Prostitusi Anak Makin Marak; Negara harus Tegas Bertindak



Oleh: Tri Silvia* 


Beberapa hari kebelakang, masyarakat dikejutkan dengan penggerebekan salah satu hotel di kawasan Kreo Selatan, Larangan, Tangerang, Banten. Dalam penggerebekan tersebut, polisi berhasil mengamankan 15 anak di bawah umur yang kini telah dititipkan ke Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) dan Balai Rehabilitasi Sosial Anak Memerlukan Perlindungan Khusus (BRSAMPK) Handayani di bawah naungan Kementerian Sosial.

Yang mengejutkan tidak hanya tentang keterlibatan anak-anak di bawah umur, melainkan bahwa hotel tersebut adalah milik seorang artis berinisial CA, yang juga turut diamankan beserta pengelola hotel dan mucikarinya. CA berdalih melakukan hal tersebut untuk menutup biaya operasional hotel selama masa pandemi Covid-19. Adapun sebelum pandemi, hotel bintang 2 itu dulunya merupakan tempat kos. (CNN Indonesia, 19/3/2021)

Tak hanya terjadi di Tangerang, aktivitas prostitusi juga terjadi di berbagai wilayah negeri ini. Apalagi dalam kondisi pandemi dimana banyak orang memerlukan uang lebih untuk bisa bertahan hidup. Alhasil, aktivitas prostitusi pun kian marak terjadi. Dan dari sekian banyaknya aktivitas prostitusi, sebagian besar telah diketahui oleh masyarakat. Hal tersebut lantas menuai penolakan serta kemarahan di dalamnya. Namun sayang, hal itu nyatanya tidak bisa merubah apapun, praktik prostitusi tetap saja melenggang tanpa segan. Sebaliknya masyarakat terus saja harus menanggung kemarahan dan kegelisahan atas maksiat yang terjadi di lingkungannya.

Disinilah perlunya ketegasan negara dalam menghadapi kasus-kasus tersebut. Pasalnya hanya dengan aturan negara, sebuah kemaksiatan atau pelanggaran apapun dapat dientaskan dengan baik. Sehingga masyarakat bisa merasa aman dan tidak lagi khawatir untuk berada di dalam lingkungannya sendiri.

Namun demikian fakta berbicara lain, dalam beberapa kasus penggerebekan, aksi tebang pilih masih saja terjadi. Selain itu, banyak pula opini yang berkembang jika aktivitas tersebut justru dilindungi oleh beberapa oknum pihak berwajib. Minimnya komitmen pengawasan negara dalam menjaga masyarakat dari aktivitas maksiat sungguh tampak dalam kasus tersebut. Bahkan yang lebih parah, aktivitas maksiat terkadang dijadikan sesuatu dengan daya jual dan keuntungan. Sehingga, aktivitas tersebut justru dijaga dan terus disuburkan tanpa melihat lagi keresahan yang ada di tengah masyarakat.

Oleh karena itu, ketegasan negara tidaklah cukup untuk mengentaskan kemaksiatan yang ada. Sebab jikalaupun negara siap bertindak tegas, tetapi masih menggunakan sistem kapitalis yang selalu mementingkan keuntungan. Maka harapan masyarakat untuk terbebas dari rasa khawatir atas perilaku maksiat yang terjadi, hanya akan menjadi angan-angan belaka.

Perlu adanya perubahan mendasar untuk hentikan segala aktivitas maksiat, khususnya prostitusi anak. Adanya sebuah aturan yang dengan tegas memisahkan antara benar dan salah, yang dibolehkan dan yang tidak diperbolehkan oleh hukum syariat Islam tanpa adanya embel-embel bisnis atau keuntungan di dalamnya. Dan hal semacam itu tidak mungkin bisa terlaksana jika negeri ini masih menggunakan sistem kapitalis. Satu-satunya hal yang harus dilakukan adalah menggantinya dengan sistem Islam yang diterapkan secara keseluruhan.

Wallahu A'lam bis Shawwab

*(Pemerhati Sosial)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak