Oleh : Ressa Ristia Nur Aidah
Pemerintah membuka keran impor garam sebanyak 3,07 juta ton di tahun 2021. Keputusan ini diambil dalam rapat Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian pada 25 Januari 2021.
Impor garam di tahun ini melanjutkan tren kenaikan setidaknya dalam 5 tahun terakhir. Jika terealisasi seluruhnya, impor 2021 ini juga akan menjadi yang terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Menurut data UN Comtrade, impor garam terbesar RI pernah dicapai pada 2018 sebanyak 2,839 juta ton dan 2011 2,835 juta ton. [tirto.id]
Ketua Asosiasi Petani Garam Indonesia (APGI) Jakfar Sodikin menyayangkan keputusan impor garam yang terus berlanjut, apalagi disertai pembatalan target swasembada. APGI menilai impor garam akan semakin membuat petambak terpuruk karena harga garam di tingkat petani akan semakin tertekan seiring membanjirnya pasokan garam impor.
Belum lagi masuknya garam impor akan membuat pengusaha semakin enggan menyerap garam petani. Di awal Januari 2021 saja, ada sisa 800 ribu ton stok garam petani yang tidak terserap dari tahun-tahun sebelumnya karena pemerintah lebih cenderung mengandalkan impor.
Ketika impor mulai dibiarkan tak terkendali tanpa memprioritaskan garam dalam negeri, produksi pun ikut turun. Dari 2,85 juta ton (2019) menjadi 1,36 juta ton (2020). Situasi ini juga diperburuk oleh kendala cuaca La Nina.
Keputusan impor garam sesuai UU Cipta Kerja membawa malapetaka bagi rakyatnya sendiri khususnya petani garam. Panen garam melimpah, tapi tak laku di pasaran. Inikah cara mematikan petani secara perlahan?
Alih-alih membuat kebijakan sistematis memenuhi kebutuhan garam industri, melalui keputusan impor garam (sesuai UU Cipta Kerja) pemerintah justru membatalkan target swasembada dan mengabaikan jeritan petambak garam akibat panen melimpah dan tidak lakunya garam local atau sangat rendahnya harga jual.
Untuk mewujudkan swasembada, seharusnya Negara melakukan beberapa hal: Pertama, optimalisasi produksi, yaitu mengoptimalkan seluruh potensi lahan untuk melakukan usaha penambakan garam berkelanjutan yang dapat menghasilkan garam berkualitas. Di sinilah peran berbagai aplikasi sains dan teknologi, mulai dari mencari lahan yang optimal untuk memproduksi garam dan meningkatkan kualitasnya bukan hanya kuantitas.
Kedua, mendorong pemerintah untuk berpihak kepada petambak garam. Ketiga, manajemen logistik, yang mana masalah data yang karut-marut berpengaruh dalam mengetahui pasokan garam yang dimiliki. Pemerintah harus memperbanyak cadangan saat produksi berlimpah dan mendistribusikannya secara selektif pada saat ketersediaan mulai berkurang. Di sini teknologi pascapanen menjadi penting.
Keempat, prediksi iklim, yaitu analisis kemungkinan terjadinya perubahan iklim dan cuaca ekstrem dengan mempelajari fenomena alam, seperti curah hujan, kelembapan udara, penguapan air permukaan, serta intensitas sinar matahari yang diterima bumi. Hal itu pula yang memengaruhi keberhasilan panen garam.
Kelima, antisipasi terhadap kemungkinan kondisi kurangnya kebutuhan atas garam dalam negeri yang disebabkan kondisi alam dan lingkungan. Jika semua langkah-langkah ini diperhatikan dan dilakukan serius oleh pemerintah, petambak garam tak akan terus terpuruk, kebutuhan garam bagi industri tercukupi.
Dalam Islam, pemenuhan kebutuhan rakyat dijamin. Setiap kebijakannya, jelas tidak akan merugikan rakyat. Kebijakan itu antara lain, pertama, Khilafah memastikan agar produksi domestik negara Khilafah tinggi dan bisa memenuhi kebutuhan seluruh rakyatnya.
Khilafah menetapkan larangan menyewakan lahan pertanian atau membiarkan lahan pertanian tidak dikelola lebih dari tiga tahun. Negara juga melarang praktik riba dalam perdagangan karena bisa merusak perekonomian. Negara akan memastikan industri kepemilikan umum tidak dikelola swasta, baik domestik ataupun asing.
Kedua, negara turut mengawasi harga barang agar tidak bebas naik dan turun yang bisa memengaruhi daya beli masyarakat. Sehingga, petani, penjual, dan pembeli tidak mengalami kerugian dan seluruh kebutuhan pokoknya terpenuhi.
Inilah cara yang ditempuh Khilafah untuk menyejahterakan rakyat dengan mekanisme ekonomi yang jelas dan menjamin terpenuhinya kebutuhan rakyat. Hal ini tak lain karena penerapan sistem ekonomi Islam bukan penerapan ekonomi kapitalisme yang hanya memikirkan keuntungan para kapitalis dan kepentingan penguasa. Wallahu A’lam bi Ash-shawab
Tags
Opini