Oleh : Alin FM
Pandemi Covid 19 di Indonesia tidak terasa sudah menginjak tahun pertama. Adanya pandemi ini mengubah tatanan di segala aspek kehidupan tidak terkecuali dunia pendidikan. Dunia pendidikan pun tak luput dari efek penyebaran virus covid-19 kian tak terkendali.
Kebijakan terus gonta-ganti sebagai upaya mengatasi kekarut-marutan masalah ketidakefektivan pembelajaran peserta didik. Akan tetapi upaya tersebut tidak membuahkan hasil. Pada faktanya upaya yang diberikan seolah-olah tidak mampu meminimalisir dampak negatif yang sudah terjadi.
Ketidakefektifan pembelajaran jarak jauh (PJJ) membuat para siswa merasa bosan, jenuh, bahkan acuh tak acuh dengan segenap metode pembelajaran yang disodorkan oleh guru-guru di sekolah. Bahkan ada 34.000 anak meminta dinikahkan saja ketimbang harus sekolah dengan pembelajaran yang dirasa tidak dimengerti. Seolah-olah pernikahan itu menjadi sebuah solusi dari kejenuhan dan kebosanan yang melanda para peserta didik.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mencatat selama pandemi Covid-19 ada 34.000 ribu permohonan dispensasi pernikahan anak yang diterima pengadilan agama di Indonesia. (suara.com, 30/11/2020)
Melihat fakta di atas, Indonesia terancam oleh keadaan learning loss atau penurunan pengetahuan yang dimiliki para generasi penerus. Kejenuhan arus pendidikan dikarenakan pandemi ini menjadi penyebab penurunan pengetahuan yang menimpa generasi Z ini.
Pendidikan Kembali ke Tangan Ibu
Terus bergulirnya pembelajaran jarak jauh (PJJ) bisa jadi penyebab ketidakefektifan pembelajaran pada masa pandemi. Karena sesungguhnya yang dibutuhkan peserta didik bukan hanya persoalan tugas dan tugas saja, yang semakin ke sini bukan pengetahuan bertambah akan tetapi malah membuat beban berat bagi peserta didik meningkat. Banyak peserta didik yang merasa frustasi dengan beban tugas yang diberikan oleh guru. Sebab tugas yang diberikan tidak memberikan kenyamanan kepada peserta didik. Mereka diberi beban tugas tanpa mengerti apa yang menjadi bahan ajarnya dan hakikat ilmu yang dipelajari.
Jika diamati lebih jauh, persoalan pendidikan saat ini akan dengan mudah terselesaikan dengan Islam. Lagi-lagi Islam yang akan menjadi solusi tuntas dalam setiap problematika kehidupan ini. Kenapa demikian?
Sebab Islam jauh-jauh hari telah menawarkan konsep terbaik dalam dunia pendidikan secara mudah dan jelas. Dalam Syariat Islam, pendidikan pertama dan utama diberikan oleh seorang ibu. Syariat Islam menetapkan kedudukan utama seorang ibu menjadi madrasatul ula (pendidikan pertama) dan Ummu wa rabbatul bait ( Ibu dan pengatur rumah tamgga ). Selain itu, ibu memiliki tanggung jawab terhadap anaknya sejak dini, dimulai sejak masa kehamilan, kelahiran, pengasuhan, dan penyusuan dimana aktifitas ini merupakan hal yang utama dan mulia.
Pendidikan kembali ke tangan ibu adalah salah satu solusi bagi dunia pendidikan saat ini ketika pandemi mengalihkan tempat menuntut ilmu kepada ibu di rumah. Cara yang efektif untuk membuat anak-anak tetap bisa menuntut ilmu di masa pandemi ini akan sangat berdaya sekali jika pendidikan dikembalikan kepada kaum ibu. Sehingga ibu harus mencintai segudang ilmu termasuk ilmu yang dipelajari anak selama di sekolah. Ibu harus membimbing ilmu yang diterima anak dengan konsep aqidah Islam. Selama ilmu selalu dikaitkan kepada aqidah Islam. Maka anak akan mencintai segala macam ilmu. Karena hakikatnya ilmu akan memudahkan jalan menuju surga.
Ibu merupakan seorang figur yang akan menjadi contoh bagi anak - anaknya. Kedekatan fisik dan emosionalnya terjalin secara alamiah sejak mengandung, merupakan faktor utama yang akan menentukan kepribadian dan karakter anaknya. Oleh sebab itu, hendaknya orang tua memberikan kasih sayang kepada anaknya dan menjadi contoh positif bagi anak -anaknya dengan menunjukkan akhlak yang mulia dan menjadi perisai bagi anaknya dari pengaruh lingkungan yang buruk.
