Oleh : Aan Dwi Astuti
Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme (RAN PE) berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme diterbitkan oleh Presiden Joko Widodo. Perpres tersebut ditandatangani Jokowi pada 6 Januari 2021 dan telah diundangkan pada 7 Januari 2021.
Pembentukan RAN PE disebut untuk merespon tumbuh kembang ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah terorisme.
Adapun penjelasan ekstremisme dalam Perpres Nomor 7 Tahun 2021 yaitu keyakinan dan atau tindakan yang menggunakan cara-cara kekerasan atau ancaman kekerasan ekstrem dengan tujuan mendukung atau melakukan aksi terorisme.
Menurut pengamat terorisme, Ridlwan Habib, definisi itu multitafsir dan terlalu luas sehingga sulit dipahami. Sementara mayoritas masyarakat saat ini memahami ekstremis identik dengan ciri-ciri orang dengan pakaian tertentu.(bbc.com, 20/01/2021)
Selain itu, isi lampiran Perpres RAN PE dalam Pasal 2 yaitu sasaran umum RAN PE adalah untuk meningkatkan pelindungan hak atas rasa aman warga negara dari Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme, sebagai bagian dari pelaksanaan kewajiban negara terhadap hak asasi manusia dalam rangka memelihara stabilitas keamanan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. ( detik.com, 17/01/2021)
Dalam Perpres juga dijelaskan bahwa masyarakat dibolehkan untuk melapor ke polisi jika mencurigai adanya individu atau kelompok yang dicurigai sebagai ekstremis. Ajakan “melaporkan” terduga ekstrimisme yang disuarakan pemerintah justru akan membuat kegaduhan ditengah masyarakat. Alih-alih menghasilkan kedamaian, justru antarwarga akan saling mencurigai. Bahkan dapat berpotensi terjadinya politik adu domba antar anggota masyarakat.
Sistem sekularisme yang mana memisahkan agama dari kehidupan
di negeri ini, membuat mayoritas masyarakat saat ini memahami ekstremis identik dengan ciri-ciri orang dengan pakaian tertentu. Selama ini ekstrimisme selalu dituduhkan pada umat Islam dan ajarannya. Potensi yang akan terjadi adalah pemahaman yang salah terhadap Islam. Sehingga sesama umat muslim akan saling mencurigai satu sama lainnya.
Dalam Islam perbuatan mencurigai antar anggota masyarakat dilarang dengan tegas. Salah satu hal yang harus dihindari yaitu, saling mencurigai antara umat muslim, bahkan negara yang mencurigai rakyatnya sendiri karena bertentangan dengan syariat Islam. Dalam fikih Islam, mencurigai, memata-matai, dan mencari-cari keburukan seorang muslim disebut tajassus. Penegasan larangan tajassus terdapat dalam firman Allah SWT yang artinya,
“Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah kebanyakan berprasangka (kecurigaan), karena sebagian dari tindakan berprasangka itu dosa. Dan janganlah kamu melakukan tajassus (mencari-cari keburukan orang).” (QS Al-Hujurat [49]: 12)
Rasulullah Saw juga menegaskan larangan tajassus dalam hadits beliau. Rasulullah Saw bersabda: “Berhati-hatilah kalian dari tindakan berprasangka buruk, karena prasangka buruk adalah sedusta-dusta ucapan. Janganlah kalian saling mencari berita kejelekan orang lain, saling memata-matai, saling mendengki, saling membelakangi, dan saling membenci. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.”
Betapa sempurnanya Islam bahkan larangan tajassus saja diatur dengan tegas. Maka janganlah melakukan perbuatan tajassus yang dapat menimbulkan adu domba pada masyarakat. Solusi terbaik adalah dapat menyelesaikan masalah tanpa menimbulkan masalah baru. Hal itu bisa terwujud jika dilakukan penerapkan aturan Islam secara menyeluruh. Maka segala permasalahan diberbagai sendi kehidupan baik individu, masyarakat hingga negara akan terjawab, karena hanya Islamlah merupakan agama yang memiliki seluruh aturan dalam aspek kehidupan.
Tags
Opini