Oleh: Sylvi Najma
Breaking news pukul 13.20 WIB Selasa, 2 Maret 2021 mengabarkan bahwa Presiden Joko Widodo telah mencabut Perpres izin investasi Miras untuk wilayah Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara dan Papua. Keputusan diambil setelah mendengar masukan dari beberapa kelompok masyarakat, seperti ulama, MUI, NU, dan organisasi masyarakat (ormas) lainnya. Mendongkrak pertumbuhan ekonomi lagi-lagi menjadi alasan pemerintah dalam mengeluarkan keputusan yang lebih banyak mengandung mudharat daripada manfaatnya yg hanya recehan rupiah. Di sosial media sendiri gerakan kontra terus bergulir. Beberapa hastag yang digunakan untuk menyuarakan ketidaksetujuan dibukanya kran investasi miras diantaranya #miraspangkalsejutamaksiat, #tolaklegalitasmiras dan #Rezimperusakmoral.
Miras terbukti menjadi penyumbang terjadinya tindakan kriminal seperti pencurian, perampokan, pemerkosaan dan sebagainya (Humas Mabes Polri, 14/11/2020). Polri, sejak 2018 telah menangani 223 kasus miras. Hal ini tentunya tidak hanya terjadi di Indonesia tapi di seluruh dunia. Dikutip dari WHO, Konsumsi alkohol menjadi penyebab atas lebih dari 200 kondisi penyakit dan cedera juga termasuk penyebab lebih dari 3 juta kematian setiap tahunnya. Miras menyebabkan 13,5% dari total kematian dan cedera pada kelompok usia produktif 20-39 tahun.
Dalam islam, Allah telah menegaskan haramnya miras. “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan Syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maidah : 90).
Dan Rasulullah pula telah menyatakan bahwa Miras adalah Ummul Khobaits, induk dari segala keburukan. “Rasulullah ﷺ bersabda, “Khamr itu adalah induk keburukan (Ummul Khobaits) dan barangsiapa meminumnya maka Allah tidak menerima shalatnya 40 hari. Maka apabila ia mati sedang Khamr itu ada di dalam perutnya maka ia mati dalam keadaan bangkai jahiliyah.” (HR Ath-Thabrani, Ad-Daraquthni dan lainnya).
Upaya pemerintah untuk membuka kran investasi miras tentu bertentangan dengan hukum Allah dan Rasul-Nya. Dengan adanya investasi miras, meskipun hanya di wilayah tertentu di Indonesia tentu akan berdampak pada makin tingginya produksi miras sehingga makin mudah orang mendapatkan miras karena jumlahnya yang banyak juga harga yang makin terjangkau. Kita tentu tak mau kemudahan akses pada miras menjadi jalan makin meluasnya tindakan kejahatan dan meningkatnya cidera serta kematian yang disebabkan oleh konsumsi miras.
Pencabutan Perpres Miras oleh Presiden tentu menjadi penenang bagi kegaduhan pro dan kontra di masyarakat. Apalagi melihat keputusan tersebut diambil dengan mempertimbangkan masukan tokoh masyarakat dan agama. Namun, di balik itu semua, umat jadi bisa melihat di mana letak pertimbangan dalam pengambilan keputusan oleh pemerintah. Dengan sedemikian rupanya pemerintah sampai mengeluarkan Perpres izin investasi miras. Sudah barang tentu suara yang didengar pertama atau bahkan utama adalah suara para pemilik modal, khususnya pemilik modal dalam industri miras. Sampai-sampai ada upaya mencampuradukkan yang Haq dengan yang bathil dengan dalih kemaslahatan.
Ditambah lagi hukum tentang miras tidak bisa dipisahkan dari agama islam sebagai agama mayoritas di Indonesia. Dikeluarkannya Perpres tanpa lebih dulu meminta pendapat pada tokoh agama dan hanya melihat faktor pertumbuhan ekonomi membuktikan bahwa pemerintah secara terang-terangan menunjukkan penerapan sekularisme dalam mengambil keputusan bagi rakyatnya. Suara umat hanya dipertimbangkan jika ada kegaduhan yang muncul dan merugikan pihak serta “wajah” pemerintah di depan seluruh rakyat.
Bahaya sekularisme tentu bukan hal yang bisa diabaikan. Kehidupan tanpa dilandaskan dan diatur dengan hukum agama maka akan menyebabkan berbagai kemudharatan, kekacauan bahkan kehancuran. Kita tentunya tidak mau melihat bangsa ini hancur karena kecerobohan mengabaikan aturan Allah hanya demi meraih kepentingan duniawi yang tidak seberapa.
Jika alasannya adalah untuk mendongkrak perekonomian negara, maka sesungguhnya banyak hal yang bisa dilakukan. Bahkan tata cara secara terperinci telah Allah atur dalam hukum-hukum islam. Mulai dari bagaimana membentuk negara, mengelola sumber daya alam dan sumber daya manusia, termasuk memilih apa yang boleh dan tidak boleh diproduksi juga mana sektor yang bisa dilakukan dengan kerja sama dengan pihak asing di luar islam dan mana yang tidak. Hanya dengan penerapan islam yang sempurna kelak negeri ini akan menjadi berlimpah keberkahan dan mampu menekan berbagai ancaman bahaya kehancuran baik dari dalam maupun luar. Wallahu’alam bi showwab.