Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institusi Literasi dan Peradaban
Setelah sebelumnya Presiden Joko Widodo melegalkan Perpres No 10 tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal. Salah satunya adalah tentang investasi miras, kemudian mencabutnya. Perpres no 10 tahun 2021 adalah hasil revisi dari aturan sebelumnya yakni Perpres Nomor 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal.
Keputusan ini diambil Jokowi setelah menerima masukan dari berbagai pihak. Mulai dari ormas keagamaan hingga pemerintah daerah (okezone.com, 7/3/2021)
Perpres no 10 tahun 2021 Pada Pasal 2 ayat 1 Perpres Nomor 10 Tahun 2021 berisi bidang-bidang yang dibuka untuk investasi yakni terdiri dari bidang usaha prioritas, bidang usaha yang dialokasikan atau kemitraan dengan Koperasi-UMKM, dan bidang usaha dengan persyaratan tertentu. Dan lampiran III Perpres investasi miras ini, ada 5 daftar bidang usaha yang bergerak pada komoditas miras.
Masukan yang dimaksud presiden adalah masukan dari ormas keagamaan hingga pemerintah daerah. Kepala BKPM Bahlil Lahadalia mengatakan dicabutnya lampiran ketiga dalam Perpres Nomor 10 tahun 2021 tentang Minol ini membuktikan jika Presiden Joko Widodo merupakan pemimpin yang demokratis. Karena Presiden Jokowi masih mau mendengar masukan dari masyarakat selama bersifat konstruktif.
Padahal, semestinya seorang pemimpin memutuskan perkara bukan semata karena rakyat banyak yang menyuarakan penolakan, namun lebih kepada standar hidupnya, halal atau haram. Titik. Wacana pelegalan/ pelarangan investasi miras ini sebetulnya bukan hasil diskusi pejabat hari ini saja. Pada 2016 wacana pelarangan/ pelegalan minuman beralkohol (minol) memang menguras perhatian, sebab berpotensi mengurangi pemasukan pendapatan pemerintah hingga Rp 6 triliun pertahun.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bidang Kebijakan Publik Danang Girindrawardana
menghimbau agar negara tidak mencampuradukkan masalah ekonomi dengan masalah sosial. Minuman keras yang dimaksud sangat berbeda antara oplosan dengan yang diperjualbelikan resmi di hotel atau supermarket.
Danang menjelaskan harus diiringi dengan basis data yang kuat, agar bisa lebih tepat mendorong pertumbuhan ekonomi. Maka perlu ada kepastian hukum untuk produksi, distrubusi, konsumsi, tenaga kerja dan sebagainya.
Ketua Panja RUU Larangan Minuman Beralkohol, Arwani Thomafi mengatakan harus ada titik temu antara pemerintah pusat dan daerah dan rakyat. Sebab pengaruh negatif miras rentan menyerang sosial dan kesehatan. Maka perlu payung hukum pelarangan dalam kondisi tertentu untuk meminimalisisasi gangguan terhadap kepentingan investasi, terutama pasal-pasal pengecualian dan diperbolehkan untuk kepentingan ritual agama tertentu.
Sebagai pengusaha, Executive Committee Grup Industri Minuman Malt Indonesia (GIMMI), Ronny Titiheru mengatakan pihaknya mendukung sikap Pemerintah untuk mengatur dan mengendalikan minuman beralkohol. Yang penting ada kepastian hukum terkait distribusinya di masyarakat. Hal yang hampir sama juga diungkapkan oleh Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia, Tutum Rahanta. Menurutnya, pengusaha ritel harus patuh terhadap peraturan yang ditetapkan pemerintah. Namun wilayah seperti Bali jangan ada pelarangan (beritasatu.com, 22/9/2016)
Perlu memberikan persepsi utuh ke masyarakat bahwa pencabutan lampiran perpres investasi miras tidak bermakna jaminan hilangnya pengaruh buruk miras. Karena pencabutan lampiran investasi miras tidak diiringi penghapusan regulasi lain yang mengijinkan produksi, distribusi/peredaran dan konsumsi miras.
Dari 2016 saja sudah kita lihat bagaimana was-wasnya pengusaha melihat wacana pemerintah tentang miras, melegalkan atau menghapus. Jika melegalkan adakah opsi bagi mereka agar tetap bisa berusaha dan mendapatkan untung. Jika dilegalkan artinya memang pemerintah seia sekata dengan pengusaha.
Inilah wajah demokrasi kapitalisme. Kebebasan berusaha bagi siapapun, terutama pengusaha yang mereka tak kenal syariat, maka menghalalkan atau mengharamkan adalah hal yang merugikan bagi mereka. Minuman keras dalam pandangan mereka adalah komoditas, bermanfaat bagi banyak orang dan menghasilkan uang. Mereka tak peduli dampaknya bagi masyarakat.
Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas menganggap bahwa pemerintah tidak peduli dengan kepentingan rakyat. “Ini jelas-jelas tampak lebih mengedepankan pertimbangan dan kepentingan pengusaha dari pada kepentingan rakyat,” ujar Anwar (Kompas.com, 25/2/ 2021).
Bagaimana mungkin negeri ini akan bersih dari miras, sedangkan pikiran waras dibuang dan diganti dengan manfaat semata. Opi
Hanya Islam dan khilafah yang mampu menciptakan sistem yang mengeliminasi total miras di masyarakat. Sebab pemimpin dalam Islam adalah orang pertama yang menerapkan hukum Islam, tak boleh kendor sedikitpun . Ia adalah orang yang bertakw dan samgat takut dengan Allah. Wallahu a'lam bish showab.
Tags
Opini