Oleh: Ayu Susanti, S.Pd
Pernikahan dini, fenomena yang mungkin masih tabu terjadi di negeri ini. Terkadang orang-orang masih menganggap sebelah mata jikalau ada orangtua yang menikahkan anaknya saat usia dini. Namun beberapa saat ini ada sebuah fenomena para orangtua berbondong-bondong menikahkan anaknya.
Sekitar 64.000 anak perempuan Indonesia di bawah umur dikawinkan pada masa pandemi tahun 2020 lalu, menurut data Komnas Perempuan. (https://www.voaindonesia.com/, 11/03/21). Tentu saat ada fakta tersebut, ada yang bereaksi dan merespon bahwa pernikahan dini ini harus segera ditanggulangi.
Sejatinya, pernikahan di Indonesia telah ditentukan batas bawah usianya baik perempuan dan laki-laki pada UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan. Namun, fenomena pernikahan dini itu masih terjadi dengan syarat ada dispensasi atau keringanan berkaitan dengan adat dan keyakinan atau agama. Atas dasar itu, Ketua pengurus asosiasi lembaga bantuan hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Nursyahbani Katjasungkana mengatakan persoalan dispensasi atau keringanan batas minimal usia pernikahan yang diberikan Kantor Urusan Agama (KUA) harus diusut.
"Karena orang tua setuju dan KUA memberikan dispensasi, saya kira soal dispensasi oleh KUA ini mesti diusut betul," kata Nursyahbani dalam Konferensi Pers Respons Terhadap Kasus Promosi Perkawinan Anak, Kamis (11/2) yang digelar secara virtual. Soal dispensasi untuk pernikahan dini itu, berdasarkan data yang ia pegang dari sejumlah wilayah jumlahnya ada ratusan dispensasi yang diberikan setidaknya dalam kurun waktu satu tahun. (https://www.cnnindonesia.com/, 13/02/2021).
Di negeri yang masih menerapkan aturan sekulerisme, pemisahan agama dari kehidupan, mungkin fenomena ini menjadi suatu masalah yang cukup besar dan harus diselesaikan. Mengapa demikian? Karena hal ini cukup kompleks. Anak-anak yang dididik oleh sekulerisme sebagian besar berorientasi materi. Karena landasan sekulerisme dalam memandang sesuatu selalu disandarkan dengan materi.
Disamping itu azas manfaat menjadi bumbu yang selalu ingin diraih oleh seseorang dalam sistem ini. Kematangan berpikir anak-anak, remaja dan dewasa tidak begitu diasah. Sehingga pola pikir dan pola sikap cenderung mengikuti hawa nafsu belaka. Akhirnya hal ini cukup berpengaruh pada penyelesaian masalah dalam kehidupan. Mental yang terbentuk adalah mental yang tidak siap dan cenderung putus asa dan gampang menyerah saat dihadapkan dengan realita dan masalah yang ada. Sehingga saat seseorang memutuskan untuk menikah di usia dini, maka hal ini menjadi problem yang cukup menakutkan.
Mengapa tidak? Karena saat seseorang menikah tentu akan dihadapkan oleh berbagai macam problematika yang cukup besar. Dan saat seseorang dikatakan belum matang, maka yang akan terjadi bukan pernikahan yang penuh kebahagiaan tapi penuh dengan penderitaan bahkan lebih parahnya akan terjadi perceraian.
Sekulerisme memang cukup berhasil menjadikan generasi muslimin diperbudak oleh dunia dan menghamba hawa nafsu. Sehingga kematangan berpikir, tujuan hidup dan landasan dalam berbuat tidak lagi menggunakan Islam sebagai standar.
Jika melihat dari fenomena diatas, maka wajar jika pernikahan dini menjadi sesuatu hal yang harus diusut dan diurusi bahkan membatasi usia pernikahan yang dianggap mampu.
Berbeda halnya dengan Islam. Islam adalah agama yang sempurna. Allah menurunkan Islam sebagai aturan hidup untuk mengatur kehidupan manusia agar bisa selamat dunia dan akhirat.
Dalam Islam semuanya diatur termasuk dalam memahami pernikahan usia dini.
Menikah usia dini tentu bukanlah menjadi suatu hal yang besar. Selama itu sesuai dengan syarat syah pernikahan ataupun rukun nikah maka diperbolehkan. Berkaitan dengan kematangan, tentu dalam Islam sangat ditopang dengan sistem hidup yang lain yakni pola pendidikan yang diberikan oleh para orangtua dan negara kepada rakyatnya.
Tentu dalam Islam, generasi dibentuk kepribadiannya agar sesuai Islam. Memiliki pola pikir dan pola sikap sesuai Islam. Sehingga dia memiliki pegangan dan rambu-rambu dalam berbuat dan menyelesaikan masalah. Generasi yang lahir adalah generasi yang berkualitas, memiliki kematangan berpikir dan mental yang kuat dalam menghadapi kenyataan hidup dan berbagai permasalahan yang ada. Pendidikan yang diberikan oleh negara pun bertujuan untuk membentuk kepribadian Islam yang tangguh dan tak gampang putus asa, termasuk akan siap dalam menghadapi berbagai problematika pernikahan.
Oleh karena itu, fokus masalah yang ada bukan hanya sebatas mengurusi pernikahan dini. Namun sistem sekulerisme yang sudah mendarah daging di benak ummat yang harus segera diselesaikan dan kembali kepada sistem Islam yang menyeluruh. Karena akar masalah selama ini disebabkan oleh penerapan sistem sekulerisme yang rusak dan merusak.
Dengan demikian, kita selaku umat Islam harus kembali kepada aturan Islam agar selamat dunia dan akhirat, serta Allah meridhoi kita.
Wallahu’alam bi-showab.
Tags
Opini