Siapa Pelindung bagi Kaum Disabilitas



Oleh: Neng Ipeh* 

Sebagaimana yang kita ketahui bahwa semua orang berhak mendapatkan pekerjaan dan kehidupan yang layak, tentu itupun termasuk orang dengan keterbatasan fisik atau penyandang disabilitas. Sayangnya di tengah ekonomi digital yang kian berkembang, belum banyak teknologi yang bersifat inklusif dan bisa melibatkan para penyandang disabilitas di dalam prosesnya.

Penyandang disabilitas hingga kini masih menghadapi sejumlah tantangan, terutama dalam mengakses pendidikan dan pekerjaan yang setara. Terbatasnya akses mengakibatnya tingginya angka kemiskinan penyandang disabilitas. Hal ini pula yang menjadi keluhan bagi penyandang disabilitas di kota Cirebon. Sehingga mereka menginginkan untuk diberi kesempatan dalam bekerja dan pemberdayaan ekonomi. (radarcirebon.com/10/03/2021)

Menurut data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), pada bulan Februari 2020 tercatat jumlah penduduk usia kerja penyandang disabilitas sebanyak 17,74 juta orang. Sementara itu yang masuk ke angkatan kerja baru ada sebanyak 7,8 juta orang. "Yang berarti tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) penyandang disabilitas hanya sekitar 44%, jauh di bawah angka TPAK nasional yang sebesar 69%. Sedangkan jumlah penyandang disabilitas yang bekerja sebanyak 7,57 juta orang dan jumlah pengangguran terbuka penyandang disabilitas sebesar 247 ribu orang dengan tingkat pengangguran terbuka (TPT) sebesar 3%," ujar Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah dalam Dialog Interaktif Ketenagakerjaan Inklusif Bersama Menteri Ketenagakerjaan RI di Jakarta, Rabu (24/2/2021). (liputan6.com/10/03/2021)

Rendahnya tingkat partisipasi angkatan kerja penyandang disabilitas menunjukkan bahwa banyak penyandang disabilitas sudah terlebih dahulu mundur dan tidak berani masuk ke dalam pasar kerja. Hal ini dipengaruhi oleh masih terbatasnya ketersediaan lapangan kerja dan diskriminasi serta stigma bagi penyandang disabilitas di dunia kerja.

Namun tak banyak yang sadar bahwa di balik masalah yang dialami difabel bukan hanya perkara fasilitas umum yang membatasi gerak, diskriminasi, sampai lapangan pekerjaan yang kurang. Lebih dalam dari itu, ada masalah kekerasan yang kerap dialami perempuan difabel.

Dalam catatan tahunan (Catahu) 2020, angka kekerasan terhadap perempuan disabilitas cenderung tetap dibanding Catahu 2019. Di 2019 tercatat 89 kasus dan di 2020 tercatat 87 kasus. Namun ada kenaikan spesifik kasus kekerasan seksual dari 69 persen di 2018 menjadi 79 persen di 2019. Meski tidak memiliki variabel situasi pandemi, tetapi Catahu 2020 memberikan gambaran kasus kekerasan yang dialami perempuan disabilitas didominasi perkosaan. Pelaku sebagian besar kasus tidak teridentifikasi korban.

Komisioner Komnas Perempuan, Bahrul Fuad mengamati bahasan kekerasan terhadap perempuan disabilitas tidak banyak diangkat. Padahal perempuan disabilitas mengalami kekerasan berlapis yakni kondisi disabilitas, gendernya sebagai perempuan ditambah situasi pandemi. "Dalam sebuah FGD Komnas Perempuan terkait kekerasan terhadap perempuan di situasi Covid-19, saya memoderatori kelompok rentan termasuk disabilitas. Kekerasan terhadap perempuan di situasi pandemi meningkat. Tidak pandemi saja tinggi, apalagi ini pandemi," katanya. (cnnindonesia.com/10/03/2021)

Jika diperhatikan, Indonesia sebenarnya telah memiliki banyak modal untuk kasus yang berkaitan dengan disabilitas. Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas (CRPD) lewat UU Nomor 19 Tahun 2011 disusul pengesahan UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. 

Selain itu juga terdapat Peraturan Pemerintah (PP) 39 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak untuk Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan. Dimana peraturan ini berisi aturan akomodasi layak dalam konteks penyelidikan, putusan dan eksekusi sehingga membuat aparat menyediakan fasilitas publik yang lebih mudah diakses disabilitas.

Berkaitan dengan kekerasan terhadap perempuan, terdapat Perma (Peraturan Mahkamah Agung) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Meski tidak secara langsung mengatur perempuan disabilitas tetapi aturan bisa jadi acuan pemenuhan hak perempuan disabilitas.

Meskipun sudah ada sederet regulasi, pada kenyataannya praktik pelaksanaan masih terbilang nihil. Sehingga bisa dikatakan sederet payung hukum itu seolah sekedar hitam di atas putih. 

Selain itu, beberapa hambatan yang dihadapi perempuan disabilitas dalam mendapatkan keadilan, yakni:

1. Keluarga dan masyarakat tidak memandang penting kekerasan yang dialami perempuan disabilitas. Anggapannya, perempuan penyandang disabilitas itu aseksual (tidak memiliki hasrat seksual). Kemudian keluarga merasa malu melapor dan pesimistis kasus bisa diselesaikan.

2. Petugas layanan dan aparat penegak hukum belum melek disabilitas dan kebutuhan-kebutuhannya.

3. Keterbatasan payung hukum mengenali berbagai kasus kekerasan seksual dan sistem pembuktiannya. Pada kaum disabilitas intelektual dan psikososial, mereka kerap diragukan ingatannya. Sehingga menganggap perlu ada sistem alternatif untuk pembuktian agar bisa diterima logika pengadilan.

4. Sistem peradilan pidana tidak terintegrasi dengan sistem pemulihan korban.

Melihat pada minimnya pemenuhan hak dan kebutuhan bagi para penyandang disabilitas ini tentu membuat kita miris. Karena biar bagaimanapun mereka juga memiliki hak yang sama untuk mendapatkan kesejahteraan dan kesempatan hidup dengan layak. Maka masihkah kita terus berharap pada sistem sekuler kapitalisme yang menjadikan mereka seolah terpinggirkan. Siapakah yang akan menjadi pelindung bagi kaum disabilitas jika ternyata dalam sistem kapitalisme kebutuhan mereka terabaikan. Tentu sudah selayaknya kita buang jauh sistem rusak ini dan menggantinya dengan sistem lain yang lebih baik.


* (aktivis BMI Community Cirebon)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak