Oleh : Gumaisha Syauqia Azzalfa
Diterbitkan dalam
BANJARMASINPOST.CO.ID, JAKARTA - Aturan seragam sekolah pelajar di sekolah
negeri yang diterbitkan pemerintah melalui surat keputusan bersama (SKB) tiga
menteri ternyata tidak berlaku untuk sekolah keagamaan yang ada di bawah
Kementerian Agama. Sebab, sesuai dengan materi yang diatur, SKB 3 Menteri itu
hanya berlaku di sekolah umum negeri. Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia
Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah Kemendikbud Jumeri mengatakan
SKB 3 Menteri soal seragam tidak berlaku untuk murid madrasah.
Menurut Jumeri, SKB ini sangat
proporsional dengan menempatkan aturan sesuai dengan ranahnya, sehingga SKB ini
tidak mengatur sekolah yang ada di bawah naungan Kementerian Agama seperti
madrasah. "Jadi kalau anak-anak yang sekolah di madrasah itu kan sekolah
agama dan sekolah Islam, tentu semuanya beragama Islam. SKB ini tidak mengatur
sekolah-sekolah di bawah kewenangan Kemenag," ujar Jumeri melalui siaran
daring, Kamis (11/2/2021).
SKB ini, menurut Jumeri, juga tidak
berlaku untuk sekolah-sekolah keagamaan lain di Indonesia. Jumeri mengatakan
peraturan dalam SKB ini hanya mengatur sekolah negeri maupun yang berada di
bawah naungan pemerintah daerah. "Jadi ini hanya berlaku untuk sekolah
negeri atau sekolah di bawah pemerintahan daerah, yang di bawah nauangan
Kemendikbud," tutur Jumeri. Menurutnya, SKB ini justru melindungi hak dan
kebebasan beragama sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Termasuk di dalamnya menyangkut
pemakaian atribut keagamaan menurut keyakinan masing-masing peserta didik.
"Sekali lagi ini jangan sampai ada informasi yang salah, SKB ini tidak
boleh mewajibkan dan tidak boleh melarang, melainkan memberi kesempatan
seluas-luasnya bagi peserta didik beraktivitas sesuai agama yang dianut,"
pungkas Jumeri. Seperti diketahui, Pemerintah mengeluarkan SKB 3 Menteri yang
melarang sekolah negeri maupun Pemerintah Daerah mengeluarkan aturan atau
mewajibkan siswa dan guru memakai seragam atau atribut dengan kekhususan agama.
SKB 3 Menteri tersebut ditandatangani oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Nadiem Makarim, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, dan Menteri Agama Yaqut
Cholil Qoumas.
Dilansir pada Jakarta (ANTARA) -
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat M Cholil Nafis mengemukakan bahwa
kearifan lokal tidak bisa dijadikan sebagai dalih untuk melegalkan minuman
keras (miras). "Tidak bisa atas nama kearifan lokal atau sudah lama ada,
maka dipertahankan," kata Cholil kepada wartawan di Jakarta, Senin,
menanggapi kebijakan pemerintah membuka aliran investasi untuk industri minuman
keras beralkohol di beberapa provinsi. "Saya secara pribadi menolak
terhadap investasi miras meskipun dilokalisir menjadi empat provinsi
saja," katanya.
Cholil berpendapat pembukaan
industri miras akan memberikan keuntungan kepada segelintir orang namun akan
menimbulkan kerugian besar bagi masa depan rakyat. "Saya pikir harus
dicabut kalau mendengarkan pada aspirasi rakyat, karena ini tidak menguntungkan
untuk masa depan rakyat. Mungkin untungnya bagi investasi iya, tapi mudaratnya
bagi investasi umat," kata dia. "Karena kita larang saja masih
beredar, kita cegah masih lolos, bagaimana dengan dilegalkan apalagi sampai
eceran dengan dalih empat provinsi, tapi, kan, nyebar ke provinsi lain, karena
hasil investasi tak sebanding dengan rusaknya bangsa ini," katanya.
Wakil Ketua Umum MUI Anwar Abbas
juga mengkritik kebijakan pemerintah membolehkan industri minuman keras.
"Kebijakan ini tampak sekali bahwa manusia dan bangsa ini telah dilihat
dan diposisikan oleh pemerintah dan dunia usaha sebagai objek yang bisa
dieksploitasi," kata dia. Ia memandang kebijakan pemerintah membuka aliran
investasi untuk industri miras lebih mengedepankan kepentingan pengusaha
daripada kepentingan rakyat. "Fungsinya sebagai pelindung rakyat tentu
tidaklah akan memberi izin bagi usaha-usaha yang akan merugikan dan merusak
serta akan menimbulkan kemafsadatan bagi rakyatnya," kata dia.
Menurut Peraturan Presiden Nomor 10
Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal yang diteken pada 2 Februari
2021, industri minuman beralkohol dan minuman keras beralkohol merupakan bidang usaha yang bisa diusahakan oleh semua
penanam modal yang memenuhi persyaratan. Dalam lampiran peraturan presiden yang
merupakan aturan turunan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta
Kerja itu disebutkan, penanaman modal baru untuk industri minuman keras
mengandung alkohol dan minuman mengandung alkohol bisa dilakukan di Provinsi
Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan Papua dengan memperhatikan
budaya dan kearifan setempat.
Indonesia adalah negeri mayoritas
muslim dan secara umum sebagai bangsa yang beragama, bukan bangsa ateis.
Religion state telah menjadi ikon sejak negeri ini ada. Karena itulah maka
negeri yang lekat dengan nilai-nilai agama ini tidak boleh dirusak oleh
ideologi anti agama. ideologi anti agama adalah kapitalisme sekuler dan
komunisme ateis.
Dua ideologi transnasional itu
berujung kepada paham materialism dimana materi ditempatkan sebagai esensi dan
tujuan kehidupan. Kapitalisme sekuler mengabaikan peran Tuhan dalam kehidupan,
sementara komunisme ateis tidak mempercayai eksistensi tuhan. Keduanya bertemu
kepada satu lembah pemujaan yakni materialisme.
Kedua ideologi ini jelas telah
memporak-porandakan negeri Indonesia karena manusia menjadi bengis berebut
dunia tanpa mengindahkan nilai-nilai agama dan kemanusiaan. Jika manusia telah
dikuasai oleh nafsu duniawi dan melupakan nilai agama dan kemanusiaan, maka
kehancuran kehidupan yang akan muncul.
Turunan dari kedua ideologi ini
lebih berbahaya lagi seperti kebebasan HAM dimana setiap orang bebas
berekspresi demi memuaskan nafsunya. Di bidang ekonomi, kedua ideologi ini
tidak mengenal halal haram karena berprinsip yang terpenting adalah mendapatkan
sebanyak-banyaknya materi atau keuntungan. Semua sendi agama dan moralitas akan
hancur jika suatu negara telah mengadopsi komunisme atau kapitalisme.
Investasi miras misalnya yang oleh
semua agama dilarang bahkan secara sosiologis akan menimbulkan dampak buruk
bagi masyarakat, namun karena ada kepentingan materi, maka miras dianggap
sebagai penghasil materi yang menggiurkan. Kapitalisme tidak peduli akan dampak
buruk sosial akibat miras, sebab yang dipikirkan hanya keuntungan materi
semata.
Sistem demokrasi yang berasal dari
manusia dan merupakan produk akal manusia terbukti tidak memberikan ruang bagi
pemberlakuan syariat sebagai aturan publik. Islam dikerdilkan menjadi ajaran
ritual sebagaimana agama lain, padahal Islam tidak hanya mengatur masalah
ibadah tetapi juga mengatur masalah lainnya seperti politik, ekonomi, budaya,
sosial, makanan, minuman, akhlak, termasuk pakaian.
Penolakan terhadap syariat Islam
sebenarnya bergerak dari paradigma tertentu yang menjadi landasannya. Pertama :
HAM (Hak Asasi Manusia). Pemikiran ini bersumber pada konsep kebebasan manusia.
Bebas berkeyakinan, bebas berpendapat, bebas bertingkah laku dan bebas
memiliki. Peraturan yang ada hanya berfungsi menjamin setiap orang bisa
mendapatkan kebebasannya. Kedua : kedaulatan membuat hukum di tangan manusia.
Dalam ideologi liberal, manusia berdaulat membuat hukum hingga hukum Allah pun
harus dikriminalisasi. Ketiga : Islamophobia, yakni takut terhadap penerapan
syariat Islam sebagai aturan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Syariat Islam itu berasal dari Allah
SWT yang memiliki sifat maha pengasih dan penyayang. Tidak mungkin ketika
syariat Islam diterapkan akan membahayakan manusia. Dan Syariat Islam itu juga
rahmatan lil a'lamiin memberikan kebaikan pada seluruh alam. Oleh karena itu,
syariat Islam jika diterapkan akan memberikan kebaikan pada seluruh manusia
baik muslim maupun non muslim. Begitu banyak fakta historis yang menunjukkan
kedamaian, kebaikan, kesejahteraan dan keamanan diperoleh umat manusia baik
muslim maupun non muslim ketika mereka tunduk pada syariat Islam dibawah
naungan khilafah.
Sejarahwan Will Durant menyatakan :
"para khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang
luar biasa besarnya bagi kehidupan dan usaha keras mereka. Para khalifah telah
mempersiapkan berbagai kesempatan bagi siapapun yang memerlukannya dan
meratakan kesejahteraan selama berabad-abad dalam luasan wilayah yang belum
pernah tercatatkan lagi fenomena seperti itu setelah masa mereka."
Jadi jelas, syariat Islam ketika
diterapkan telah terbukti memberikan kebaikan bagi muslim ataupun non muslim, oleh
karena itu negara sudah seharusnya menerapkan syariat Islam secara kaffah dalam
mengatur masyarakat dan bernegara, bukan syariat yang parsial. Seperti aturan
sekolah yang terkait seragam jilbab harusnya negara mendukungnya bukan malah
menggugatnya. Karena perempuan ketika keluar rumah dengan menggunakan jilbab
akan terjaga kehormatannya.
Akhir kalam, mari kita sama-sama
menerapkan syariat Islam kaffah dalam naungan khilafah agar Islam rahmatan lil
a'lamin bisa terwujud.
Wallahu a'lam