akan mandek. Dan ujung-ujungnya, rakyatlah yang akan menderita. Begitu katanya. Akibatnya, rakyat dibiarkan dalam ketidakpastian. Edukasi dan informasi yang kurang membuat mereka mengambil sikap yang beragam. Sosialisasi protokol kesehatan yang lamban disampaikan dan setengah-setengah ditegakkan pun tak efektif membantu langkah pencegahan.
Semua ini adalah dampak sistem hidup yang diterapkan penguasa. Mulai dari politik, ekonomi, sosial, hukum, dan lainnya yang terbukti telah sukses menjatuhkan Indonesia pada multi krisis. Sehingga anugerah kelebihan yang Allah beri, mulai dari SDM, SDA, posisi geopolitik dan geostrategis, tak berhasil membuat negeri ini kuat dan berdaya. Malah jadi sasaran empuk penjajahan.
Berbeda dengan paradigma kepemimpinan dan watak sistem Islam. Dalam Islam, kepemimpinan dinilai sebagai amanah berat yang berkonsekuensi surga dan neraka. Dia wajib menjadi pengurus dan penjaga umat. Seorang pemimpin pun dipandang seperti penggembala. Layaknya gembala, dia akan memelihara dan melindungi seluruh rakyat yang menjadi gembalaannya. Memperhatikan kebutuhannya, menjaga dari semua hal yang membahayakannya, dan menjamin kesejahteraannya hingga bisa tumbuh dan berkembang biak sebagaimana yang diharapkan.
Inilah realitas sistem Islam pernah mewujud belasan abad lamanya. Sistem yang tegak di atas landasan keimanan sangat berbeda jauh dengan sistem yang tegak di atas landasan kemanfaatan segelintir orang. Sistem Islam, betul-betul menempatkan amanah kepemimpinan selaras dengan misi penciptaan manusia dan alam semesta. Yakni, mewujudkan rahmat bagi seluruh alam.
Dan misi ini terefleksi dalam semua aturan hidup yang diterapkan, termasuk sistem ekonomi yang kukuh dan menyejahterakan. Sistem ekonomi Islam akan membuat negara punya otoritas terhadap berbagai sumber kekayaan untuk mengurus dan membahagiakan rakyatnya. Di antaranya menerapkan ketetapan Allah Swt. bahwa kekayaan alam yang melimpah adalah milik umat yang wajib dikelola oleh negara untuk dikembalikan manfaatnya kepada umat.
Bayangkan jika seluruh kekayaan alam yang ada di negeri ini dan negeri Islam lainnya diatur dengan syariat, maka umat Islam akan menjadi negara yang kuat, mandiri dan memiliki ketahanan secara politik dan ekonomi. Bukan seperti sekarang, negara malah memberikannya kepada asing. Dengan demikian, negara akan dengan mudah mewujudkan layanan kebutuhan dasar baik yang bersifat individual dan publik bagi rakyatnya, secara swadaya tanpa bergantung sedikitpun pada negara lain.
Sehingga saat negara dilanda wabah penyakit, sudah terbayang negara akan mampu mengatasinya dengan kebijakan tepat dan komprehensif. Lockdown akan mudah diterapkan sebagai bagian dari pelaksanaan syariat, tanpa khawatir penolakan, tanpa halangan egoisme kelokalan dan tanpa khawatir kekurangan banyak hal. Rakyat pun akan taat karena paham kepentingan dan merasa tenteram karena semua kebutuhannya ada dalam jaminan negara. Sementara tenaga medis akan bekerja dengan tenang karena didukung segala fasilitas yang dibutuhkan dan insentif yang sepadan dengan pengorbanan yang diberikan. Bahkan riset pun memungkinkan dengan cepat dilakukan. Hingga ditemukan obat yang tepat dan wabah pun dalam waktu cepat bisa ditaklukkan.
Inilah yang pernah terjadi di masa saat sistem Islam ditegakkan. Wabah yang terjadi bisa diatasi karena adanya peran aktif dan serius dari negara, sekaligus didukung oleh rakyat yang mentaati semua arahan-arahannya. Umat Islam pun mampu keluar dari berbagai ujian yang menimpanya dengan penanganan yang cepat dan tepat. Dengan demikian, amat jauh berbeda antara sistem sekuler yang sekarang diterapkan dengan sistem Islam. Hanya Sistem Islam yang mampu menyelesaikan kasus Covid-19. Wallahu a'lam bishshawab.
Tags
Opini