Oleh : Ustadzah Elif Fitriah Mas'ud, SHI
Peraturan tentang minuman beralkohol atau minol sudah ada di era Soeharto, yaitu Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol. Beleid ini membagi minol dalam 3 golongan:
Golongan A yakni minol yang beretanol 1-5 persen;
golongan B dengan kandungan etanol 5-20 persen;
golongan C dengan kandungan etanol 20-55 persen.
Pasal 2 ayat 2 beleid itu menyebut minol merupakan barang yang produksi, peredaran, dan penjualannya ditetapkan sebagai barang dalam pengawasan. Produksi hanya bisa dilakukan dengan izin Menteri Perindustrian; penjualannya pun dibatasi hanya di hotel, bar, restoran, dan tempat lain yang ditetapkan gubernur. Aturan ini pun melarang produksi secara tradisional kecuali untuk keperluan masyarakat sesuai adat setempat setelah mendapat izin bupati/wali kota.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) 74 tahun 2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol. Berbeda dengan aturan sebelumnya, kali ini seluruh minuman beralkohol mulai dari golongan A sampai C ditetapkan sebagai barang dalam pengawasan.
Dengan demikian, minol golongan A yang semula dijual bebas kini turut dibatasi hanya di hotel, bar, restoran tertentu, toko bebas bea, dan tempat yang ditetapkan bupati/wali kota dan gubernur untuk DKI Jakarta.
Belum lama ini viral Presiden Joko Widodo menerbitkan (Perpres) 10/2021.
Lalu apa yang diatur dalam RUU Minuman Beralkohol saat ini? Peraturan Presiden (Perpres) 10/2021 ini mengatur investasi minuman keras di empat provinsi, yakni Bali, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Papua (02/03).
"Setelah menerima masukan-masukan dari ulama-ulama, MUI, Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan ormas-ormas lainnya, serta tokoh-tokoh agama yang lain, dan juga masukan-masukan dari provinsi dan daerah, bersama ini saya sampaikan, saya putuskan lampiran Perpres terkait pembukaan investasi baru dalam industri minuman keras yang mengandung alkohol saya nyatakan dicabut," demikian pernyataan Jokowi di Istana Merdeka Jakarta yang disiarkan dalam akun resmi Sekretariat Presiden di YouTube.(BBC News Indonesia 2/3)
Lampiran perpres itu sebelumnya mengatur pembukaan investasi baru dalam industri minuman keras di Bali, Sulawesi Utara, NTT, dan Papua. adanya pencabutan lampiran tentang investasi baru miras bukan berarti industri miras menjadi tidak ada. Hanya investasi (industri) baru yang tidak ada. Industri miras yang sudah ada, tetap berjalan. Perdagangan eceran dan kaki limanya juga tetap berjalan menurut peraturan yang sudah ada sejak era sebelumnya.
Jadi, Indonesia sejak mendeklarasikan kemerdekaannya pada tahun 1945 hingga saat ini, tidak pernah sekalipun menerbitkan UU tentang pelarangan/pengharaman minuman beralkohol, yang ada hanya pembatasan saja. meskipun telah banyak data dan laporan yang terkait dengan korban Miras
Jakarta, CNN Indonesia - Mabes Polri mengungkapkan dalam tiga tahun terakhir, ada ratusan kasus tindak pidana yang terjadi karena dipicu minuman beralkohol yang dikonsumsi pelaku di Indonesia "peredaran dan penjualan miras beralkohol ataupun miras oplosan selama tiga tahun terakhir dari tahun 2018 sampai dengan tahun 2020, data yang masuk ke kami sebanyak 1.045 kasus," ucapnya. (CNN Indonesia | Jumat, 13/11/2020)
Merdeka.com - Sembilan warga Kediri overdosis saat pesta miras oplosan, empat di antaranya tewas, Minggu (3/1). Lima orang lainnya masih menjalani perawatan. (Merdeka.com, Senin, 4 Januari 2021)
Kasubdit Laka Direktorat Penegakan Hukum Korlantas Polri Komisaris Besar Agus Suryo Nugroho menjelaskan, pada periode 2019, jumlah total kecelakaan lalu lintas sebanyak 121.641 kejadian. Data pada 2020 menunjukkan jumlah total kecelakaan 101.198 kejadian, dengan 726 kejadian atau 0,71 persen melibatkan penggunaan miras. Kecelakaan karena miras pada 2020 ini menyebabkan 201 orang tewas, 184 orang luka berat, dan 417 lainnya luka ringan. "Itu diakibatkan miras semua," kata Agus saat dihubungi CNNIndonesia.com, Senin (1/3). (CNN Indonesia | Selasa, 02/03/2021)
