Oleh: Andini
Miris sekaligus mengejutkan ketika temuan dalam hasil survei suara anak muda tentang isu-isu sosial politik bangsa pada Maret 2021 menyatakan hanya 39 persen anak muda yang merasa keberatan jika orang non-Muslim menjadi presiden. Sedangkan anak muda yang tidak keberatan 27 persen. (Republika.co.id, 21/03/2021)
Padahal di dalam Islam, tampuk kepemimpinan tidak boleh diserahkan kepada kaum kafir. Salah satu syarat wajib menjadi pemimpin adalah dia harus seorang laki-laki muslim. Tetapi pastilah bukan tanpa sebab kenapa para pemuda akhirnya merasa dipimpin non muslim pun tak masalah.
Bahkan sebanyak 64,7 persen anak muda menilai partai politik atau politisi di Indonesia tidak terlalu baik dalam mewakili aspirasi masyarakat. (Republika.co.id, 21/03/2021)
Sebetulnya hal yang wajar ketika sebagian pemuda tidak percaya pada politik, bahkan enggan untuk mencari tahu lebih banyak apa dan bagaimana berpolitik itu. Politik tidak lagi mempertimbangkan aspirasi. Fakta yang ada di depan mata kita justru menunjukan politik itu hanya ajang untuk memenuhi kebutuhan pribadi para politisi.
Karena kita seringkali disuguhkan pribadi-pribadi yang manis di bibir, lain di hati. Orangnya bisa saja berpeci, lisannya bisa jadi Islami, tapi dalam kepalanya politik hanya sebatas potongan kue yang harus dibagi-bagi.
Dari fakta di lapangan tadi, munculah kalimat-kalimat yang seolah bijak padahal sesat.
"Nggak apa-apa bukan muslim, yang penting nggak korupsi." "Nggak apa-apa bukan muslim yang mimpin, yang penting baik." Nah, bingung kan.
Jika hari ini kita melihat banyak politikus muda besutan rezim yang terjerat kasus suap, penggelapan dana, hingga skandal ini itu, maka dalam sejarah Islam kita bisa melihat hal yang amat berbeda. Sejarah Islam dipenuhi politikus muda yang tidak hanya cerdas dan berani, tetapi juga shaleh dan menghamba pada Ilahi.
Politik dalam persepsi kapitalisme jelas sangat berbeda dengan politik dalam persepsi Islam. Jika hari ini kapitalisme menghasilkan politik kotor berbau busuk yang merusak segala tatanan kehidupan, politik Islam justru berhasil menggapai masa kegemilangan. Yang mana wangi kejayaannya meluas hingga dua pertiga dunia. Masyaallah.
Semua kesuksesan itu tidak muncul begitu saja. Pembinaan untuk membentuk kepribadiannya dimulai sejak balita. Keluarganya menjadi madrasah pertama.
Karena itu, di era khilafah bermunculan pemuda yang sudah mampu memberikan fatwa. Iyash bin Mu’awiyah, Muhammad bin Idris as-Syafii, misalnya, sudah bisa memberikan fatwa saat usianya belum genap 15 tahun.
Selain cerdas, mereka juga dibiasakan oleh orang tua-orang tua mereka untuk ke mengerjakan shalat, berpuasa, berzakat, infaq hingga berjihad. Seperti sosok Abdullah bin Zubair yang dikenal sebagai ksatria pemberani, putra dari Zubair bin al-Awwam dan Asma’ binti Abu Bakar. Abdullah bin Zubair sudah diajak berperang oleh ayahnya saat usianya masih 8 tahun. Dia dibonceng di belakang ayahnya di atas kuda yang sama.
Maka dari itu, sangat penting untuk kita, para pemuda memahami hakikat politik dalam kacamata Islam. Karena dengan pemahaman yang lurus inilah perjuangan kita menemukan arah yang jelas. Arah menuju kebangkitan Islam. Bukan kebangkitan samar-samar.
Allah SWT berfirman, “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan-Ku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS An Nur: 55)
Harus dipahami juga kunci kebangkitan umat itu adalah ideologi Islam.
Berikutnya, pemuda harus menyatukan visinya dalam sebuah bingkai perjuangan menegakkan penerapan syariat Islam secara kaffah dalam institusi kenegaraan yang paling diridai Allah, yakni Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah.
Tags
Opini