Bila anak kehilangan figur seorang ibu bisa menyebabkan anak mengalami Devripasi Maternal ( Perampasan kasih sayang ibu ). Hal ini bisa menyebabkan terjadi gangguan kedisiplinan ( Attachment disorder ) atau kegagalan pertumbuhan kejiwaan ( Failure to Thrive). Akibatnya, sang anak bisa menjadi murung, tidak ceria, dan kehilangan motivasi hidup.
Sesuai fitrahnya para ibu yang harus diam di rumah, merawat serta mendidik anak-anaknya. Saat Islam berjaya, seorang Khalifah memberikan fasilitas sedemikian rupa untuk menunjang aktivitas para ummahat agar mampu menunaikan kewajibannya. Sandang, pangan, papan, kesehatan, keamanan, dan lain-lain dijamin oleh negara agar fokus seorang ibu mendidik anak-anaknya tidak lagi terbagi dengan memikirkan kebutuhan hidup yang kian mahal.
Negara pun akan membuka lowongan pekerjaan sebesar-besarnya kepada kaum laki-laki sebagai penanggung jawab nafkah dalam memenuhi kebutuhan keluarganya. Jadi tidak ada ceritanya para ummahat ke luar rumah berganti peran dari tulang rusuk menjadi tulang punggung.
Sayangnya, alih-alih mengambil solusi yang datang dari Islam, pemerintah malah menggelontorkan dana yang begitu besar untuk Usaha Mikro Kecil-kecilan dan Menengah (UMKM). Dana itu diperuntukkan bagi kaum ibu agar bisa berdaya dengan usahanya. Tidak hanya itu, keran lowongan pekerjaan bagi kaum ibu pun lebih terbuka ketimbang untuk para ayah. Sehingga kebijakan ini memberikan dampak yang negatif bagi tatanan keluarga.
Lihatlah ibu menjadi sibuk bekerja dan mengurusi usahanya. Suami tidak berdaya karena mengganggap istri bisa berbagi peran dalam penafkahan. Anak pun menjadi urusan no.2 karena ibunya sibuk dengn usahanya.
Memanfaatkan Teknologi informasi untuk Pendidikan
Solusi lainnya bisa datang dari memanfaatkan dunia digital yang ada pada saat ini. Pemerintah seharusnya memberikan fasilitas yang maksimal berbasis teknologi informasi digital sebagai sarana bahan ajar yang menarik untuk menunjang pembelajaran para peserta didik.
Contohnya penyajian program televisi. Televisi yang menjadi tontonan keluarga sehari-hari ini bisa menjadi salah satu tempat pembelajaran anak-anak di rumah yang menyenangkan. Film-film bisa dijadikan sarana untuk menyuguhkan nilai-nilai yang sarat dengan edukasi. Seperti kartun Nussa Rara contohnya. Film yang merupakan hasil karya anak bangsa ini bisa menjadi salah satu kartun yang mendidik putra-putri Indonesia. Di tayangan ini ada pembelajaran yang efektif dan tentunya membuat anak betah di rumah. Jangan sampai anak-anak disodori film-film bernuansa percintaan dan joget-joget yang tidak ada nilai edukasinya.
Smartphone pun bisa menjadi sarana prasarana penunjang pembelajaran yang efektif. Pemerintah bisa menutup akses game online agar anak fokus dengan pelajarannya. Sebab fakta yang terjadi game online banyak mengalihkan para peserta didik untuk tidak mengindahkan tugas-tugas dari gurunya dan hanya sibuk menaikkan level dari permainan onlinenya. Begitu pula menutup akses konten pornografi yang membuat kelumpuhan otak peserta didik.
Selain itu, pemerintah dapat membuat aplikasi-aplikasi gratis / non komersial untuk menunjang pembelajaran peserta didik tanpa membuat orang tua merogoh kocek lebih untuk membayar aplikasi bagus dalam proses pembelajaran anak.
Intinya, aturan yang datang dari Allah SWT itu adalah aturan yang akan membuat manusia semakin lebih baik. Berbeda ketika aturan datang dari manusia yang akan membuat kehancuran demi kehancuran terjadi. Maka sudah saatnyalah Islam dijadikan sebagai asas dalam pengambilan kebijakan, bukan hanya di ranah spiritual melainkan dalam setiap lini kehidupan.
Khilafah satu-satunya solusi paripurna seluruh persoalan hidup manusia. Khalifah akan keoptimalan peran ibu, membuka keran penafkahan bagi para ayah, melangsungkan amar makruf nahi mungkar di tengah masyarakat, melegalisasi hukum syara', dan mengurusi sepenuhi hati urusan rakyat tanpa intervensi asing dan para pemilik modal. Sehingga dunia pendidikan tetap menggeliat walaupun dalam kondisi pandemi seperti sekarang ini. Khilafah satu-satunya solusi ancaman learning loss pada generasi penerus di masa depan.
Wallahu A'lam bis showab
Tags
Opini