"Catatan kritis Komnas Perempuan akan dikaitkan dengan tingginya data kekerasan terhadap perempuan dan anak yang salah satu penyebabnya dipicu oleh minuman keras (miras)," kata Theresia kepada merdeka.com, Senin (1/3/2021). Dia menjelaskan Bali, Sulut, NTT dan Papua adalah daerah dengan catatan kekerasan terhadap perempuan dan anak yang tinggi. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)pada 2018 juga mencatat bahwa daerah tersebut alami peningkatan konsumsi miras selama 10 tahun terakhir. (liputan6.com, 1 maret 2021)
JAKARTA - Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Cholil Nafis mengatakan, sebanyak 3 juta orang meninggal di seluruh dunia akibat minuman beralkohol dan minuman keras (miras) pada 2016. Jumlah tersebut lebih banyak dibandingkan korban meninggal karena virus corona (Covid-19). Cholil membandingkan angka kematian akibat miras dengan angka kematian akibat Covid-19 secara global. Angka kematian akibat Covid-19 secara global sebanyak 2,5 juta atau 2.542.556 orang. “Orang yang mati karena miras itu di seluruh dunia sudah lebih dari 3 juta pada tahun 2016 di dalam penelitiannya. Berarti lebih banyak daripada orang yang mati karena Covid,” ungkap Cholil dalam keterangan yang diterima, Senin (1/3/2021). (Sindonews · Senin 01 Maret 2021)
Miras bukan hanya berbahaya bagi si peminum tetapi juga menjadi penyebab berbagai kejahatan lainnya, seperti KDRT, perkosaan, pembunuhan, tawuran warga, dan banyak lagi kejahatan lainnya yang bermula dari minuman haram tersebut. Maka sangatlah benar apa yang Rosulullah Sabdakan 14 abad silam bahwasanya Miras merupakan induk segala kejahatan
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اَلْخَمْرُ أُمُّ الْخَبَائِثِ، فَمَنْ شَرِبَهَا لَمْ تُقْبَلْ صَلاَتُهُ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا، فَإِنْ مَاتَ وَهِيَ فِيْ بَطْنِهِ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً.
“Khamr adalah induk dari segala kejahatan, barangsiapa meminumnya, maka shalatnya tidak diterima selama 40 hari, apabila ia mati sementara ada khamr di dalam perutnya, maka ia mati sebagaimana matinya orang Jahiliyyah.” Hasan: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 3344)], ath-Thabrani dalam al-Ausath (no. 3810).
Sungguh ironi bukan? Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim dan presiden terpilihnya pun selalu muslim ternyata tidak mampu menerbitkan hukum pengharaman minuman keras yang jelas-jelas diharamkan oleh Allah dan Rosul-Nya.
Mengapa bisa demikian? Tentu saja semua ini adalah buah dari sistem kapitalisme yang segala sesuatu selalu mempertimbangkan untung dan rugi bukan pada baik dan buruk apalagi halal dan haram. Investasi minuman keras dianggap menguntungkan maka dibuatlah perundang-undangan untuk mengesahkannya. Dianggap jika Miras dilarang akan mencegah para wisatawan datang maka dibuatlah UU hanya pembatasan dan pengawasan saja. Meskipun semua sudah faham dampak negatif dari minuman haram tersebut.
Maka, kepada siapa lagi umat Islam berharap? Hukum Allah tidak mungkin dapat diterapkan di negara sekuler yang memisahkan agama dengan kehidupan dunia, meskipun mayoritas masyarakat menginginkan UU pengharaman Miras, negara yang mengaku penganut demokrasi tetap tidak akan mengabulkan permintaan masyarakatnya, justru atas nama demokrasi negara merasa berhak melakukan apa saja ditambah lagi adanya tekanan dari para investor asing dan pengaruh pemikiran kapitalis yang sudah bercokol dalam diri mereka menjadi faktor tercerabutnya nilai-nilai Islam dalam diri mereka.
Hanya khilafahlah satu-satunya sistem yang akan menerapkan hukum2 Allah dan Rosul-Nya, yang mampu menjaga darah, harta, kehormatan dan akal seluruh manusia dibawah kepemimpinannya baik muslim ataupun nonmuslim. Khalifah akan memaksimalkan pengelolaan sumber daya alam di negaranya sehingga tidak perlu melegalkan miras sebagai sumber pemasukan negara yang jelas2 diharamkan Allah, khalifah akan menghukum orang yang memproduksi, menjual dan meminumnya dengan hukuman yang membuat jera pelakunya sehingga tidak ada lagi kejahatan yang terjadi akibat Miras. Allahu Akbar!!!
Tags
Opini