Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban
Finlandia kembali dinobatkan sebagai negara paling bahagia di dunia oleh PBB. Tahun 2021 menjadi keempat kalinya Finlandia mendapatkan titel tersebut. Survei ini berupaya mengukur kebebasan dan kepuasan pribadi individu terhadap kehidupannya masing-masing. Survei menggunakan data dari 149 negara bersama dengan ukuran PDB, tingkat dukungan sosial, dan persepsi korupsi.
Hasilnya, Finlandia ditemukan unggul dengan layanan publik kelas dunia yang tenang, tingkat kejahatan yang rendah, dan tingkat kepercayaan terhadap pemerintah yang tinggi (CNNIndonesia, 20/3/2021).
"Kunci dari titel bahagia dari orang Finlandia adalah pergi ke alam bebas, dengan deretan hutan dan ribuan danau, serta pemandian uap tradisional," ujar Kepala Layanan Promosi Finlandia, Business Finland, Paao Virkkunen
Namun ternyata, penghargaan sebagai negara paling bahagia ini tidak diwakili secara penuh fakta yang ada. Sebagaimana dilansir BBC.com, 9 Oktober 2019, Finlandia menempati posisi tertinggi tingkat penyalahgunaan narkoba dan angka bunuh diri dan angka ini meskipun sempat berkurang separuh dibanding 1990-an tetap masih tertinggi dibanding dengan negara Eropa lainnya. Depresi menjadi penyakit biasa yang diidap hampir semua warga Finlandia , citra bahagia yang disematkan ini makin membuat mereka tak menyadari, didukung pula oleh keindahan alam Finlandia.
Menurut laporan berjudul In the Shadow of Happiness tahun 2018, yang disusun oleh Institut Penelitian Kebahagiaan di Copenhagen, sekitar 16% penduduk perempuan Finlandia berusia 18-23 tahun dan 11% pemuda mengaku "kesulitan" atau "menderita" dalam hidup. Angkanya semakin parah untuk kelompok usia di atas 80 tahun.
Laporan Pusat Kesejahteraan dan Isu Sosial Nordik tahun 2017 menyoroti hal ini karena ada kaitan erat penyalahgunaan narkoba dengan buruknya kesehatan masyarakat. Mereka mencatat, warga Finlandia mengonsumsi lebih banyak alkohol ketimbang warga negara-negara Nordik yang lain, bahkan ada peningkatan penggunaanya di kalangan usia 25-34 tahun.
Juho Mertanen, psikolog sebuah organisasi nirlaba Mieli (Mental Health Finland) menggarisbawahi fakta bahwa Finlandia tengah menghadapi tren dunia dalam hal digitalisasi dan gig economy - pasar pekerjaan dengan ciri khas kontrak jangka pendek atau pekerjaan lepas. Dua tren itu mulai diperbincangkan dalam berbagai diskusi terkait kesehatan mental anak-anak muda di dunia Barat.
Dimana akhirnya ketersedian pekerjaan bagi anak muda banyak memberikan ketidak pastian. Yaitu semakin banyak jenis pekerjaan yang yang bersifat tidak stabil (masuk, kerja, pensiun) sehingga angka kesenjangan sosial kian meningkat. Pengangguran usia 15-19 meningkat 12,5 persen dan diatas rata-rata Uni Eropa 11,5 persen.
Dampak media sosial juga ternyata berpengaruh besar bagi anak muda Finlandia, hingga menimbulkan depresi karena sering membandingkan segala sesuatu di media sosial, terutama berkaitan dengan "likes" di Instagram dan Facebook. "Saya rasa penelitian soal tingkat kebahagiaan dan media sosial memperparah pandangan terhadap dunia hitam-putih yang dilihat oleh orang depresi," Juho Mertanen (BBC.com, 9/10/2019).
Jika makna kebahagiaan disandarkan pada kebebasan ekonomi dan perilaku sebagaimana yang menimpa penduduk dunia hari ini, bisa dipastikan itu adalah kebahagiaan semu. Sebab materi, asas dalam kapitalisme, seberapapun diraih, tetap tak akan memberikan pemiliknya rasa cukup atau bahagia. Terlebih jika tidak dibarengi dengan akidah shahih yang kuat.
Sebab akidah adalah yang nantinya memberikan tentang gambaran hidup yang sebenarnya. Terkait darimana asal kita, untuk apa kita diciptakan dan kemana kembali sesudah kematian. Inilah yang tidak dimiliki oleh dunia barat, akibatnya mereka oleng ketika mendapatkan persoalan dan lari kepada narkoba, alkohol dan lain-lain. Wajar, mereka tak mengenal halal haram.
Maka, tak ada definisi bahagia yang layak disematkan kepada negara manapun, selama mereka konsisten menerapkan kapitalisme, yang ruhnya adalah sekularisme. Justru secara perlahan namun pasti, akan berjalan pada kehancuran. 16 persen wanita di Finlandia mengaku kesulitan jelas bukan angka yang remeh remeh, wanita tersebut mengalami tekanan, dari berbagai pihak terutama sistem yang cenderung membela yang kuat dan mengabaikan yang lemah.
Kemudian jika kita bandingkan dengan kegemilangan negara berdasar syariah sebagaimana yang dijalankan Rasulullah Saw, para sahabat dan khalifah-khalifah selanjutnya akan sangat berbeda. Kebahagiaan itu diterima 100 persen baik oleh kaum non-muslim muslim. Wallahu a'lam bish showab.
Tags
Opini