Oleh: Yuyun Rumiwati
Kemiskinan terjadi dimana-mana. Tidak sekedar di negara dunia ketiga. Bahkan di negeri yang kategori maju atau adidaya. Tak lepas dari jurang lebar antara si kaya dan di miskin. Di satu sisi ada kelompok yang bergelimang harta, dengan segala koleksi aksesorisnya. Di sisi lain, kesulitan mengais pemasukan untuk mencukupi nafkah dan kebutuhan keluarga.
Namun, lagi-lagi pernyataan bahwa pernikahan dini sebagai salah satu pemicu kemiskinan antar generasi masih hangat terdengar di telinga. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Bintang Puspayoga mengatakan perkawinan anak adalah salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terhadap anak. Dampak perkawinan anak akan memunculkan kemiskinan antargenerasi. (republika.com, 18/3/2019)
Lagi-lagi pernikahan dini dijadikan alasan kemiskinan. Hingga diambilkan kebijakan pendewasaan usia pernikahan sebagai langkah meningkatkan kualitas SDM.
Menyikap pernyataan menteri di atas ada beberapa catatan penting yang harus diperhatikan:
Pertama: Nikah dini menjadi kambing hitam atas masalah negeri.
Upaya masif dengan menjadikan pernikahan dini seolah akar masalah anak adalah lahir dari cara pandang pragmatis dan dangkal. Mengapa penyebab maraknya pernikahan dini tidak dikulik lebih mendalam?
Berdasarkan kasus di beberapa kota, pernikahan dini terjadi salah satunya karena kekhawatiran orang tua, jika anaknya hamil di luar nikah. Dari sini kita cermati lebih dalam. Kenapa kasus pergaulan bebas meluas? Tentu bukan semata kurangnya pengawalan orang tua. Namun, banyak peluang pemicu pergaulan bebas ini. Mulai dari tontonan, tempat-tempat yang memberikan fasilitas nyaman bagi anak-anak untuk _termutsir_ (terpancing) pergaulan bebas masih cukup luas.
Kedua: Ada upaya sistematis untuk meliberalisasi generasi
Lagi-lagi alasan para aktivis gender dalam rangka memuluskan programnya. Salah satunya mereka menjadikan kasus pernikahan dini memunculkan kekerasan terhadap anak. Menghilangkan hak-hak anak terus dimasivkan. Sedang kasus pergaulan bebas akibat derasnya budaya Liberal tidak pernah diungkap.
Bahkan, kampanye untuk menyukseskan agendanya. Ternyata tidak cukup dengan lembaga-lembaga mereka. Mereka terus merangsek pemerintah bahkan MUI untuk memuluskan targetnya. Jika melalui pengesahan RUU PKS mereka mengalami kesulitan. Maka digandeng lembaga Islam dan 8 menteri untuk bersama menyukseskan pendewasaan usia pernikahan.
Ketiga: Islam satu-satunya solusi atas segala permasalahan.
Kasus yang menimpa anak dan perempuan bukanlah masalah terpisah dari sistem yang diterapkan saat ini. Maka, mencari solusi tambal sulam ala sekulerisme hanya memperlama penderitaan anak, perempuan dan umat pada umumnya.
Terlebih jika kita dalami dengan jujur, segala tawaran solusi berbasis gender ujung-ujungnya adalah menjauhkan umat dari keterikatan terhadap agamanya. Umat diajak berfikir dan bersikap bebas atas nama kesetaraan dan pemberdayaan.
Siapa yang paling teruntungksn dari program pendewasaan pernikahan ini sejatinya adalah para kapital. Umat dengan usia produktivitasnya didorong untuk berkontribusi dalam dunia kerja. Terlebih perempuan, dengan potensinya objek pekerja murah.
Semoga Allah melindungi umat dari segala program dan kebijakan ala barat yang semakin menjauhkan dari jalan Allah yang sesuai fitrah dan masuk Akal.
Tags
Opini