Oleh Rina Tresna Sari, S.Pd.I
Pendidik Generasi Khoiru Ummah dan Member AMK
“Hanya ketika pohon terakhir telah mati, sungai terakhir telah teracuni dan ikan terakhir telah tertangkap, maka baru kita akan menyadari bahwa kita tidak bisa memakan uang.”
(Eric Weiner)
Negeri zamrud khatulistiwa, yang merupakan paru-parunya dunia ini,, seolah sedang menghancurkan dirinya sendiri karena ulah “tangan” para investor dan pembuat kebijakan serta ekstraksi sumber daya alam (SDA) yang eksploitatif dan seringkali menimbulkan fenomena histeristis. Dimana dampak kejadiannya berlangsung lama meskipun penyebabnya sudah diatasi.
Tahun 2012, Deputi Direktur Konservasi WWF Indonesia, Budi Wardhana, mengingatkan bahwa berdasarkan kajian jejak ekologis, Indonesia akan mengalami defisit ekologis pada tahun 2016. “Artinya, sejak tahun itu, kita sudah memakai SDA yang seharusnya dinikmati anak cucu kita,” kata Budi Wardhana saat lokakarya “Membangun Ekonomi Hijau Berbasis Masyarakat di Wilayah Heart of Borneo” di Pontianak (04/12).
Indonesia mengalami defisit ekologi sebanyak 42%, berdasarkan Data Global Footprint Network tahun 2020. Angka ini menunjukkan bahwa daya dukung alam akan terus berkurang jika konsumsi terhadap sumber daya lebih tinggi daripada yang saat ini tersedia (11/02).
Dari tahun 2012 sebenarnya, Konservasi WWF Indonesia telah mengingatkan bahwa Indonesia akan mengalami defisit ekologis. Rentang waktu 2012 sampai 2020, perlu dipertanyakan tindakan preventif apa yang sudah dilakukan oleh para pembuat kebijakan di Indonesia saat alarm alam telah berbunyi.
Beberapa tahun lalu, Greenpeace pernah menobatkan Indonesia sebagai “Penghancur Hutan Tercepat di Dunia” dan masuk dalam Guinness Book of World Record. Hal itu dilakukan setelah Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) merilis data bahwa antara rentang waktu tahun 2000 sampai 2005 telah terjadi degradasi hutan di Indonesia dengan laju deforestasi rata-rata 1,871 juta hektare tiap tahun.
Tidak terbayangkan, hampir 20 tahun yang lalu telah terjadi deforestasi dan degradasi hutan yang masif dan ekstraktif selaju itu. Lalu bagaimana kabarnya dengan deforestasi dan degradasi hutan hari ini ? Sepertinya, “panen bencana” telah menjawabnya.
Banyak faktor yang menjadi pemicu terjadinya kerusakan masif pada alam. Mulai dari pengambilan kebijakan dalam pemberian izin kepada korporasi, illegal logging, eksplorasi tambang dan alih fungsi hutan yang tidak terukur serta polusi dari limbah pabrik yang mencemari tanah, air, dan udara.
“Yang menjadikan SDA terasa kurang adalah keserakahan dan yang menjadikannya terasa cukup adalah keberkahan.”
Dalam pandangan Islam, SDA yang jumlah atau depositnya banyak merupakan kepemilikan umum atau milik rakyat yang wajib dikelola oleh negara. Negara wajib mengelola dan mengatur SDA dengan baik dan tidak memberikan hak privilege kepada individu, sekelompok individu atau korporasi.
Di antara pedoman dalam pengelolaan kepemilikan umum antara lain merujuk pada sabda Rasulullah saw.: “Kaum Muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, rumput dan api. (HR Ibnu Majah). Kemudian,Rasul saw. juga bersabda: Tiga hal yang tak boleh dimonopoli: air, rumput dan api.” (HR Ibnu Majah).
Sebagai konsekuensi keimanan kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya, setiap Muslim, termasuk para penguasanya, wajib terikat dengan seluruh aturan syariah Islam. Karena itu semua perkara dan persoalan kehidupan, termasuk masalah pengelolaan sumber daya alam, harus dikembalikan pada Al-Quran dan as-Sunnah. Allah Swt. berfirman:
“Jika kalian berselisih pendapat dalam suatu perkara, kembalikanlah perkara itu kepada Allah Al-Quran) dan Rasul-Nya (as-Sunnah) jika kalian mengimani Allah dan Hari Akhir.” (TQS. an-Nisa [4]: 59).
Sesungguhnya, apa saja yang telah ditentukan oleh Allah Swt. dan Rasul-Nya, termasuk ketentuan dalam pengelolaan sumber daya alam sebagaimana dipaparkan di atas, wajib dilaksanakan. Tak boleh dibantah apalagi diingkari sedikit pun. Allah Swt. berfirman:
“Apa saja yang dibawa oleh Rasul kepada kalian, terimalah (dan amalkan). Apa saja yang dia larang atas kalian, tinggalkanlah. Bertakwalah kalian kepada Allah. Sungguh Allah sangat pedih azab-Nya.” (TQS al-Hasyr [59]: 7).
Demikianlah, untuk mengakhiri kekisruh pengelolaan sumbe rdaya alam seperti yang terjadi saat ini, mau tak mau, kita harus kembali pada ketentuan syariah Islam. Selama pengelolaan sumber daya alam didasarkan pada aturan-aturan sekular kapitalis, tidak diatur dengan syariah Islam, semua itu tak akan banyak manfaatnya bagi rakyat dan pastinya akan kehilangan berkahnya.
Terbukti, di tengah berlimpahnya sumber daya alam kita, mayoritas rakyat negeri ini miskin. Pasalnya, sebagian besar kekayaan alam kita hanya dinikmati oleh segelintir orang, terutama pihak asing, bukan oleh rakyat kebanyakan
Penting untuk dipahami, besar biaya yang harus dibayar oleh generasi selanjutnya akibat kerusakan dari ekologi. Pasalnya, ekstraksi SDA bukan hanya untuk satu generasi saja tetapi lintas generasi.
Wallahu a’lam bishshawab.
Tags
Opini